oleh Dirgantara Wicaksono
Universitas Negeri Jakarta
A. Pendahuluan
Dr Ngadisah dalam pembahasan bukunya mencoba mencari kausalitas sebuah gerakan sosial yang terjadi dengan satu faktor penyebabnya sebagai variable bebas. Pembangunan diketengahkan sebagai sebab yang akan mempengaruhi kondisi sosial. Pembangunan yang dimaksud dalam buku itu adalah proyek fisik untuk merangsang peningkatan pendapatan ekonomi. Proyek pembangunan tersebut memiliki skala operasi yang besar, baik dalam hal pendanaan, tenaga kerja (sumber daya manusia), serta dalam hal pengeksplorasian sumber daya alamnya.
Eksplorasi besar - besaran terhadap sumber daya alam demi kepentingan ekonomi dilakukan oleh perusahaan trans-nasional yang memiliki modal yang besar dan tenaga ahli yang banyak. Perusahaan - perusahaan asing yang ada di Indonesia memiliki peranan yang sangat besar dalam proses eksplorasi sumber daya alam, dimana rata-rata dari perusahaan tersebut bergerak pada sektor pertambangan dan energi, dua sektor yang sangat vital dalam perekonomian Indonesia.
Misalnya saja proses eksplorasi Liquid Natural Gas (LNG) di Aceh Utara, pembangunan Waduk Kedung Ombo Jawa Tengah, rencana pembangunan Danau Lindu di Sulawesi Tengah, Pembangunan Waduk Nipah di Madura, dan proyek pertambangan P.T. Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika Propinsi Papua. Yang terakhir inilah yang menjadi objek penelitian dari Dr. Ngadisah untuk melihat bagaimana pembangunan direspon oleh masyarakat setempat yang menempati sekitar area proyek pembangunan tersebut. Lokasi tepatnya proyek pembangunan itu berada di kabupatem Mimika.
Proyek pembangunan fisik di Mimika melalui mesin eksplorasi P.T.Freeport Indonesia menimbulkan reaksi yang beragam. Suku Amungme sebagai salah satu suku terbesar di Mimika cenderung menentang proyek pembangunan tersebut dari sejak dimulai perencanaannya sampai pada tahap proses eksplorasi dilaksanakan.
Sementara sebagian suku lainnya yang juga merupakan suku besar juga lebih kompromistis dengan proyek pembangunan P.T.Freeport Indonesia, mereka adalah suku Komoro. Dilihat dari reaksi yang terjadi maka proyek pembangunan fisik di Mimika sedari awal telah melahirkan konflik bagi masyarakat disekitarnya. Konflik yang terjadi secara hosrisonal antar suku di Mimika.
Seperti kebanyakan permasalahan yang terjadi dalam proyek besar, masalah yang terjadi pada Proyek pembangunan P.T.Freeport Indonesia pun sudah terlihat pada saat perencanaan proyek tersebut dilaksanakan, masalah itu antara lain berupa ganti rugi tanah yang tidak seimbang, serta penggususran masyarakat disekitar lokasi proyek. Sedangkan masalah yang terjadi pada saat proyek dilaksanakan adalah masalah dampak lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.
Konflik yang terjadi sebagai akibat proyek pembangunan PTFPI dalam penelitian Dr Ngadisah berjalan secara evolutif, mulai dari protes sosial secara sporadis, kemudian membesar menjadi terorganisir, semakin memperluas jaringan sampai keluar batas territorial. Yang pada awalanya bersifat sosial, protes tersebut berkembang menajdi gerakan politik yang semakin kompleks masalahanya.
B. Kondisi Geografis Mimika
Letak geografis yang digambarkan dalam buku itu menjelaskan bahwa Kabupaten Mimika terletak di bagian selatan provinsi Papua. Pada awalnya kabupaten ini bagian dari Kabupaten Fakfak yang dimekarkan sebagai kabupaten administrative pada tahun 1996, berdasarkan PP No. 54 tahun 1996. kemudian pada tahun 2000 berdasarkan UU No. 5 tahun 2000 Mimika beralih menjadi kabupaten.
Luas Kabupaten Mimika 19.592 KM2, atau 4,77% dari luas wilayah provinsi Papua. Kabupaten ini terletak antara 4030 - 4044 LS dan 136036 - 136048 BT. Keadaan geografis kabupaten Mimika sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah yang berawa-rawa yang terletak disebelah selatan dan pegunungan di sebelah utara.
Di wilayah dataran struktur tanahnya berombak dengan kemiringan 3-80, sedangkan daerah pegunungan bertingkat memiliki kemiringan 30-900. disekitar ibukota Kabupaten Mimika curah hujan cukup tinggi mencapai 5.339 mm/tahun, sehingga musim hujan mencapai waktu 8 bulan, dan sisanya musim kemarau.
Jumlah penduduk kabupaten Mimika pada sensus tahun 1999 berjumlah 90.518 orang. Penduduk asli Mimika terdiri dari berbagai macam suku, dan suku terbesar adalah suku Amungme dan suu Komoro.
Suku – suku lainnya yang dianggap pendatang oleh kedua suku tersebut adalah suku Dani, Moni, Lani, Damal, Nduga, Ekari, Ndelem, Kupel dan Ngamun. Suku Amungme mendiami bagian selatan pegunungan tengah Irian Jaya tepat dibagian Utara Mimika. Kesatuan Wilyah suku Amungme disebut Amungsa. Sedangkan suku Komoro menempati wilayah bagian selatan yang terdiri daerah dataran rendah. Suku – suku lain seperti, Moni, Lani, Damal, Nduga, Ekari, yang berasal dari kabupaten Jayawijaya menempati tanah Amungsa tempat kediaman suku Amungme.
Pola kehidupan Nomaden masih dijalankan oleh suku komoro, sedangkan suku Amungme sudah mulai mentap dengan berladang yang berpindah – pindah, mulai beternak disamping juga masih tetap mempertahankan tradisi berburu. Masyarakat Komoro menurut penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti dari UGM dan PT. Freeport Indonesia disebutkan sedang mengalami masa transisi dari masyarakat peramu nomadic ke masyarakat pertanian menetap.
Sementara itu mereka hidup berdampingan dengan masyarakat modern yang berada di kawasan pertambangan PT. Freeport. Kondisi ini menimbulkan gap yang sangat dalam yang berujung pada rasa frustasi masyarakat karena perlu menyesuaikan dengan budaya tinggi yang tidak mereka pahami.
C. Nilai – Nilai Budaya Suku AMungme dan Komoro
1. Suku Amungme
Suku amungme mendiami dataran tinggi sehingga budaya mereka memiliki ciri – ciri budaya dataran tinggi (highland). Masyarakat Amungme percaya bahwa roh – roh leluhur mereka mengawasi kehidupannya. Mereka percaya bahwa hidup manusia dan alam sekitarnya tidak terlepas dari roh-roh yang hidup di dalamnya. Manusia, Alam, dan Roh memiliki hubungan harmonis dan dinamis sehingga perlu dijaga.
Tuhan menurut mereka berada di langit dan di bumi, dan surga yang mereka sebut hai memiliki makna mendalam karena mendapatkannya harus diperjuangkan melalui gerakan – gerakan tertentu. Gerakan itu bisa berupa peperangan, atau migrasi ketempat tertentu yang dianggap sebagai lokasi hai. Dengan demikian jika itu menunjukan sebuah hai maka peperangan bias menjadi gerakan yang dianggap wajib oleh masyarakat Amungme.
Dengan demikian berbagai protes yang dilakukan oleh masyarakat suku Amungme terhadap proyek PT Freeport lebih merupakan perebutan dearah hai. Selain itu pandangan unifikasi antara manusia, alam dan roh yang bersemayam di dalamnya menjadi alasan lain gerakan protes sosial yang dilancarkan oleh suku Amungme. Bagi mereka pembangunan fisik PT Freeport telah merusak keselarasan, dinamisasi, dan keharmonisan unifikasi atau kesatuan ketiga hal tersebut.
Dengan rusaknya alam akibat eksplorasi mesin teknologi modern telah memporakporandakan jalinan harmonis ketiga hal tersebut. Rusaknya alam berarti merusak tatanan kosmos yang mengitari kehidupan masyarakat suku Amungme. Lihat saja hasil endapan pengolahan hasil tambang (limbah industri) dibuang ke sungai – sungai tradisional lahan berburunya masyarakat. Hasil endapan itu bersifat padat, maka jelas akan mempengaruhi debit air baik dari kadar kebersihan (higienis) dan kedalamannya.
2. Suku Komoro
Suku Komoro mendiami wilayah rendah Kabupaten Mimika, sehingga kebudayaan mereka dikenal dengan kebudayaan rendah (low-land). Berbeda dengan masyarakat Amungme yang berkebudayaan tinggi, dimnana aktifitas hidupnya lebih banyak di dearah pegunungan yang cocok untuk berkebun, beternak dan berburu, masyarakat Komoro yang berkebudayaan rendah lebih banyak melakukan aktifitas hidupnya disungai dan sekitarnya. Masyarakat Komoro lebih banyak mengambil sumber daya alam secara langsung dari pada mengusahakan mengolahnya terlebih dahulu.
Masyarakat Komoro memandang tanah sebagai dusun tempat tanah tumpah darah yang memiliki sumber daya alam (tanah, laut, sungai, pantai) yang bias digunakan dan cukup untuk kehidupan mereka sekaligus anak cucunya dalam klan mereka, maka dari itu pengelolaan alam menjadi permasalahan penting bagi masyarakat Komoro. Tanah merupakan kepemilikan, terikat dengan penghuninya, memutuskan kepemilikan atas tanah berarti memutuskan hubungan dengan para leluhurnya.
Situasi ini yang mendasari resetlement (pemukiman kembali) orang – orang Komoro yang dipindahkan oleh PT. Freeport dari lokasi awalnya ke daerah sekitar kota Timika. Masyarakat Komoro menginginkan kembali tanah tumpah darah mereka yang digunakan menjadi area pertambangan. Suku Komoro menghendaki menempati kembali tempat mereka yang telah menjadi pelabuhan Porstaid.
D. Kehadiran PT. Freeport dan Konflik yang Ditimbulkannya.
PT. Freeport Indonesia seperti telah dijelaskan diawal merupakan perusahaan mutli nasional yang memiliki modal yang besar. Sebagian besar sahamnya di miliki Freeport Mc Mo Cooper and Gold Inc (81,28%), PT. Indocopper Investama Coorporation (9,36%), dan Pemerintah Republik Indonesia (9,36%). PT Freeport mengolah pertambangan tembaga, emas, dan Perak yang besar di Mimika.
Daerah Mimika menjadi tempat kontrak karya untuk pengolahan limbah, pengapalan, pembangunan jalan, dan berbagai fasilitas yang diperlukan untuk kepentingan penambangan yang hamper 1/3 luas wilyah di Mimika. Daerah pertambangan dilakukan di pegunugan ertsberg dan Grasberg.
Kandungan bahan tambang tepat diujung gunung yang sulit dan katanya merupakan sumber daya yang terpencil dan luas. Untuk itulah maka peralatan di pertambangan di Mimika merupakan jenis peralatan tekhnologi tinggi. Eksploarsi hasil tambang disekitar pegunungan mengakibatkan kerusakan dan terjadi perubahan struktur gunung dan tanah. Menurut kepercayaan masyarakat Mimika, gunung merupakan tempat bersemayamnya roh – roh suci para leluhur yang mereka puja.
Lebih jauh masyarakat Mimika yang notabene mereka adalah suku Amungme menganggap bahwa puncak gunung itu adalah Ibu dari tanah air mereka. Pandangan hidup suku Amungme membuat sikap yang keras terhadap proyek PT Freeport. Harga diri suku amungme terusik dengan kedatangan orang asing yang menghancurkan tempat suci mereka dan mereka datang seolah tanpa permisi kepada pemilik tanah. Tidak hanya sturktur alam yang menurut merka rusak, batin dan jiwa mereka pun hancue atas perlakuan proyek PT Freeport.
Masyarakat suku Amungme menganggap bahwa PT Freeport telah merampas hak atas tanah mereka, mereka menganggap PT Freeport adalah perampok, dan mereka tidak mau menerima ganti rugi karena tanah leluhur bukan untuk diperjualbelikan. Inilah sikap keras yang melatar belakangi panjangnya konflik di Mimika tidak berhenti.
Tradisi perang yang sudah menjadi kebudayaan suku Amungme memperkuat sikap keras masyarakat Amungme, dan tradisi perang itu juga yang menumbuhkan keberanian suku Amungme untuk terus melawan dan berjuang. Kebiasaan berperang suku Amungme seolah mendapat tempat realisasi dengan kehadiran proyek PT Freeport untuk penumbuhan sikap heroisme. Situasi lingkungan alam yang keras juga turut membentuk watak keras suku Amungme. Selain keras, mereka ulet, dan terbiasa menantang bahaya.
Lain ceritanya lagi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat suku Komoro. Suku Komoro tidak terlalu agresif. Suku Komoro lebih cenderung kompromistis. Dari penelitian yang dilakukan hampir 47,37% responden mengungkapkan ketidaksukaannya kepada PT Freeport. Sisanya sedang dan suka terhadap kedatangan PT Freeport. Bagi mereka yang tidak senang mereka menganggap PT Freeport telah merusak alam sumber utama kehidupan mereka. sikap ini tidak berarti Suku Komoro tidak memiliki tuntutan, dan sepanjang tuntutan itu belum teralisasi optimal, beberapa rang anggota suku tentu saja akan selalu menajdi bagian pemrotes mengenai hal ihwal PT. Freeport.
E. Refleksi
Buku Prof. Dr. Ngadisah sangat tajam dalam hal meniliti sebuah masyarakat yang semestinya hidup di jaman prasejarah sehingga pola sturktur kehidupan sosial mereka tidak mengalami gangguan yang serius dan merepotkan, karena tekanan eksternal yang begitu besar dan bukan tandingan perdaban mereka. Tapi itulah faktanya, mereka ada ditengah deras modernisasi sedang berjalan.
Kebudayaan modern yang mengglobal dan progressif menjangkau apa saja yang menurut logika modern itu bisa memiliki nilai jual dan keuntungan. Di pinggiran Papua yang terpencil dan jauh sekalipun bukan penghalang demi kemajuan perekonomian dunia modern. Atas nama pertumbuhan ekonomi semua menjadi mungkin demi modernisasi yang kapitalistik.
Hanya saja modernisasi selalu saja menyisakan persoalan yang memang seringkali inhern di dalamnya, yaitu tergusurnya nilai – nilai yang tidak bisa diperbandingkan dengan tumpukan kertas uang. Pemaknaan tentang sebuah penghargaan nilai yang berbeda selalu menjadi persoalan dalam dunia modern kapitalisme. Kesenjangan kemampuan dan pengetahuan juga menjadi faktor yang menghambat kurang berjalannya secara seimbang kehidupan modern. Karena disebagian wilayah, istilah modern adalah semacam alien yang membahayakan.
Kasus yang terjadi di Mimika menjadi petanda negative dari modernisasi. Respon masyarakat yang memang jauh dari gemerlap istilah modern kelihatan gagap dan frustasi, mereka tidak memahami kenyataan, mereka tidak mengerti kenapa nilai luhur mereka seolah tiada artinya bagi orang lain, mereka tidak mengerti mengapa tamu kelakuannya sangat kurang ajar, mereka tidak mengerti kenapa kandungan alam yang terdapat di tanah airnya diambil begitu saja.
Mereka hanya mengerti perang untuk menunjukan eksistensi, hanya tau bahwa tanah mereka itu suci. Inilah yang mereka tahu, sehingga wajar jika konflik ditengah proyek pembangunan PT Freeport terus berlangsung. Aksi protes sebagai gerakan social ini meruapakan awal yang kemudian menjadi aksi poiltik (gerakan politik).
Tuntutan mereka berevolusi menjadi tuntutan politik, akibat lamanya gerakan sosial tersebut, dalam bahasanya Dr. Ngadisah mengatakan sebagai akibat dari ketidaktertanganinya gerakan sosial kemudian berubah menjadi gerakan politik setelah tersentuh berbagai pengaruh politik yang ada di Papua. Kultur masyarakat di Mimika terutama suku Amungme dan Komoro menjadi landasan bagi Dr. ngadisah untuk meneliti lamanya proses konflik itu terjadi, dan perkembangan evolutifnya yang kemudian ekskalasinya meluas menjadi konflik politik yang merupakan konflik vertikal.
Penelitian ini sangat bagus, dalam menggambarkan situasi karena pendekatan fenomenologis-antropologis mampu mengungkap hal-hal yang sangat manusiawi, akan tetapi buku tersebut tidak memberikan solusi bagaimana proses yang harus diselesaikan ketika masalah itu terjadi.
Pandangannya tentang pelibatan masyarakat dalam proyek itu akan menjadi sulit ketika sedari awal dia telah menggariskan bahwa tanah leluhur tidak bisa di ganggu gugat, sementara disanalah sumber daya ekonomi berada. Dan meninggalkan proyek besar jelas bukan cara penanganan masalah.
2 comments:
wah panjang juga akar masalah di papua ya.....
@ndoro : begitulah kawan .. inilah permasalahan yang dihadapi oleh sahabat kita di papua :(
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !