Pemerintahan dalam islam sudah mulai di dengungkan sejak awal isalam ini dibawa Rasulullah SAW. Konsepnya sebenarnya cukup sederhana, tetapi inilah konsep yang menjadi awal adanya konsep kepemimpinan dan manajemen. Dalam kaidahnya, ketika ada lebih dari dua orang yang berkumpul, mka harus ada satu porang yang menjadi pemimpin. Ketika rasul mendirikan daulah di Madinah, beliau langsung menunjuk juru tulis (sekretaris) dan bendahara. Konsep pemerintahan—dalam hal ini kaidah-kaidah dasar berlakunya hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin—inilah yang coba saya ajukan.
Shalat menjadi hal yang sangat mendasar dalam hal kehidupan manusia yang telah memilih jalan hidupnya dengan Islam. Shalatlah yang menjadi pertanyaan pertama saat malaikat mengadili kita di alam kubur nanti. Shalat berjamaah sangat dianjurkan kepada para pememeluk Islam. Ketika tidak ada halangan, maka wajib bagi kita untuk shalat berjamaah. Sahalat berjamaah juga memiliki keutamaan yang sangat luar biasa dengan berbeda dua puluh tujuh derajat.
Dalam shalat berjamaah terdapat konsep-konsep pemerintahan yang sangat baik. Kaidah-kaidah inilah yang harus coba kita perhatikan dan lakukan dalam kehidupan kita bernegara. Perlu ditekankan bahwa konsepan ini adalah keadaan yang sangat ideal jika semua orang sudah memiliki peahaman yang sama dalam kaidah ini. Shalat ini sanggup mengakses semua lini dalam keidah kepemimpinan, mulai dari pemilihan pemimpin sampai kaidah menurunkan seorang pemimpin.
Pemilihan Imam dalam shalat adlah dengan mencari orang yang memiliki hafalan dan bacaan Al-quran yang bagus, yang benar dan tartil serta mengetahui syarat dan rukun shalat. Kaidah pemilihan ini mengindikasikan bahwa yang menjadi seorng imam adalah bukan sembarangan orang, melaikan harus memiliki kriteria tertentu yang menjadi pedoman dasar berlangsungnya shalat berjamaah. Analogi dengan pemerintahan, pemilihan seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan kompetensi standar yang baik, bukan seorang yang biasa saja.
Kompetensi dalam bacaan dan hafalan Al-quran bisa kita analogikan sebagai kompetensi dalam kaidah kaidah Ushuluddin dan Ushul Fiqh. Kompetensi ini sangat penting sebagai landasan awal setiap kebijaklan yang akan mereka ambil. Tanpa pengetahuan dan kompetensi ini, kebijakan-kebijakan yang diambil dapat bertentangan dengan syariat agama bahkan bisa jadi melakukan dosa-dosa besar seperti syirik. Maka penting bagi seorang muslim untuk memilkik kompertensi ini agar tidak terjebak dalam kondisi syirik secara tidak sadar.
Kompetensi pada rukun dan syarat sah shalat dapat kita analogikan dengan kemampuan memahami sistem. Ketika pemimpin menyalahi sistem, maka akan ada konsekuensi berupa terlepasnya sang pemimpin dari tampuk kekuasaannya. Dalam shalat, meyalahi rukun sama dengan membatalkan shalat. Hal yang sama terjadi ketika pemimpin menyalahi tata aturan main dasar yang berlaku dalam sistem tersebut, pemimpin akan dengan jelas diturunkan dari posisinya. Contoh mudahnya adlah melanggar undang-undang dasar. Berbeda ketika melanggar syarat sah shalat, pelanggaran tidak membatalkan tetapi hanya megurangi nilai dari shalat.
Aplikasinya sama dengan pemerintahan yang menyalahi aturan yang bukan merupakan aturan dasar. Pemimpin hanya kehilangan harga dirinya sebagai pemimpin.
Ada hal yang sangat menarik dalam pemilihan seorang imam dalam shalat. Biasanya orang akan mempersilahkan saudaranya untuk menjadi imam. Mereka beranggapan bahwa saudaranya lebih baik darinya sehingga mem-persilahkan saudaranya untuk menjadi imam. Terlepas apakah ada alasan lain atau tidak, paling tidak ada nilai yang sangat baik yang ditunjukkan dalam pemilihan imam ini.
Berbeda dengan keadaan kita sekarang yang malah berebut kekuasaan, kita memang harus merasa ada orang lain yang lebih baik dari kita untuk menjadi pemimpin dan merelakan ego kita. Sehingga terciptalah keadaan harmonis dalam pemerintahan yang tercipta karena perasaan saling memahami.
Pada setiap ibadah yang dilakukan, yang menjadi peranan penting adalah niat. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa setiap perbuatan bergantung pada niatnya. Apabila niat untuk Allah, maka ia dapat apa yang dia niatkan. Sama halnya ketika kita berniat pada selain Allah, kita pun akan dapat apa yang kita inginkan. Dalam shalat, niat antara imam dan makmum berbeda. Imam akan berniat sebagai imam dan makmum berniat sebagai makmum. Ini merupakan akad yang jelas tentang posisi imam dan makmum. Dengan ini jelaslah hak dan kewajiban dari masing-masing posisi, baik imam maupun makmum.
Analogi dengan pemerintahan, harus ada batasan yang jelas antara pemimpinan yang jelas antara pemimpin dan yang dipimpinnya. Akad antara pemimpin dan yang dipimpinnya akan memperjelas kedudukan, hak serta kewajibannya.
Shalat selalu mengajarkan kita untuk mengikuti semua gerakan imam. Disamping mengikuti, kita juga diwajibkan untuk tidak mendahului ataupun tertinggal jauh dari gerakan imam. Ketika kita sedang membaca bacaan yang panjang, maka kita harus menghentikannya segera ketika imam sudah memulai gerakan yang lain. Bahkan, ketika imam sudah salam, kita wajib langsung salam walaupun bacaan tahiat kita belum selesai ataupun doa kita belum selesai. Mengikuti gerakan imam bukan berarti mengikuti gerakan semuanya, melainkan hanya gerakan yang benar dan bukan gerakan-gerakan tambahan.
Analaog dengan etika mengikuti pemimpin, kita dilarang untuk mendahului pemimpin baik dalam gerakan maupun perkataan. Pemimpin adalah yang menentukan apa yang harus kita lakukan dan apa yang tidak boleh kita lakukan. Kita pun jangan mengikuti dengan lebih lama, kita harus sigap dalam mengikuti pemimpin. Dalam mengikuti pemimpin juga harus punya etika dalam mengikutinya, bukan hanya mengikuti tanpa ilmu. Kita harus mengikutinya selama yang pemimpin kita lakukan adalah benar. Kita tidak boleh mengikuti pemimpin ketika dia salah tetapi tetap menjadikannya sebagai pemimpin kita dan tidak menjadikannya musuh atau menjatuhkan martabatnya.
Dalam pelaksanaan shalat, imam menanggung semua pahala yang ada dalam jamaah. Ketika imam salah, maka kesalahan atau dosa dari makmum akan ditanggung oleh imam. Tetapi kesalahan imam dosanya tidak ditanggung oleh jamaah atau makmum. Ketika imam batal, maka makmum tidak batal.
Perspektif mengenai tanggung jawab seorang pemimpin, pemimpin akan bertanggung jawab atas apa yang dia pimpin. Maka dosa bawahan ketika mengikuti perintah pemimpin adalah tanggung jawab pemimpin. Yang dipimpin hanya bertanggung jawab kepada dirinya sendiri.
Etika menasehati pemimpin juga diatur dalam shalat. Ketika imam salah dalam gerakan, yang harus makmum lakukan adalah mengingatkan imam dengan membaca subhanallah untuk ikhwan dan tepuk tangan untuk akhwat. Ketika imam salah membaca surah, yang harus dilakukan adalah membenarkan bacaannya. Kemudian kalau imam tidak mengindahkan semua yang telah makmum ingatkan, maka makmum wajib tetap mengikuti gerakan dan bacaan imam selama tidak melanggar rukun shalat.
Begitulah etika mengingatkan seorang pemimpin. Mengingatkan pemimpin hanya dalam kadar mengingatkan dan wajib tetap mengikutinya selama dia tidak jelas-jelas melakukan kemusyrikan. Maka haram bagi kita memberontak dengan melakukan makar kepada pemimpin.
Kesalahan seorang pemimpin adalah suatu kelumrahan dan bukan merupakan aib karena khalifaur rashidin juga pernah melakukan kesalahan. Sebagai contoh dalah ketika Umar Bin Khattab salah menghukum orang karena emosi akan perlakuan Bid’ah yang dilakukan beberapa orang yang berkumpul dan berdzikir dengan keras setelah selesai shalat.
Mereka adalah sebaik-baik ummat dan tetap masih bisa melakukan kesalahan. Bagaimana dengan kita saat ini. Memang dalam shalat tidak semua masalah kepemimpinan dapat diakomodir. Tetapi dasar-dasar dari interaksi sistem pemerintahan sudah sangat jelas. Masihkah kita tidak belajar?
sumber : http://thechangemaker.wordpress.com/2009/06/30/konsepsi-etika-interaksi-antara-pemimpin-dan-yang-dipimpin-dalam-shalat-berjamaah/
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !