Pengalaman ketertindasan perempuan serta pengalaman mereka yang kalah atau dipaksa kalah sampai saat ini masih berada di dalam ruang gelap sejarah. Untuk menyingkapnya, diperlukan perspektif feminis dalam penulisan (ulang) sejarah.
Penulisan sejarah dari perspektif feminis ini menjadi pokok bahasan Ruth Indiah Rahayu dari Lingkar Tutur Perempuan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan peneliti Agung Ayu Ratih dalam lokakarya mengenai Historiografi Indonesia di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Lokakarya tiga hari itu itu diselenggarakan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada dan Australian Research Council, dihadiri 40-an peneliti sejarah dari dalam dan luar negeri (Malaysia dan Australia).
Sejarah dari perspektif feminis dan historiografi yang berkeadilan merupakan konsep yang ditawarkan Ruth, dikuatkan Agung Ayu, yang mempertanyakan arti "sejarah" di luar kerangka "sejarah nasional". Sejarah "babon" atau "induk" itu, menurut dia, mengesampingkan pemikiran dan pengalaman perempuan serta kelompok yang dipinggirkan.
Peneliti dari Universitas Sydney, Safrina Thristiawati, mengatakan, perempuan menghilang dari literatur sejarah Indonesia. Dalam berbagai kajian, perempuan kadang dikatakan berperan penting, tetapi bahasannya tidak terlihat. Dari segi jumlah saja, dari lebih 1.700 buku mengenai sejarah yang diterbitkan di Indonesia sejak tahun 1997, hanya 2 persen yang membahas peran perempuan. Itu pun belum dalam perspektif yang lebih berkeadilan.
Menerobos
Tugas penulisan sejarah berperspektif feminis, menurut Ruth, adalah menerobos diskursus tentang periodisasi politik yang dianggap "besar".
Pengalaman ketidakadilan dan ketertindasan perempuan akan lenyap jika dihubungkan dengan periodisasi politik, terutama yang terkait dengan masalah male-production, yang langsung atau tak langsung membawa perubahan sosial di Indonesia, di luar peristiwa politik di negeri ini.
Namun, Agung Putri berpendapat, pemilahan masalah politik dan kemanusiaan sulit dilakukan karena kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dilepaskan dari soal politik. Ia mempersoalkan waktu secara sosial dan dalam tataran personal, serta mengingatkan perempuan bukan kelompok monolitik.
Hal senada dikemukakan Ruth. Dari segi pemaknaan bahasa yang mudah berubah-ubah, penggunaan "perempuan" sebagai kategori analitik penelitian dan penulisan sejarah, cukup bermasalah. Di dalam kata "perempuan" juga tidak terlihat perbedaan kelas, etnis, ras, kelompok politik, dan juga perbedaannya sebagai seks.
Istilah women history atau "sejarah perempuan" sejatinya rentan terhadap ancaman perubahan yang dilakukan penguasa melalui bahasa. Ini terlihat jelas dari perubahan kata "perempuan" menjadi "wanita", dan dari cara Orde Baru mengonstruksikan perempuan semata-mata sebagai istri dan ibu.
Agung Putri mempertanyakan di mana perempuan di antara kelompok yang terpinggir dan dipinggirkan, bagaimana posisi mereka dalam sejarah mulai tahun 1908, bagaimana keterkaitan antara identitas dan rasa kebangsaan setelah revolusi tahun 1945, dan bagaimana menempatkan fakta yang membanjir dan terus bertubrukan itu dalam konstruksi kesadaran.
"Sampai saat ini tak ada arsip tentang sejarah perempuan di Indonesia," ujar Agung Putri. Gerakan maju perempuan, menurut dia, tertunda tiga kali dengan penghancuran gerakan perempuan setelah peristiwa 1965.
Berbagai hal juga masih perlu dilacak kesejarahannya. Agung Putri mengusulkan agar dirumuskan kembali arti
"kemerdekaan", "bangsa" serta istilah semacam "patriotisme". Istilah "politik" bagi perempuan tidak melulu soal kekuasaan negara, tetapi membumi melalui pengalaman sehari-hari, termasuk di ruang domestik.
Sejarah berperspektif feminis, menurut Ruth, bukan merupakan upaya menulis sejarah yang androgini bila didasarkan pada keseimbangan representasi kegiatan laki-laki dan perempuan dalam peristiwa sejarah.
"Historiografi feminis di Indonesia dimaksudkan untuk menyajikan fakta sejarah yang berasal dari pengalaman
perempuan yang dipaksa kalah dalam suatu proses penciptaan kebudayaan," ujarnya.
Agung Putri menambahkan, perspektif tersebut bukan dimaksudkan untuk "mengalahkan" laki-laki, tetapi memperlihatkan pengalaman perempuan, termasuk perlawanan mereka, sekalipun dilakukan dengan membisu. "Bukan dengan meratapi nasib," ujarnya.
Tugas penulisan sejarah feminis, menurut Ruth, menanggalkan status perempuan sebagai korban dan selanjutnya menempatkan mereka sebagai pencipta sejarah. Dalam hal ini, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan telah mengangkat perempuan korban tragedi tahun 1965 sebagai human rights defender dalam peringatan Human Rights Defender’s Day bulan November tahun lalu.
Sejarah "alternatif" atau apa pun namanya di luar sejarah sejarah "babon" itu, menurut Agung Putri, membutuhkan dialog terus-menerus dengan pihak yang kalah dan yang dipaksa kalah. Dengan demikian, sejarah ditulis secara lebih berkeadilan.
Sejauh ini, perspektif feminis belum banyak digunakan. Dalam konteks tertentu, antropolog dari Belanda, Dr Saskia Wieringa, melakukannya dalam penelitiannya yang telah diterbitkan, The Politization of Gender Relations in Indonesia, Women’s Movement and Gerwani Until the New Order State. Kalyanamitra dan Garba Budaya menerjemahkannya dalam buku berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999).
Oleh: Maria Hartiningsih
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !