Pengertian Puasa
Puasa adalah menahan diri dari semua hal yang bisa membatalkannya, sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat khusus.
Hukum Meninggalkan Puasa Ramadhan
Hukum orang yang meninggalkan puasa Ramadhan, seperti hukum orang yang meninggalkan shalat. Jika dia meninggalkan karena mengingkari hukumnya yang wajib, maka dia dihukumi kafir. Demikian pula dengan rukun Islam yang lain (zakat, haji, dsb).
Jika meninggalkan puasa karena malas dan menganggap remeh, sebagian ulama tidak menghukuminya kafir, namun dianggap tidak lengkap Islamnya, karena Rasulullah SAW mengibaratkan Islam seperti bangunan yang dibangun di atas 5 (lima) penyangga. Jika lengkap kelima penyangga tersebut, bangunan akan kokoh. Jika kurang lengkap, bangunan akan mudah roboh.
Jika seseorang meninggalkan puasa, hakim atau pemerintah wajib memerintahkannya untuk bertaubat dan memberinya sanksi. Jika tidak mau bertaubat, dalam hukum Islam, orang tersebut dipenjara dan tidak diberi makan dan minum sampai terbenamnya matahari (Maghrib). Orang tersebut tidak dihukumi kafir, namun dikhawatirkan akhir hayatnya mati dalam keadaaan su-ul khatimah. Na’udzubillah…
Hukum Puasa
Puasa mempunyai 4 (empat) macam hukum:
1. Wajib, yaitu dalam 6 macam puasa:
a. Puasa Ramadhan
b. Puasa Qadla
c. Puasa Kaffarah / penebus [seperti kaffarah dzhihar (menyamakan punggung istrinya dengan punggung ibunya), atau kaffarah sebab berhubungan suami istri pada siang hari bulan Ramadhan].
d. Puasa saat haji dan umrah, sebagai ganti dari menyembelih hewan ternak dalam pembayaran fidyah.
e. Puasa dalam ritual shalat Istisqa (shalat memohon turunnya hujan), jika diperintahkan oleh pemerintah.
f. Puasa nadzar.
2. Sunnah, terbagi menjadi 3 (tiga) macam:
A. Terulang tiap tahun, seperti puasa hari Arafah, puasa Tasu’a (tanggal 9), ‘Asyura (tanggal 10), dan tanggal 11 bulan Muharram, puasa 6 hari di bulan Syawwal, puasa pada bulan-bulan suci (yaitu bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab), puasa 10 hari pertama dari bulan Dzul Hijjah, dan sebagainya.
B. Tidak terulang tiap tahun, seperti puasa al ayyam al biidh (“hari-hari putih”, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan hijriyyah), dan puasa al ayyam as suud (“hari-hari hitam”, yaitu tanggal 28, 29, dan 30 pada tiap bulan hijriyyah).
C. Terulang tiap minggu, seperti puasa hari Senin dan Kamis.
Catatan:
- Puasa sunnah yang paling afdhal adalah puasa Nabi Dawud, yaitu satu hari puasa satu hari tidak.
3. Makruh, seperti puasa hari Jum’at saja, atau Sabtu saja, atau Ahad saja. Tidak makruh, jika digabung dengan yang lain, misalkan Jum’at dengan Sabtu, atau Sabtu dengan Minggu, atau 3 hari berturut-turut (Jum’at, Sabtu, dan Minggu). Makruh juga puasa tiap hari sepanjang tahun (puasa dahr) bagi orang yang khawatir puasa tersebut dapat membahayakan dirinya.
4. Haram, terbagi menjadi 2 (dua) bagian:
A. Haram namun puasanya sah,yaitu puasanya seorang istri tanpa seizin suaminya, dan puasanya seorang budak sahaya tanpa seizin tuannya.
B. Haram dan puasanya tidak sah, dalam 5 (lima) kasus:
1. Puasa saat hari Raya Idul Fitri (1 Syawwal)
2. Puasa saat hari Raya Idul Adha (10 Dzul Hijjah)
3. Puasa saat hari-hari tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzul Hijjah.
4. Puasa separuh terakhir di bulan Syakban, yaitu tanggal 16, 17, 18 sampai akhir bulan Syakban.
5. Puasa hari syak (ragu), yaitu puasa hari ke-30 pada bulan Syakban, jika sudah ramai dibicarakan tentang terlihatnya bulan / hilal.
Catatan:
- Kapankah boleh berpuasa pada hari syak (30 Syakban) atau pada separuh terakhir bulan Syakban?
Boleh dalam 3 (tiga) hal:
1. Jika puasanya merupakan puasa wajib, seperti puasa qadla, kaffarah atau nadzar.
2. Jika dia punya kebiasaan puasa sunnah, seperti puasa hari Senin dan Kamis. Sudah dihukumi menjadi kebiasaannya meskipun baru satu kali berpuasa sunnah tersebut.
3. Jika separuh terakhir pada bulan tersebut sambung dengan hari sebelumnya, contohnya, seseorang berpuasa pada tanggal 15 Syakban, maka boleh baginya puasa tanggal 16. Jika boleh puasa tanggal 16, maka boleh baginya puasa tanggal 17, dan seterusnya sampai akhir bulan. Namun jika terputus dengan tidak puasa 1 hari, misalkan tanggal 18 Syakban kemudian dia tidak berpuasa, maka tanggal 19 dan seterusnya dia tidak boleh berpuasa lagi.
Syarat Sah Puasa
Artinya, jika sudah terpenuhi syarat-syarat 4 (empat) di bawah ini sah puasanya, yaitu:
1. Islam
Dengan demikian dia harus terus dalam keadaan Islam sepanjang siang, jika sampai murtad / keluar dari agama Islam –na’udzubillah- meskipun hanya sekejap, maka puasanya batal.
2. Berakal
Disyaratkan sepanjang hari itu dia harus terus dalam keadaan berakal. Jika seumpama sekejap saja dia gila, maka puasanya batal. Adapun hilangnya akal karena pingsan atau mabuk, akan dibahas secara terperinci pada pembahasan tentang hal-hal yang dapat membatalkan puasa.
3. Tidak haid atau nifas.
Dengan demikian, bagi orang wanita yang ingin berpuasa, dia harus suci dari haid dan nifas sepanjang siang. Jika keluar darah haid pada akhir siang (meskipun waktu berbuka tinggal sekejap saja), maka puasanya batal. Begitu juga jika dia suci / terputus haidnya di siang hari, kemudian dia berniat puasa, maka puasanya tersebut tidak sah, namun disunnahkan baginya untuk menahan diri dari hal yang bisa membatalkan puasa (dengan tanpa niat untuk berpuasa).
4. Mengetahui bahwa di hari itu dia boleh berpuasa.
Artinya, bukan di hari yang dilarang untuk berpuasa, sebagaimana telah dibahas.
Syarat Wajib Puasa
Artinya, jika sudah terpenuhi 5 (lima) syarat ini, seseorang wajib berpuasa, yaitu:
1. Islam
Dengan demikian, orang kafir tidak dituntut di dunia untuk berpuasa. Adapun orang murtad, dia wajib meng-qadla puasa yang ditinggalkan saat dia murtad, jika dia sudah kembali lagi masuk Islam.
2. Mukallaf
Yaitu baligh dan berakal. Adapun anak kecil, wajib bagi walinya (orang tua, kakek, dsb) untuk menyuruhnya berpuasa saat dia berumur 7 tahun. Jika sudah berumur 10 tahun tidak mau berpuasa, sang wali wajib memukulnya jika hal tersebut memungkinkan.
3. Mampu
Baik secara indrawi maupun syar’i. Mampu secara indrawi maksudnya bukan orang yang sangat tua, atau sakit parah yang sulit sembuh. Mampu secara syar’i, artinya bukan orang yang sedang haid atau nifas.
4. Sehat
Karena itu orang yang sakit tidak wajib berpuasa.
Ukuran sakit yang menjadikannya boleh tidak berpuasa: sekira jika tetap berpuasa, dikhawatirkan sakitnya tambah parah, atau sembuhnya menjadi lama.
5. Muqim
Dengan demikian, puasa tidak wajib bagi orang yang sedang bepergian jauh (minimal 82 KM) dan perjalanannya merupakan perjalanan yang mubah/boleh, bukan untuk maksiat. Disyaratkan pula, dia berangkat sebelum terbitnya fajar.
Hukum yang afdhal bagi musafir adalah tetap berpuasa, jika tidak membahayakan dirinya. Jika membahayakan, maka diutamakan untuk tidak berpuasa.
Rukun-Rukun Berpuasa
Ada 2 (dua), yaitu:
1. Niat, baik puasa sunnah maupun puasa wajib. Niat wajib untuk dilakukan setiap hari. Dan disunnahkan pada awal bulan Ramadhan untuk berniat puasa selama sebulan.
Niat puasa wajib, harus dilakukan pada malam hari. Waktunya sejak matahari terbenam (maghrib) dan berakhir hingga terbenamnya fajar (subuh). Adapun niat puasa sunnah, waktunya berakhir hingga waktu dzuhur. Dengan demikian, niat puasa sunnah, sah dilakukan meski setelah terbitnya fajar, namun dengan 2 (dua) syarat:
1. Niat tersebut dilakukan sebelum masuk waktu Dzuhur.
2. Sejak terbitnya fajar sampai masuk waktu Dzuhur tidak melakukan sesuatu pun yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan sebagainya.
Lafadz niat adalah: “Nawaitu shauma ghadin ‘an adaa-i fardli syahri Ramadlaana li haadzihis sanati lillaahi ta’aala” (saya niat berpuasa besok untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala).
Perbedaan antara niat puasa wajib dengan niat puasa sunnah:
No Niat Puasa Wajib Niat Puasa Sunnah
1 Masuk waktunya sejak terbenamnya matahari (waktu Maghrib) sampai terbitnya fajar, dengan demikian wajib niat di malam hari. Masuk waktunya sejak terbenamnya matahari (waktu Maghrib) sampai bergesernya matahari di siang hari (waktu dzhuhur), dengan demikian tidak wajib niat di malam hari.
2 Wajib menentukan jenis puasanya, seperti puasa Ramadhan, puasa kaffarah, puasa nadzar, atau puasa qadla Tidak wajib menentukan jenis puasanya, kecuali jika puasa sunnahnya merupakan puasa yang waktunya tertentu, seperti puasa hari Arafah
3 Tidak boleh menggabungkan 2 puasa fardlu dalam satu hari, misalkan niat puasa nadzar dan niat puasa qadla Ramadlan. Boleh menggabungkan 2 puasa sunnah atau lebih dalam satu hari, misalkan niat puasa hari Senin dan niat puasa hari Arafah sekaligus (seumpama harinya bertepatan).
Catatan:
Dalam kasus yang bagaimanakah, sah puasa sunnah dengan niat yang dilakukan setelah terbitnya fajar, meskipun telah melakukan hal yang dapat membatalkan puasa (telah makan, atau minum, dsb)?
Contohnya adalah jika sudah menjadi kebiasaan seseorang berpuasa sunnah pada hari tertentu, seperti hari Senin atau hari Arafah. Kemudian di hari itu dia lupa dan makan di pagi hari misalnya, setelah itu dia ingat bahwa hari itu adalah hari Senin atau hari Arafah, maka sah niatnya dengan syarat dilakukan sebelum masuk waktu Dzuhur.
2. Meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa.
Namun tidak batal jika hal-hal itu dilakukan karena lupa, atau dipaksa, atau karena tidak tahu, yang ketidaktahuannya karena udzur.
Ketidaktahuan seseorang dianggap udzur jika:
a. Hidup jauh dari ulama.
b. Baru masuk atau mengenal Islam.
Kewajiban Puasa Ramadhan
Wajib Puasa Ramadhan setelah didapati salah satu dari 5 (lima) hal. Dua hal bersifat umum, dan tiga hal bersifat khusus.
Adapun dua hal yang bersifat umum adalah:
1. Setelah sempurnanya bulan Syakban 30 hari.
2. Terlihatnya bulan/hilal dengan persaksian dari seorang yang adil (bukan fasiq), lelaki, merdeka, rasyid (bijaksana), tidak tuli, tidak buta, sadar, tidak melakukan dosa besar, tidak punya kebiasaan selalu melakukan dosa kecil, taatnya lebih banyak dari pada maksiatnya.
Maksud “bersifat umum” adalah: wajib puasa bagi seluruh penduduk wilayah tersebut, juga bagi orang yang berada dalam satu mathla’ (terbit dan terbenamnya matahari waktunya sama), ini menurut pendapat Imam Nawawi. Sedang menurut Imam Rafi’i, wajib atas penduduk yang berada di wilayah tersebut dan juga penduduk yang berada sampai sepanjang jarak qashar (82 Km).
Adapun tiga hal yang bersifat khusus adalah:
1. Dengan melihat hilal, maka wajib bagi orang tersebut untuk berpuasa, meski dia orang yang fasiq.
2. Seseorang diberitahu tentang terlihatnya hilal. Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan:
- Jika pembawa berita adalah orang yang dapat dipercaya, wajib puasa di hari itu, baik yang menerima berita yakin dengan kebenaran beritanya atau tidak.
- Jika pembawa berita bukan orang yang dapat dipercaya, maka tidak wajib puasa hari itu, kecuali jika si penerima berita yakin dengan kebenaran beritanya.
3. Dengan sangkaan yang merupakan hasil ijtihad, seperti mendengar semacam petasan atau ‘blenggur’ yang biasanya digunakan untuk menandai masuknya bulan Ramadhan.
Permasalahan-Permasalahan Penting tentang Terlihatnya Hilal
1. Seseorang mendapat berita dari orang yang dia yakini kebenaran beritanya, bahwa hilal telah terlihat, kemudian dia berpuasa Ramadhan. Setelah 30 hari berpuasa Ramadhan, hilal untuk menandai berakhirnya bulan Ramadhan dan datangnya bulan Syawwal tidak kunjung terlihat juga, apakah boleh dia tidak berpuasa pada hari ke-31, walaupun hilal saat itu tidak terlihat?
Menurut Imam Ramli, dia boleh tidak berpuasa, namun dengan cara yang tidak ditampak-tampakkan di depan umum. Sedang menurut Imam Ibnu Hajar, dia tetap wajib berpuasa.
2. Jika seseorang melakukan perjalanan, berangkat dari daerahnya di akhir bulan Syakban dan dia dalam keadaan tidak berpuasa karena di daerahnya hilal belum terlihat. Setelah sampai di daerah tujuan, dia mendapati penduduk daerah tersebut sedang berpuasa karena di wilayah tersebut hilal telah terlihat, bagaimanakah hukumnya? Atau sebaliknya, dia bepergian dalam keadaan berpuasa karena di daerahnya hilal telah terlihat, kemudian di daerah tujuan, penduduknya belum berpuasa, bagaimanakah hukumnya?
Dalam kasus pertama, jika orang tersebut mendapati mereka sedang berpuasa, maka orang tersebut wajib pula berpuasa seperti penduduk daerah tersebut. Sedang dalam kasus kedua, jika orang tersebut mendapati mereka belum berpuasa, menurut Imam Ramli dia membatalkan puasanya. Sedang menurut Imam Ibnu Hajar, dia tidak boleh membatalkan puasanya, karena puasanya tersebut dibangun atas keyakinan terlihatnya hilal, maka dia tidak boleh melanggar keyakinannya tersebut.
3. Jika seseorang melakukan perjalanan dari wilayahnya pada akhir bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa, karena hilal belum terlihat, atau sebaliknya, dia sudah tidak berpuasa lagi karena hilal telah terlihat. Setelah sampai di daerah tujuan, dia mendapati penduduknya sudah tidak berpuasa sedang dirinya masih berpuasa, atau sebaliknya, dia mendapati penduduk daerah tersebut masih berpuasa, sedang dirinya sudah tidak berpuasa, bagaimanakah hukumnya?
Dalam dua contoh kasus di atas, menurut pendapat terkuat, dia wajib mengikuti apa yang dilakukan oleh penduduk daerah tersebut, karena saat itu dia menjadi bagian penduduk daerah tersebut.
Sunnah-Sunnah Berpuasa dan Bulan Ramadhan
1. Mempercepat (ta’jil) buka puasa jika sudah yakin masuk waktu berbuka (yakni terbenamnya matahari). Jika ragu, maka dia harus berhati-hati dengan menunda sebentar buka puasa sampai merasa yakin dengan masuknya waktu berbuka.
2. Sahur, walaupun dengan seteguk air. Masuk waktu sahur mulai pertengahan malam.
3. Mengakhirkan sahur di akhir malam. Disunnahkan untuk berhenti makan sebelum terbitnya fajar seukuran membaca 50 ayat (seperempat jam).
4. Berbuka dengan kurma muda (ruthab), jika tidak ada maka dengan kurma, jika tidak ada maka dengan air zamzam, jika tidak ada maka dengan air biasa, jika tidak ada maka dengan makanan manis yang masak tanpa menggunakan api (seperti madu atau kismis), jika tidak ada maka makanan manis yang masak dengan api.
5. Berdoa saat berbuka, lafadz yang terpendek adalah: “Allahumma laka shumtu, wa bika aamantu, wa ‘ala rizqika afthartu”.
6. Memberi makan untuk orang yang berbuka.
7. Jika berhadats besar, disunnahkan mandi janabah / mandi besar sebelum terbit fajar.
8. Mandi di malam hari setiap ba’da Maghrib di bulan Ramadhan, supaya lebih giat untuk qiyamul lail (tarawih, tadarrus, dll).
9. Senantiasa melaksanakan shalat Tarawih selama bulan Ramadhan.
10. Senantiasa melaksanakan shalat Witir. Shalat Witir pada bulan Ramadhan mempunyai kekhususan hukum yaitu:
a. Disunnahkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah.
b. Disunnahkan bagi imam untuk memperkeras bacaan.
c. Disunnahkan untuk membaca qunut pada separuh kedua bulan Ramadhan.
11. Memperbanyak bacaan Alquran.
12. Memperbanyak melakukan kesunnahan-kesunnahan, seperti shalat Rawatib, shalat Dhuha, shalat Tasbih, dan sebagainya.
13. Memperbanyak amal-amal shalih, seperti shadaqah, shilaturrahmi, menghadiri majlis taklim/pengajian, i’tikaf, umrah, menjaga hati dan anggota tubuh dari perbuatan maksiat, memperbanyak doa, dan sebagainya.
14. Lebih meningkatkan semangat ibadah pada 10 hari terakhir, mengejar lailatul qadar pada malam-malam tersebut, terutama pada tanggal-tanggal ganjilnya.
15. Lebih memperbanyak dalam menafkahi keluarganya.
16. Meninggalkan banyak bergurau, terutama yang mengandung ejekan. Jika diejek oleh seseorang, harus segera ingat bahwa dirinya sedang berpuasa.
Hal-Hal yang Dimakruhkan dalam Berpuasa, ada 8 (delapan):
1. Mengunyah sesuatu tanpa ada yang sampai ke tenggorokan (jika ada yang sampai ke tenggorokan, puasanya batal).
2. Menyicipi makanan tanpa ada perlunya, (dengan syarat tidak ada makanan yang sampai ke tenggorokan, jika ada, puasanya batal). Adapun jika ada hajat, seperti untuk merasakan makanan, hukumnya tidak makruh.
3. Hijamah (cantuk), yaitu mengeluarkan darah kotor, karena bisa menyebabkan tubuh menjadi lemah.
4. Membuang (“nglepeh”) air dari mulut saat berbuka, karena bisa menghilangkan barakah puasa.
5. Mandi dengan cara berendam, walaupun mandinya merupakan mandi wajib.
6. Siwak / gosok gigi setelah Dzuhur, karena bisa menghilangkan bau mulut. Menurut Imam Nawawi, hukumnya tidak makruh.
7. Terlalu kenyang saat berbuka atau sahur, dan banyak tidur, serta melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Karena hal tersebut bisa menghilangkan hikmah puasa.
8. Melakukan keinginan-keinginan yang mubah (boleh), yang biasanya dilakukan oleh indra penciuman (hidung), indra penglihatan (mata), indra pendengaran (telinga), dan sebagainya.
Hal-Hal yang Dapat Membatalkan Puasa, terbagi menjadi 2 (dua) macam:
I. Membatalkan pahala puasa, ada 6 (enam):
1. Ghibah, yaitu menyebutkan sesuatu tentang seseorang ketika orang tersebut tidak ada, sekiranya dia mendengar, dia akan merasa tidak suka, walaupun isi pembicaraan itu benar adanya.
2. Namimah, yaitu menyebarkan berita dengan tujuan terjadinya fitnah.
3. Bohong.
4. Melihat sesuatu yang diharamkan, atau melihat sesuatu yang halal namun dengan syahwat.
5. Sumpah palsu.
6. Berkata keji, atau melakukan perbuatan keji.
II. Membatalkan puasa, baik membatalkan pahalanya maupun puasa itu sendiri (karenanya wajib qadla):
1. Murtad, yakni keluar dari Islam, baik dengan niat dalam hati, perkataan, perbuatan, walaupun perbuatan murtad tersebut sekejap saja.
2. Haid, nifas, atau melahirkan, walaupun sekejap saja di siang hari.
3. Gila, walaupun sebentar saja.
4. Pingsan dan mabuk (jika memakan waktu sepanjang siang). Adapun jika siuman, walaupun sebentar saja, menurut Imam Ramli sah puasanya. Menurut Ibnu Hajar, batal puasanya jika mabuknya disengaja, walaupun cuma sebentar.
5. Berhubungan badan, dengan sengaja, tahu bahwa hukumnya haram, dan tidak dipaksa.
Jika seseorang ‘merusak’ puasanya di bulan Ramadhan, di siang hari, dengan berhubungan badan ‘secara sempurna’ (masuknya kelamin laki-laki ke kelamin wanita), dengan melakukan itu dia berdosa karena dia sedang berpuasa (artinya, bukan sedang bepergian jauh dan mubah, dan bukan karena perbuatan zina dalam perjalanan itu), maka wajib atasnya ‘menerima’ 5 (lima) dampak:
1. Dia berdosa
2. Wajib untuk tetap tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, dsb)
3. Wajib di-ta’zir, yaitu menerima hukuman dari hakim/pemerintah, jika dia tidak bertaubat.
4. Wajib meng-qadla puasanya.
5. Wajib melakukan kaffarah ‘udzma, yaitu salah satu dari 3 hal (secara berurutan, artinya, tidak boleh pindah ke urutan kedua jika mampu melakukan urutan pertama), yaitu:
a. Membebaskan budak muslim, atau
b. Puasa dua bulan berturut-turut, atau
c. Memberi makanan 60 orang miskin, setiap orang miskin satu mud.
Catatan:
- Kaffarah ini wajib atas orang laki-laki, tidak atas wanita, karena dengan masuknya kelamin laki-laki, sang wanita sudah menjadi batal puasanya.
- Kaffarah terulang dengan terulangnya hari. Artinya, jika dia melakukan hubungan badan tersebut, misalkan, selama dua hari, maka dia wajib membayar kaffarah dua kali.
6. Sampainya suatu benda (bukan angin yang tidak berwujud atau aroma rasa) ke tempat makanan dan obat (tenggorokan, lambung, otak, dsb) melalui lobang terbuka dalam tubuh.
Dengan demikian, tidak mengapa, misalkan, ada benda masuk melalui lobang yang tidak terbuka, seperti minyak yang masuk melalui pori-pori kulit. Menurut Madzhab Syafi’i, semua lobang adalah terbuka, kecuali mata.
Beberapa permasalahan penting dalam hal ini:
1. Hukum suntik boleh jika darurat (sangat dibutuhkan). Namun para ulama berbeda pendapat, apakah dapat membatalkan puasa atau tidak.
- Pendapat pertama mengatakan suntik dapat membatalkan puasa secara mutlak, karena benda yang disuntikkan sampai ke jalur makanan.
- Sedang pendapat kedua mengakatan, suntik tidak membatalkan puasa secara mutlak, karena benda yang disuntikkan sampai ke jalur makanan tidak melalui lobang terbuka dalam tubuh.
- Pendapat ketiga memperinci; jika benda yang disuntikkan merupakan makanan, puasanya batal. Jika bukan merupakan makanan, maka dilihat: jika suntikan di urat, maka membatalkan puasa. Jika tidak, seperti di otot, maka tidak membatalkan puasa.
2. Riak, hukumnya diperinci:
- Jika sampai keluar ‘batas luar’, kemudian ditelan, maka puasanya batal.
- Jika sampai ‘batas dalam’ saja, kemudian ditelan, maka puasanya tidak batal.
Batas luar adalah tempat keluarnya huruf kha’ ( ). Sedang batas dalam adalah tempat keluarnya huruf ha’ besar ( ).
3. Hukum menelan air ludah, tidak membatalkan puasa, karena sangat sulit dihindari, namun dengan 3 (tiga) syarat:
a. Air ludah tersebut murni, tidak bercampur benda atau materi lain.
b. Air ludah tersebut suci, tidak bercampur benda najis seperti darah.
c. Air ludah tersebut berada di dalam, seperti di mulut atau lidah. Dengan demikian, jika dia menelan air ludah yang sudah berada di bagian bibir yang berwarna merah, maka puasanya batal.
4. Hukum masuknya air dengan tanpa sengaja saat mandi, diperinci:
- jika mandi tersebut disyari’atkan (diperintahkan oleh syariat), seperti mandi wajib / mandi janabah, atau mandi sunnah (seperti mandi sebelum shalat Jum’at), maka puasanya tidak batal, dengan syarat mandinya dengan cara menyiramkan air. Jika dengan cara menyelam di air, maka puasanya batal.
- Jika mandinya tidak disyari’atkan, seperti mandi hanya untuk menyegarkan badan, atau untuk membersihkan badan, maka jika ada air masuk, batal puasanya, meskipun tidak disengaja, baik mandi dengan cara menyiramkan air atau menyelam di air.
5. Hukum jika ada air yang tertelan tanpa disengaja saat berkumur atau memasukkan air ke dalam hidung. Dalam hal ini hukumnya terperinci:
a. Jika berkumur itu disyari’atkan, misalkan dalam wudlu atau mandi besar, maka dilihat dahulu:
- Jika berkumurnya tidak dengan sangat, kemudian ada air yang tertelan, maka puasanya tidak batal.
- Jika berkumur dengan sangat, kemudian ada air yang tertelan, maka puasanya batal. Karena terlalu berlebihan dalam berkumur saat puasa hukumnya makruh.
b. Jika berkumurnya bukan termasuk perkara yang disyari’atkan, seperti berkumur dalam berwudlu atau mandi namun yang ke-empat kalinya (padahal yang disunnahkan hanya tiga kali), atau berkumur untuk menyegarkan mulut, dan sebagainya, kemudian ada air yang tertelan, maka puasanya batal, meskipun berkumurnya tidak dengan sangat.
7. Mengeluarkan mani (sperma), baik dengan tangan, atau tangan istrinya, atau dengan berhayal, atau dengan melihat (jika dengan berhayal dan melihat itu dia tahu kalau akan mengeluarkan sperma), atau dengan tidur berbaring bersama istrinya. Jika sperma keluar dengan salah satu sebab di atas, maka puasanya batal.
Ringkasan masalah dalam permasalahan ini adalah, bahwa keluarnya air mani terkadang membatalkan dan terkadang tidak membatalkan.
I. Membatalkan puasa, dalam 2 (dua) kondisi:
a. Dengan cara mengeluarkannya dengan sengaja, dengan cara apapun.
b. Jika menyentuh atau berhubungan dengan istrinya secara langsung tanpa penutup / pembatas semacam kain atau yang lain.
II. Tidak membatalkan puasa, dalam 2 (dua) kondisi:
a. Jika air mani keluar tanpa menyentuh atau berhubungan, seperti sebab berhayal atau melihat sesuatu (kecuali jika dengan berhayal dan melihat itu dia tahu kalau akan mengeluarkan sperma, maka puasanya batal).
b. Jika keluar karena menyentuh, namun dengan menggunakan penutup/pembatas.
Catatan:
Hukum mencium saat puasa adalah haram jika sampai membangkitkan syahwat. Jika tidak sampai membangkitkan syahwat maka hukumnya makruh. Mencium tidak membatalkan puasa, kecuali jika sampai mengeluarkan air mani.
8. Muntah dengan sengaja.
Muntah dapat membatalkan puasa, walau hanya sedikit. Yang dimaksud dengan muntahan adalah makanan yang keluar lagi, setelah sampai di tenggorokan, walaupun berupa air, atau makanan, walaupun belum berubah rasa dan warnanya. Jika muntah dengan tidak disengaja, puasanya tidak batal.
Jika seseorang muntah maka mulutnya menjadi najis, dengan demikian dia wajib:
- membersihkan mulutnya dengan air, dan
- menyangatkan dalam berkumur sampai air kumuran dapat membersihkan seluruh bagian mulutnya dalam batas luar (tempat keluarnya huruf kha’/ ). Dalam kasus ini, jika ada air yang tertelan dengan tanpa sengaja, puasanya tidak batal, karena menghilangkan najis termasuk perkara yang disyari’atkan (diperintah oleh syari’at).
Jika seseorang puasanya batal, maka apa yang diwajibkan atasnya?
Ada 4 (empat) macam hukum:
1. Wajib meng-qadla dan membayar fidyah, yaitu bagi dua kelompok orang:
a. Bagi orang yang tidak berpuasa karena mengkhawatirkan keselamatan atau kesehatan orang lain, seperti orang hamil yang menghawatirkan kondisi janinnya, atau wanita menyusui yang menghawatirkan kondisi bayi yang disusuinya.
Adapun jika dia menghawatirkan kondisinya sekaligus menghawatirkan kondisi janin/bayinya, maka hanya diwajibkan untuk meng-qadla saja, tanpa membayar fidyah.
b. Bagi orang yang mempunyai kewajiban meng-qadla, namun hingga datang bulan Ramadhan lain, dia belum juga meng-qadla, dengan tanpa adanya udzur/halangan.
Fidyah adalah satu mud tiap harinya, dari makanan pokok suatu daerah (beras, gandum, sagu, atau yang lain). Fidyah berulang dengan berulangnya tahun. Artinya, jika lewat Ramadhan sampai dua kali dia tidak meng-qadla puasanya, maka tiap hari di mana dia meninggalkan puasa, dia wajib membayar dua mud, demikian seterusnya.
2. Wajib qadla, tanpa membayar fidyah, yaitu bagi orang yang pingsan, atau lupa niat, atau sengaja membatalkan puasa, bukan dengan cara bersetubuh (karena dengan bersetubuh, ada pembahasan hukum tersendiri).
3. Wajib fidyah, tanpa wajib qadla, yaitu bagi orang yang sangat tua, dan orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya.
4. Tidak wajib membayar fidyah, juga tidak wajib qadla, seperti orang gila yang kegilaanya tidak disengaja.
Beberapa keadaan diwajibkan untuk qadla, namun tetap harus meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, dll) sampai Maghrib, ada 6 keadaan, yaitu:
1. Bagi orang yang sengaja membatalkan puasanya.
2. Bagi orang yang tidak niat di malam hari, meskipun karena lupa.
3. Bagi orang yang sahur karena mengira masih malam / belum terbit fajar, ternyata tidak.
4. Bagi orang yang berbuka puasa karena mengira sudah Maghrib, ternyata belum.
5. Bagi orang yang tidak berpuasa karena mengira / meyakini masih tanggal 30 Syakban, ternyata hari itu sudah masuk Ramadhan.
6. Bagi orang yang kemasukan air karena perbuatan yang tidak disyari’atkan (tidak diperintahkan oleh syariat), seperti berkumur, memasukkan air ke hidung, atau mandi untuk menyegarkan badan.
Beberapa kondisi yang tidak membatalkan puasa, walaupun kemasukan benda lewat lobang yang terbuka dalam tubuh, ada 7, yaitu:
1. Karena lupa.
2. Karena tidak mengetahui bahwa hal itu dapat membatalkan puasanya, dan ketidakmengertiannya memang termasuk udzur (sebagaimana telah dijelaskan).
3. Karena dipaksa (tentang syarat hukum paksaan, telah dijelaskan dalam Bab Shalat).
4. Karena kemasukan melalui aliran ludah yang ada di antara gigi-giginya.
5. Karena kemasukan debu jalan.
6. Karena kemasukan hamburan ayakan tepung atau sejenisnya.
7. Karena kemasukan lalat yang terbang atau sejenisnya.
Beberapa Permasalahan Penting dalam Puasa
Jika di siang hari seorang anak baligh, atau seorang musafir mukim (sampai di daerahnya, atau memutuskan untuk tinggal di suatu daerah), atau seorang yang sakit sembuh, dan mereka semua saat itu dalam keadaan berpuasa, haram bagi mereka untuk membatalkan puasanya dan wajib meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa.
Jika seorang wanita suci dari haid atau nifas, atau seseorang sembuh dari gilanya, atau seorang kafir masuk Islam di siang hari bulan Ramadhan, mereka dianjurkan untuk meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Dan bagi orang yang gila dan orang kafir tadi, tidak wajib qadla.
Seorang yang murtad (keluar dari Islam), wajib meng-qadla puasa yang ditinggalkannya selama dia murtad, walaupun di tengah kemurtadannya, dia gila.
Termasuk kesalahan yang sering terjadi di masyarakat adalah saat mereka mendengar suara adzan Subuh, mereka bersegera minum, dengan keyakinan bolehnya hal itu selama muadzzin masih mengumandangkan adzan. Padahal hal itu tidak boleh. Dengan demikian, jika dia melakukan hal itu, maka puasanya batal. Jika puasanya merupakan puasa wajib, dia wajib meng-qadla-nya.
Hal ini karena adzan tidak dikumandangkan kecuali sudah masuk waktu fajar/Subuh. Dengan demikian, jika orang tadi minum saat muadzzin mengumandangkan adzan, berarti dia minum saat fajar telah terbit, puasanya pun menjadi tidak sah (namun dia tetap harus meneruskan untuk tidak makan, minum, dan sebagainya sampai Maghrib).
Jika seseorang meninggal dunia, padahal dia masih punya tanggungan qadla puasa atau tanggungan kaffarah, maka boleh bagi walinya berpuasa untuk melunasi tanggungan kerabatnya yang meninggal dunia tersebut, atau mengeluarkan satu mud untuk tiap satu harinya.
Boleh bagi seseorang untuk membatalkan puasanya jika puasanya merupakan puasa sunnah, walaupun dengan tanpa udzur/halangan. Namun jika puasa wajib (Ramadhan, qadla, nadzar, atau yang lain), tidak boleh dibatalkan.
Puasa wishal (puasa dua hari berturut-turut tanpa buka puasa / makan, minum atau yang lainnya) hukumnya haram.
Jika seseorang melihat orang lain yang berpuasa sedang makan, jika dzahir sifat orang tersebut adalah taqwa, maka disunnahkan untuk diingatkan, namun jika dzahir sifatnya adalah suka meremehkan perintah-perintah Allah, maka wajib diingatkan.
sumber : http://hafez.wordpress.com/2008/08/30/fiqih-puasa/
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !