Latar Belakang Structure in School
Materi Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi
Oleh Dirgantara Wicaksono (BomBom)
Manajemen Pendidikan PPs UNJ
Salah satu isu sentral paradigma manajerial pendidikan adalah peralihan dari model sentralisasi ke desentralisasi. Model sentralisasi dipandang merugikan dunia pendidikan karena lembaga pendidikan dikelola lebih sebagai unit birokrasi ketimbang institusi akademik. Dalam model ini, struktur pendidikan lebih merupakan sebuah struktur formal sentralistik.
Kepala sekolah dan guru tampil lebih sebagai aparat birokrasi yang terkontaminasi dengan kekuasaan dan terlilit perilaku politisi secara serta-merta ketimbang sebagai tenaga akademik yang profesional. Pola kerjanya amat tergantung pada petunjuk pelaksanan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari instansi di atasnya dan semua itu diterima tanpa sikap kritis.
Sebaliknya pada institusi pendidikan yang dikelola secara desentralistik, sekolah lebih dominan sebagai institusi akademik ketimbang unit birokrasi. Kepala sekolah dan guru tampil lebih sebagai tenaga akademik yang profesional sungguhan ketimbang sebagai aparat birokrasi yang terkontaminasi dengan kekuasaan dan terlilit perilaku politisi secara serta-merta.
Format pengelolaan sekolah semacam ini hanya akan muncul jika unit-unit birokrasi yang ada secara hierarkis, terutama unit-unit birokrasi pendidikan, melakukan reorientasi kerja dan fungsi pemberdayaan. Kaum birokrat pendidikan harus banyak menjalankan fungsi fasilitatif dan menetapkan garis-garis umum kebijakan pendidikan.
Sementara urusan manajemen internal sekolah yang mendukung proses pendidikan dan pembelajaran dikreasi secara otonom oleh organisasi sekolah sendiri. Format kerja manajemen sekolah seperti inilah yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).
Berkaitan dengan beberapa pokok pikiran di atas, makalah ini akan mengkaji beberapa hal seputar struktur formal dalam lembaga pendidikan (sekolah).
Hal pertama yang akan dipaparkan adalah kajian singkat tentang birokrasi Weberian, sebagai salah satu konsep birokrasi yang berpengaruh luas dalam pelbagai organisasi, termasuk lembaga pemerintahan dan organisasi pendidikan (sekolah).
Kedua, tipe ideal birokrasi yang rasional menurut Weber ternyata memiliki beberapa titik lemah, yang selain tidak sesuai dengan konteks masa kini tetapi juga memiliki perbedaan esensial dengan organisasi pendidikan.
Ketiga, ada kaitan erat antara sistem birokrasi pada umumnya dengan struktur formal di sekolah. Dalam bagian ini, ditunjukkan bentuk struktur formal yang ideal dalam sebuah organisasi sekolah.
Keempat, tiga poin terdahulu menekankan dua hal utama, yakni karakteristik individu dan organisasi, dan pola relasional yang terjadi dalam sebuah organisasi (lembaga pendidikan). Untuk mengkaji hal tersebut, kami akan mengemukakan perspektif loose coupling sebagai salah satu alat konseptual yang menekankan pola relasional dalam sekolah.
2. Permasalahan
Yang menjadi fokus permasalahan yang dikemukakan dalam makalah ini adalah bagaimana bentuk struktur formal di sekolah yang ideal, yang sesuai dengan semangat organisasi pendidikan sebagai institusi akademik.
3. Tujuan dan Manfaat
3.1. Tujuan
a. Untuk menjelaskan model birokrasi Weberian
b. Untuk mengkaji dan mengkritik model birokrasi Weberian
c. Untuk menjelaskan model struktur formal di sekolah
d. Untuk menjelaskan perspektif loose coupling dalam hubungan dengan struktur formal di sekolah
3.2. Manfaat
a. Agar para peserta diskusi mendapat pemahaman yang jelas tentang model birokrasi Weberian, kritikan terhadap model birokrasi ini, model struktur formal di sekolah, dan perspektif loose coupling dalam struktur formal di sekolah.
b. Agar para peserta diskusi dapat menggali lebih dalam perbandingan model struktur birokrasi Weberian dan model struktur formal di sekolah dalam semangat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
c. Agar para peserta diskusi dapat mengkaji penerapan perspektif loose coupling dalam struktur formal di sekolah.
PEMBAHASAN
1. Konsep Birokrasi Weberian
1.1. Pengertian Birokrasi Weberian
Secara umum, birokrasi merujuk pada empat pengertian. Pertama, menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu. Pengertian ini menyamakan birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk pengalokasian sumber daya dalam suatu organisasi besar.
Pengertian ini berpadanan dengan istilah pengambilan keputusan birokratis. Ketiga, menunjuk pada “kebiroan” atau mutu yang membedakan antara biro-biro dengan jenis-jenis organisasi lain.
Pengertian ini lebih menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi. Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji berfungsi dalam pemerintahan .
Konsep birokrasi, bila digali ke akarnya, akan ditemukan bahwa salah seorang yang paling berpengaruh menggagaskan dan mengembangkan konsep birokrasi pada awal abad ke-19 adalah Max Weber.
Dia adalah seorang sosiolog kenamaan Jerman, yang menulis karya yang sangat berpengaruh bagi dunia. Karya itu sampai sekarang dikenal konsep tipe ideal birokrasi. Konsep ini secara luas biasa disebut birokrasi Weberian.
Dalam konsep ini, birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi publik. Dengan kata lain, birokrasi adalah organisasi rasional yang dibentuk untuk memperlancar aktivitas pemerintahan.
Birokrasi Weberian menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan. Tipe ideal adalah konstruksi abstrak yang membantu organisasi memahami setiap gejala kehidupan organisasi yang ada secara keseluruhan. Birokrasi seperti ini amat penting untuk memberikan pemahaman tentang mengapa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu dan apa yang membedakan kondisi tersebut dengan kondisi organisasi lainnya.
Dengan demikian, tipe ideal memberikan penjelasan bahwa organisasi mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting dan krusial yang membedakan antara kondisi organisasi tertentu dengan lainnya.
Dengan cara semacam ini, organisasi menciptakan tipe ideal tersebut. Menurut Weber, proses semacam ini bukannya menunjukkan objektivitas dari esensi birokrasi, dan bukan pula mampu menghasilkan suatu deskripsi yang benar dari konsep birokrasi secara keseluruhan.
Akan tetapi suatu tipe ideal itu hanyalah sebuah konstruksi yang bisa menjawab suatu masalah tertentu pada kondisi waktu dan tempat tertentu. Menurut Weber, tipe ideal itu bisa dipergunakan untuk membandingkan birokrasi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain di dunia ini.
Perbedaan antara kejadian senyatanya dengan tipe ideal itulah justru yang amat penting untuk dikaji dan diteliti. Jika suatu birokrasi tidak bisa berfungsi dalam tipe ideal organisasi tertentu, maka dapat ditarik suatu penjelasan mengapa hal tersebut bisa terjadi dan apa faktor-faktor yang membedakannya.
Menurut Weber, tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi mempunyai suatu bentuk yang pasti di mana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Istilah rasional dengan segala aspek pemahamannya merupakan kunci dari konsep tipe ideal birokrasi Weberian.
Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara. Secara filosofi dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”.
Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkain tujuan yang ditetapkan oleh organisasi tertentu, khususnya lembaga kepemerintahan.
Dari dasar pemikiran di atas, birokrasi Weberian berparadigma netral dan bebas nilai. Tidak ada unsur subjetivitas yang masuk dalam pelaksanaan birokrasi karena sifatnya yang impersonalitas, menanggalkan baju individu dengan ragam kepentingan yang ada di dalamnya.
Sejauh ini, ditemukan dua kata kunci dalam birokrasi Weberian, yakni rasionalitas dan efisiensi. Rasionalitas harus melekat dalam tindakan birokratik, dan bertujuan untuk menghasilkan efisiensi yang tinggi. Rasionalitas birokrasi adalah menciptakan efisiensi dan produktivitas yang tinggi tidak hanya melalui rasio yang seimbang antara volume pekerjaan dengan jumlah pegawai yang profesional, tetapi juga melalui penggunaan anggaran, penggunaan sarana, pengawasan, dan pelayanan kepada masyarakat.
Rasionalitas dan efisiensi dicerminkan dengan susunan hierarki adalah khusus merupakan kebutuhan yang amat mendesak saat itu dengan demikian ukuran rasionalitas dan efisiensi amat berbeda dengan kriteria untuk organisasi zaman modern sekarang ini yang kondisinya tidak sama dengan zamannya Max Weber. Menurut David Beetham (1975), Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya.
Tiga elemen itu adalah:
Pertama, birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis (technical instrument).
Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam masyarakat, sepanjang birokrasi mempunyai kecenderungan yang melekat (inherent tendency) pada penetapan fungsi sebagai instrumen teknis tersebut.
Ketiga, pengembangan sikap ini karena para birokrat tidak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok masyarakat yang partikular. Dengan demikian, birokrasi bisa keluar dari fungsinya yang tepat karena anggotanya cenderung berasal dari kelas sosial yang partikular tersebut. Elemen kedua dan ketiga dari birokrasi Weberian di atas, mengandung pandangan Weber terhadap peranan politik dalam birokrasi. Ada faktor politik yang bisa mempengaruhi terhadap proses tipe ideal birokrasi.
Pemikiran seperti ini menjadikan birokrasi pemerintah bertindak sebagai kekuatan yang netral dari pengaruh kepentingan kelas atau kelompok tertentu. Negara bisa mewujudkan tujuan-tujuannya melalui mesin birokrasi yang dijalankan oleh pejabat-pejabat pemerintah.
Aspek netralitas dari fungsi birokrasi pemerintah dalam pemikiran Weber dikenal sebagai konsep konservatif dari para pemikir di zamannya. Weber hanya ingin lebih meletakkan birokrasi itu sebagai sebuah mesin daripada dilihat sebagai suatu organisme yang mempunyai kontribusi terhadap kebulatan organik sebuah negara.
Pandangan para ilmuan Jerman semasa hidupnya Max Weber bahwa birokrasi itu dibentuk independen dari kekuatan politik. Ia berada di luar atau di atas aktor-aktor politik yang saling berkompetisi satu sama lain. Birokrasi pemerintahan diposisikan sebagai kekuatan yang netral.
Netralitas birokrasi diartikan bukan dalam hal lebih condong menjalankan kebijakan atau perintah dari kekuatan politik yang sedang memerintah sebagai masternya pada saat tertentu, sementara kepada kekuatan politik lainya yang sekarang pemerintah tidak mau. Akan tetapi lebih diutamakan kepada kepentingan negara dan rakyat secara keseluruhan. Sehingga siapa pun kekuatan politik yang memerintah birokrat dan birokrasinya memberikan pelayanan terbaik kepadanya.
1.2. Karakteristik Ideal Birokrasi Weber
Dalam bukunya yang berjudul “Wirtschaft und Gesellchaft (dalam versi Inggris berjudul The Theory Of Sosial And Economic, Teori Organisasi Sosial dan Ekonomi), Weber memaparkan beberapa karakteristik ideal sebagai berikut:
1) Pembagian Kerja/ Spesialisasi (division of labor)
Dalam menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang khas. Pembagian kerja seperti ini memungkinkan terjadinya spesialisasi fungsi. Dengan cara seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas khusus bisa dilakukan dan setiap orang bertanggung jawab atas pekerjaannya masing-masing.
Aktivitas yang reguler mensyaratkan tujuan organisasi didistribusikan dengan cara yang tetap dengan tugas-tugas kantor (official duties). Pemisahan tugas secara tegas memungkinkan untuk memperkerjakan ahli yang terspesialisasi pada setiap posisi dan menyebabkan setiap orang bertanggung jawab terhadap kinerja yang efektif atas tugas-tugasnya.
Karena itu tugas-tugas birokrasi hendaknya dilakukan oleh masing-masing pegawai yang benar-benar memiliki keahlian khusus (specialized expert) dan bertanggung jawab demi tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
2) Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchy)
Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara hierarkis atau berjenjang. Hierarki itu berbentuk piramida yang memiliki konsekuensi semakin tinggi suatu jenjang berarti pula semakin besar wewenang yang melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya. Hierarki wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hierarki tanggung jawab.
Dalam hierarki itu setiap pejabat harus bertanggung jawab kepada atasannya mengenai keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya sendiri maupun yang dilakukan oleh bawahannya. Pada setiap tingkat hierarki, para pejabat birokrasi memiliki hak memberi perintah dan pengarahan pada bawahannya, dan para bawahan itu berkewajiban untuk mematuhinya. Sekalipun begitu, ruang lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas dibatasi hanya pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan resmi pemerintahan.
Organisasi birokrasi mengikuti prinsip hirarki sehingga setiap unit yang lebih rendah berada dalam pengendalian dan pengawasan organisasi yang lebih tinggi. Setiap pegawai dalam hirarki administrasi bertanggung jawab kepada atasannya. Keputusan dan tindakan harus dimintakan persetujuan kepada atasan.
Agar dapat membebankan tanggung jawabnya kepada bawahan, ia memiliki wewenang/ kekuasaan atas bawahannya sehingga ia mempunyai hak untuk mengeluarkan perintah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh bawahan. Meskipun masing-masing pegawai yang berada pada jenjang mempunyai otoritas-birokratis tetapi penggunaan otoritas tersebut tetap harus relevan dengan tugas-tugas resmi organisasi.
3) Adanya sistem aturan (system of rules)
Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggung jawab para pemegang jabatan di berbagai posisi dan hubungan di antara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu. Operasi kegiatan dalam birokrasi dilaksanakan berdasarkan sistem aturan yang ditaati secara konsisten.
Hal ini dimaksudkan untuk menjamin adanya uniformitas kinerja setiap tugas dan rasa tanggung jawab masing-masing anggota organisasi bagi pelaksanaan tugasnya. Sistem yang distandarkan ini dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam melaksanakan setiap tugas, tanpa memandang jumlah personil yang melaksanakan dan koordinasi tugas-tugas yang berbeda-beda.
Aturan-aturan yang eksplisit tersebut menentukan tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan di antara mereka, namun tidak berarti bahwa kewajiban birokrasi sangat mudah dan rutin. Tugas-tugas birokrasi memiliki kompleksitas yang bervariasi, dari tugas-tugas hierarkis yang sifatnya rutin hingga tugas-tugas yang sulit.
4) Hubungan Impersonal (formalistic impersonality)
Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindarkan pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan bawahannya maupun dengan anggota masyarakat yang dilayaninya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang adil bagi semua orang dan persamaan pelayanan administrasi.
Idealnya pegawai- pegawai bekerja dengan semangat kerja yang tinggi “sine era et studio” tanpa rasa benci atas pekerjaannya atau terlalu berambisi. Standar operasi prosedur dijalankan tanpa adanya intervensi kepentingan personal.
Tidak dimasukkannya pertimbangan personal adalah untuk keadilan dan efisiensi. Impersonal detachment menyebabkan perlakuan yang sama terhadap semua orang sehingga mendorong demokrasi dalam sistem administrasi.
5) Sistem Karier (career system)
Pekerjaan dalam birokrasi pemerintah adalah pekerjaan karier. Para pejabat menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintah melalui penunjukan, bukan melalui pemilihan, seperti anggota legislatif. Mereka jauh lebih tergantung pada atasan mereka dalam pemerintahan daripada kepada rakyat pemilih.
Pada prinsipnya, promosi atau kenaikan jenjang didasarkan pada senioritas atau prestasi, atau keduanya. Dalam kondisi tertentu, birokrat itu juga memperoleh jaminan pekerjaan seumur hidup.
Terdapat sistem promosi yang didasarkan pada senioritas atau prestasi, atau kedua-duanya. Karyawan dalam organisasi birokratik berdasarkan pada kualifikasi teknik dan dilindungi dari penolakan sepihak. Kebijakan personal seperti itu mendorong tumbuhnya loyalitas terhadap organisasi dan semangat kelompok (esprit de corps) di antara anggota organisasi.
Menurut Max Weber, birokrasi adalah organisasi rasional yang dibentuk untuk memperlancar aktivitas pemerintahan. Oleh karena itu, karakteristik birokrasi di atas dapat diimplementasikan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka
2) Ada hierarki jabatan yang jelas
3) Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas
4) Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak
5) Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional
6) Mereka memiliki gaji dan hak-hak pensiun, secara berjenjang menurut kedudukan masing-masing.
7) Para pejabat dapat menempati posnya dan dalam keadaan tertentu ia dapat diberhentikan
8) Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya.
9) Ada struktur karir dan promosi dimungkinkan melalui senioritas dan keahlian (merit system) maupun keunggulan (superioritas). Pejabat mungkin saja tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di posnya, namun ia tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.
Birokrasi seperti yang digambarkan oleh Weber itu memiliki banyak kelebihan, di antaranya
1) Pembagian kerja akan menghasilkan efisiensi.
2) Hierarki wewenang memungkinkan pengendalian atas berbagai ragam jabatan dan memudahkan koordinasi yang efektif.
3) Aturan main akan menjamin kesinambungan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, walaupun para pejabatnya berganti-ganti, dan dengan demikian bisa menumbuhkan keajegan perilaku.
4) Impersonalitas hubungan menjamin perlakuan yang adil bagi semua anggota masyarakat dan mendorong timbulnya pemerintah yang demokratik.
5) Kemampuan teknis menjamin bahwa hanya orang-orang yang ahli yang akan menduduki jabatan pemerintahan. Dan jaminan keberlangsungan jabatan membuat para pejabat itu tidak mudah dijatuhkan oleh tekanan-tekanan dari luar.
Pendeknya, dengan karakteristik seperti itu birokrasi akan bisa berfungsi sebagai sarana yang mampu rnelaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan secara efektif dan efisien. Model birokrasi Weber itu juga memuat asumsi bahwa birokrasi menjalankan fungsi “administratif”, yaitu menerapkan kebijakan publik yang dibuat melalui mekanisme proses “politik” yang dilakukan oleh pejabat politik, bukan birokrat karier.
Dengan pemisahan administrasi dari proses politik itu, maka birokrat diharap bisa bersikap netral dalam hal politik. Pejabat yang bersikap netral dalam politik diharapkan akan dengan patuh mengabdi pada rakyat, bukan demi kepentingan sekelompok orang atau kelompok politik tertentu.
Bentuk ideal Birokrasi Max Weber dalam realitanya tidak mudah untuk diiimplementasikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini:
1) Manusia birokrasi tidak selalu ada (exist) hanya untuk organisasi.
2) Birokrasi sendiri tidak peka terhadap perubahan sosial
3) Birokrasi dirancang untuk semua orang sehingga menjadi lebih sulit
4) Dalam kehidupan sehari-hari manusia birokrasi berbeda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi.
Karakter kirokrasi semacam ini dapat disebut sebagai organizational slack, yakni organisasi birokrasi yang cenderung bersifat patrimonialistik yaitu;
1) Tidak efisien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak objektif
2) Menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik
3) Tidak mengabdi pada kepentingan umum,
4) Tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil menjadi ‘penguasa’ yang sangat otoritatif dan represif.
Ciri-ciri birokrasi yang mengalami penyakit Organizational Slack dapat ditandai dengan kondisi berikut ini:
1) Menurunnya kualitas pelayanan yang diberikan.
2) Masyarakat pengguna pelayanan banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam public alarm agar pemerintah responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk menanggulanginya
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya organizational slack ini
menurut Irfan Islamy adalah:
1) Pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku
2) Visi pelayanan yang sempit
3) Penguasaan atas adminitrative engineering yang tidak memadai
4) Unit-unit publik yang semakin gemuk namun tidak difalitisasi dengan 3P yang cukup dan handal (personalia, peralatan dan pengangaran).
Akibatnya aparat birokrasi publik menjadi lamban dan lebih sering terjebak pada kegiatan-kegitan rutin, tidak responsif atas aspirasi dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi dengan lingkungannya.
2. Kritik Atas Birokrasi Weberian
Di samping berbagai kelebihan yang ada tersebut, berikut ini adalah kritikan dari beberapa ahli terhadap konsep birokrasi Weberian.
2.1.. Kritikan Irfan Islamy
1) Birokrasi yang rasional cenderung berimplikasi pada pemisahan orang-orang dari sarana-sarana produksi dan dapat menumbuhkan formalisme dalam organisasi.
2) Sifat kecermatan, keandalan dan kedisiplinan dalam birokrasi rasional dapat menghancurkan dirinya sendiri.
3) Aturan-aturan yang ketat itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan mungkin bisa menjadi tujuan itu sendiri, padahal aturan itu tidak lain sekadar penuntun yang tidak sempurna.
4) Struktur jabatan/karier yang hierarkis bisa mendorong timbulnya solidaritas kelompok yang mengakibatkan perlawanan terhadap perubahan yang diperlukan.
5) Norma impersonalitas pegawai/pejabat dalam menjalankan tugas pelayanannya bisa menyebabkan timbulnya konflik dengan para pengguna layanan (masyarakat).
6) Tidak ada prinsip/azas yang berlaku abadi, situasi yang berbeda memerlukan struktur birokrasi yang berbeda pula.
2.2. Kritikan oleh Warren Bennis
Warren Bennis, melalui tulisannya “Organizational Developments and the Fate of Bureucracy” (1966), mencoba melakukan prediksi masa depan tentang berbagai macam perubahan yang pada gilirannya akan mempengaruhi eksistensi birokrasi. Menurut Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-proses kegiatan yang produktif pada masa Revolusi Industri.
Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan pengurangan peran-peran personal, persoalan subjektivitas yang keterlaluan, dan tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan.
Dalam tulisannya dalam majalah Personnel Administration (1967), Warren memprediksikan bahwa birokrasi Weberian sekitar 25 sampai 50 tahun yang akan datang (dihitung semenjak tulisannya itu) runtuh dan diganti dengan sistem sosial yang baru yang sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20.
Kritikan Bennis itu didasarkan atas suatu prinsip evolusi bahwa setiap zaman tertentu akan mengembangkan suatu bentuk tatanan sistem organisasi yang sesuai dengan zamannya. Dikatakan oleh Bennis bahwa bentuk hierarki piramida yang dikenal oleh ahli sosiologi sebagai birokrasi dan oleh businesman sebagai the damn bureaucracy" ("birokrasi terkutuk") telah ketinggalan dari realita zaman sekarang.
Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan sangat terikat oleh proses zaman pada saat kemunculannya. Kita sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual semata tetapi merambah pada dataran praktis di lapangan.Hal ini menjadi pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin.
2.3. Kritikan oleh Haris Faozan
Ciri birokrasi modern yang digagas oleh Max Weber tentang rasionalisme birokrasi sulit untuk diwujudkan karena birokrasi telah berubah menjadi alat untuk legitimasi birokrat dan penguasa. Pada gilirannya birokrasi pemerintah diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat, yang rajanya adalah pejabat.
2.4. Kritikan oleh Charles Page dan Lurance Iannaccone
Selain kritikan-kritikan di atas, ada kritikan lain yang melihat birokrasi Weberian sebagai birokrasi yang mengabaikan organisasi informal. Model organisasi Weberian juga dinilai menghilangkan struktur informal. Dinamika kehidupan berorganisasi hanya dapat dipakai jika, seseorang tidak hanya memperhatikan struktur formal organisasi tersebut tetapi juga memperhatikan peraturan-peraturannya, berkelompok, dan sistem sanksi yang tidak resmi.
Peraturan, norma, pimpinan dan kelompok informal ini secara spontanitas melebur menjadi satu hasil dari interaksi masing-masing individu dalam organisasi. Interaksi ini menghasilkan struktur sosial dan budaya informal yang mempengaruhi tingkah laku anggota organisasi.
Akibat adanya interaksi informal dalam organisasi formal adalah interaksi tersebut bisa bersifat membangun atau merusak. Charles Page (1946) menyatakan bahwa struktur informal, peraturan dan prosedur dimungkinkan mempunyai efek negatif atau positif. Dia beranggapan bahwa banyak masalah serius dipecahkan dengan cara-cara formal tidak terjadi adanya komunikasi atau solusi yang efisien.
Bahkan dengan adanya sturktur informal itu penting. Misalnya, Page mengobservasi bahwa komunikasi yang sifatnya resmi itu harus melalui apa yang disebut ”chain of command (rantai perintah)” yang seringnya memerlukan proses yang panjang. Ini berarti bahwa organisasi informal merupakan alat yang penting untuk menerapkan tujuan-tujuan organisasi yang sifatnya rumit.
Lurance Iannaccone dalam bukunya “Study of School” (1962) mendukung pentingnya organisasi informal. Dia menambahkan bahwa organisasi informal dapat digunakan sebagai guide untuk memperbaiki organisasi formal. Keberadaan organisasi informal bukanlah musuh yang harus dimusnahkan, tetapi sebaliknya bisa dijadikan kendaraan untuk meningkatkan efisiensi. Jadi tidak masuk akal apabila menata organisasi formal seperti sekolah, tetapi mengesampingkan aspek-aspek organisasi informal. Secara teori, praktek administrasi akan baik dikembangkan dengan kedua komponen, yakni formal dan informal .
2.5. Kritikan oleh Talcott Parsons dan Gouldner
Kritik yang sering ditujukan kepada model Weberian adalah kontradiksi internal di antara prinsip-prinsip birokrasi tertentu suatu organisasi (struktur ganda model birokrasi).. Menurut Weber, karakteristik ideal organisasi adalah bersifat konsisten dan efisien secara maksimal. Namun menurut analisis, kenyataannnya fungsi organisasi tidak dapat terlaksana dengan baik.
Talcott Parsons dan Gouldner mempertanyakan apakah prinsip yang dijadikan pegangan birokrasi itu adalah otoritas yang berdasarkan kepada kompetensi teknis dan pengetahuan atau otoritas yang berdasarkan kekuasaan legal dan disiplin. Weber beranggapan bahwa administrasi birokrasi merupakan latihan mengontrol sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Selanjutnya dia mengatakan, ”disiplin adalah perintah yang dijalankan secara rasional konsisten, terlatih dan dengan tindakan yang tepat/jelas di mana kritik yang bersifat pribadi tidak tertahan tanpa syarat dan pelakunya dengan teguh dan semata-mata hanya melaksanakan perintah.”
Weber mengungkapakan akan pentingnya disiplin dan keahlian (expertise). Apakah administrasi birokrasi itu berdasar kepada keahlian ataukah disiplin yang disertai dengan petunjuk-petunjuk? Kecuali ada orang yang berasumsi bahwa tidak akan ada konflik antara pemberi perintah (authority) yang berdasarkan pada ’kemampuan dan keahlian teknis’ dan yang berdasarkan pada ’jabatan di posisi hirarkis.’ Inilah dua dasar otoritas yang menjadi konflik dan kontradiksi di dalam model Weberian.
2.6. Kritikan oleh Blau dan Scott
Blau and Scott (1962) menganalisis keberadaan kedua model Weberian. Mereka menyimpulkan bahwa Weber gagal dalam membedakan antara prinsip-prinsip disiplin dan profesional. Mereka menyebutkan bahwa disiplin yang birokratis dan keahlian yang profesional adalah metode alternatif dalam hubungannya dengan ketidakpastian.
Disiplin mengurangi bidang-bidang yang tidak pasti, sementara keahlian mempunyai pengetahuan untuk mengetahui ketidakpastian tersebut. Inti masalahnya adalah karena kalangan profesional sering menjadi pegawai organisasi birokrasi. Di sinilah disiplin dan kehalian sering tercampur, sehingga menimbulkan konflik dan ketegangan. Contoh seorang kepala sekolah, apakah otoritasnya berada dalam kantor birokrat ataukah keahlian profesional?
3. Struktur Formal Di Sekolah
3.1. Konsep Umum
Sekolah sebagai organisasi formal mempunyai banyak kesamaan ciri khas dengan organisasi birokrasi. Ciri khas itu di antaranya menerapkan banyak strategi militer, industri, dan agen-agen pemerintahan, Menurut Max Abbort, model birokrasi adalah model yang paling banyak diadopsi oleh administrator (manajer) sekolah dan ini menjelaskan mengapa model tersebut digunakan untuk menganalisis tingkah-laku (behavior) di sekolah.
Asumsi dasar suatu birokrasi adalah bahwa setiap pegawai tingkat bawah mempunyai lebih sedikit kemampuan teknis daripada atasannya.
Tetapi asumsi ini tidak berlaku atau tidak bisa diterapkan di sekolah atau di organisasi profesional lainnya. Sebaliknya, para profesional sering memiliki kompetensi atau kemampuan teknis yang lebih baik daripada administrator (manajer) yang menduduki level yang lebih tinggi di organisasi tersebut.
Salah satu cara yang paling sistematik untuk mengukur birokrasi berkaitan dengan struktur formal di sekolah adalah pendekatan Hall (1963) tentang perkembangan inventori organisasi, yaitu untuk mengukur 6 karakteristik utama suatu struktur birokrasi. D. A. Mackey (1964) kemudian mengadopsi dan memodifikasi inventori organisasi dalam penelitiannya tentang birokrasi sekolah.
Dia mengukur pola-pola birokrasi di sekolah dengan menggunakan the School Organizational Inventory (SOI) berikut ini:
1) Skala Hirarki Skala Otoritas (Hierarchy of Authority Scale)
Anggota staf sekolah ini selalu memperoleh perintah-perintah dari atasan mereka. ”Saya harus bertanya kepada kepala sekolah sebelum saya melaksanakan semua pekerjaan.”
2) Skala Khusus (Specialization Scale).
Program instruksi dibagi-bagi ke dalam wilayah kerja khusus sesuai dengan tugas khusus guru.
3) Skala Peraturan (Rules Scale).
Para guru secara konstan diawasi apakah mereka melanggar aturan-aturan sekolah. Sekolah mempunyai buku yang berisi peraturan-peraturan yang harus diikuti guru.
4) Skala Spesifik Prosedural (Procedural Specification Scale).
Para guru harus mengikuti prosedur operasional yang ketat sepanjang waktu. Prosedur yang sama harus diikuti dalam situasi apapun.
5) Skala Umum (Impersonality Scale).
Tidak jadi masalah seberapa besar problem siswa atau orang-tua, mereka harus diperlakukan sama dengan yang lainnya.
6) Skala Kemampuan Teknis (Technical Competence Scale).
Promosi jabatan didasarkan pada kompetensi guru. Pengalaman mengajar berperan penting dalam penugasan seorang guru di sekolah.
Di sekolah, seperti jenis-jenis organisasi yang lain, komponen-komponen tipe ideal Weber tidak perlu membentuk satu perangkat yang saling berhubungan di antara variabel. Namun sebaliknya, mereka seperti dua tipe berbeda dari suatu organisasi rasional. Perbedaan keduanya terletak pada potensi konflik di antara otoritas yang didasarkan kepada kompetensi teknis dan kemampuan, dan yang didasarkan kepada pemegangan aturan di hierarki, dan potensi ketidaktepatan antara profesionalitas dan birokrasi. Untuk menyatukan pola birokrasi dan profesional dalam satu model birokrasi tampaknya mengaburkan perbedaan-perbedaan penting di antara sekolah-sekolah.
Memisahkan dua pola, yaitu organisasi rasional dan administrasi (manajemen) memungkinkan untuk menemukan sejumlah kombinasi dua pola. Contoh, jika setiap pola didikotomikan, maka dimungkinkan akan ada empat tipe organisasi.
1) Tipe I (Weberian): Dalam organisasi sekolah, profesionalitas dan birokrasi adalah saling melengkapi. Keduanya sama-sama tinggi. Pola ini mirip dengan tipe ideal yang dijelaskan oleh Weber. Oleh karenanya kita menyebutnya ’Weberian Structure.”
2) Tipe II (authoritarian): Organisasi yang tingkat karakteristik birokrasinya tinggi dan tingkat profesionalitasnya rendah. Oleh karenanya, di sini otoritas didasarkan pada posisi hirarki sangat ditekankan. Menjalankan disiplin sesuai dengan peraturan menjadi prinsip dasar kerja. Tipe ini menekankan kekuasaan yang bergerak dari atas ke bawah.
3) Tipe III (profesional): Organisasi ini menekankan pembuatan keputusan bersama antara administrator (manajer) dan staf profesional. Anggota staf dipandang sebagai profesional yang mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk membuat keputusan penting organisasi. Peraturan dan prosedur berfungsi sebagai pegangan (guide) ketimbang sebagai format kaku yang harus dijalankan bersama-sama. Di sini guru mempunyai kekuasaan yang besar dalam proses membuat keputusan organisasi. Singkatnya, keputusan-keputusan dibuat oleh orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk membuatnya.
4) Tipe IV (chaotic): organisasi tipe ini mempunyai tingkat birokrasi dan profesionalitas rendah. Oleh karenanya, kebingungan dan konflik sudah menjadi tipe dalam operasional sehari-hari. Tidak konsisten, kontradiksi, dan ketidak-efektifan mungkin meliputi struktur chaotic ini.
Tipologi ini mensuguhkan empat sruktur sekolah yang cukup berbeda dan mungkin juga mempunyai konsekuensi berbeda pula bagi guru dan muridnya. Henry Koleser (1967) menemukan bahwa ketidakmampuan siswa sangat tinggi di authoritarian daripada di struktur sekolah yang profesional. Geoffrey Isherwood dan Wayne K. Hoy (1973) juga menemukan hal yang sama bagi guru di dua tipe sekolah yang berbeda.
Rasa ketidakmampuan guru lebih besar di authoritarian daripada di struktur profesional. Akan tetapi guru yang berorentasi kepada sosial dan organisasi (yaitu guru yang membuktikan/menunjukkan dirinya berturut-turut dengan nilai-nilai dan goal organisasi, keluarga dan teman) mempunyai kemampuan (power) yang lebih besar di struktur authoritarian daripada guru yang berorentasi profesionalitas. Gerald H. Moellar dan W.
W. Charters (1966) menemukan bahwa guru yang berada di sistem birokrasi tinggi mempunyai kekuasaan (power) yang lebih tinggi daripada guru yang berada di sistem yang birokrasinya rendah.
Klasifikasi struktur sekolah ke dalam empat tipe struktural ini tampaknya memberi manfaat; kenyataannya, tipelogi ini dapat berfungsi sebagai dasar teori untuk mengembangkan sekolah.
3.2. Struktur Formal Sekolah Di Indonesia
3.2.1.Struktur formal Lembaga Kependidikan
Lembaga pendidikan formal atau sekolah sebagai organisasi kerja diselenggarakan secara sengaja, sistematik dan terarah. Sebagai organisasi kerja setiap personal, sarana dan programnya harus dikendalikan guna menciptakan proses atau rangkaian kegiatan yang terarah pada tujuan tertentu. Proses pengendalian bersama yang terarah pada tujuan yang bersama itu disebut manajemen, yang karena berlangsung di lembaga pendidikan disebut pula manajemen pendidikan.
Di Indonesia, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, memaknai manajemen pendidikan sebagai proses kerja sama yang sistematik, sistemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Manajemen pendidikan dipandang sebagai segala sesuatu yang berkenan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang.
Secara khusus, konsep tentang manajemen pendidikan yang demikian, kemudian diselaraskan dengan konteks pendidikan di Indonesia, sehingga melahirkan satu bentuk manajemen yang khas, yang disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Bentuk manajemen seperti ini muncul dari kesadaran akan pentingnya pemberian kewenangan penuh kepada sekolah dalam mengatur pendidikan, pengajaran, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi, mempertanggung jawabkan, mengatur, serta memimpin sumber-sumber daya insan serta sarana-prasana untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan sekolah.
Manajemen berbasis sekolah mengemban fungsi pokok manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan. Dalam prakteknya, keempat fungsi tersebut merupakan suatu proses yang berkesinambung.
3.2.2. Makna Organisasi Sekolah Dalam Kerangka Manajemen Berbasis Sekolah
Struktur formal sekolah sesungguhnya berada dalam kerangka yang lebih luas, yakni organisasi sekolah. Dalam kerangka manajemen berbasis sekolah, Prof. Dr. Sudarwan Danim, mengemukakan beberapa makna organisasi sekolah, yaitu:
a. Organisasi sekolah adalah sebuah unit sosial. Unit sosial merupakan komunitas sekoah yang terdiri atas kepala sekolah, guru, staf tata usaha, pustakawan, peserta didik, penjaga sekolah, komite sekolah, dan sebagainya.
b. Unit sosial itu sengaja dibangun. Lembaga sekolah didirikan dengan menggunakan prosedur tertentu yang keberadaannya karena negara dan lulusannya dilegitimasi dan diakui oleh negara, baik sekolah itu diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.
c. Anggota unit sosial itu bekerja sama. Meski mereka (kepala sekolah, guru, staf tata usaha, peserta didik, dan sebagainya) melakukan tugas pokok dan fungsi yang berbeda, tetapi operasi kerjanya bersifat sinergis untuk menempatkan proses pendidikan dan pembelajaran sebagai inti dari semua perilaku.
d. Unit sosial itu distrukturkan. Struktur dimaksud adalah kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, staf tata usaha, siswa, dan sebagainya yang jika distrukturkan ke dalam bentuk organisasi sekolah masing-masingnya menempati posisi yang jelas.
e. Unit sosial itu bertujuan bersama. Tujuan bersama dari komunitas sekolah adalah terselenggaranya proses pendidikan dalam pembelajaran yang bermakna bagi peserta pendidikan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah.
f. Tujuan itu merangkum dimensi individu dan dimensi lembaga. Tujuan sekolah dipandang ideal jika mampu menciptakan keseimbangan antara capaian yang dikehendaki oleh komunitas sekolah dan capaian yang dikehendaki oleh lembaga.
g. Ketika distrukturkan, ada pemimpin dan ada yang dipimpin. Kepala sekolah adalah pemimpin di sekolahnya. Kepala sekolah adalah “guru yang diberi tugas sebagai kepala sekolah” maka hubungan antara kepala sekolah dan guru sebagian besar bersifat fungsional dan kolegial. Hubungan mereka yang bersifat atasan dengan bawahan hanya terjadi jika berkaitan dengan urusan administratif dan prosedur kerja keorganisasian.
h. Ketika ada pemimpin dan yang dipimpin, ada hierarki kerja. Di luar alur kerja yang ditetapkan di lingkungan internal sekolah, hierarki ini berlaku pula untuk hubungan eksternal. Contoh riilnya, jika kepala sekolah sedang berdinas luar atau tidak dapat menjalankan tugas, wakilnya yang mengambil peran atau diberi kewenangan untuk itu, meski tetap ada batas-batasnya.
Contoh lain, masalah-masalah yang dihadapi oleh guru tidak harus diselesaikan oleh kepala sekolah jika wakil kepala sekolah dapat menyelesaikannya. Istilah hierarkis di sini lebih bermakna demi ketertiban alur kerja ketimbang hierarki kerja seperti dianut oleh organisasi sekolah dengan pendekatan sentralisasi. Termasuk dalam makna ini, pihak-pihak eksternal yang secara kelembagaan berkepentingan dengan warga sekolah tidak secara serta-merta dapat berhubungan langsung, tanpa meminta izin atau membuat pemberitahuan kepada kepala sekolah, meski tidak selalu harus demikian.
i. Ketika distrukturkan, ada tugas dan ada tanggung jawab. Meski hubungan kerja antarpersonalia sekolah harus bersifat sinergis, setiap orang memiliki tugas utama sesuai dengan bidangnya. Mereka adalah subjek yang paling bertanggung jawab atas tugas utamanya itu. Personalia sekolah harus menjadi orang yang bertanggung jawab atas tugas-tugasnya dan tidak melemparkan tanggung jawab itu kepada pihak lain ketika terdapat ekses negatif atas tugas-tugas yang diembannya.
j. Ketika ada tugas dan tanggung jawab, ada hak dan kewajiban. Personalia yang telah menunaikan kewajibannya secara baik layak menuntut hak yang patut diterimanya.
k. Ketika ada hak dan kewajiban, ada kriteria keberhasilan. Ketika mereka menjalankan kewajiban, ada kriteria keberhasilan kerjanya. Hak-hak yang diterima oleh personalia sekolah, idealnya berbasis pada kriteria keberhasilan tertentu. Personalia sekolah yang berkinerja tinggi (high performer) mestinya berhak menerima ganjaran yang lebih baik daripada yang berkinerja rendah (underperformer). Dalam konteks MBS yang sesungguhnya, keragaman gaji guru dimungkinkan karena penggajian didasari atas pendekatan prestasi.
l. Ketika ada kriteria keberhasilan, ada kriteria perilaku kerja. Usaha-usaha untuk mencapai keberhasilan harus melalui proses yang benar. Kriteria perilaku komunitas sekolah harus bertumpu pada kaidah-kaidah akademik, pedagogis, psikologis, sosiologis, moralitas, humanistik, ketuhanan, dan kultural tertentu.
m. Ketika ada kriteria perilaku kerja, ada satuan waktu kerja. Salah satu ciri sekolah sebagai organisasi formal adalah bahwa personalia sekolah (kepala sekolah, guru, staf tata usah, dan sebagainya) bekerja dengan satuan waktu kerja tertentu. Mereka yang bekerja dengan melebihi satuan waktu kerja yang diwajibkan, layak memperoleh imbalan tambahan, seperti penghasilan tambahan untuk kelebihan jam mengajar.
Pada sebuah organisasi sekolah yang efektif terjadi multiproses atau sinergi proses. Proses merupakan serial kegiatan yang melibatkan potensi sumber daya, konteks, dan standar perilaku kerja, serta teknologi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapikan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Makna lain dari proses adalah dimensi manusiawi dan perilaku dasar dari suatu organisasi sekolah. Proses organisasi sekolah dapat dibedakan dari struktur pada satu sisi, dan dari isi pada sisi lain. Struktur organisasi sekolah mendukung proses kerja dan proses kerja itu dilakukan untuk memperkuat perubahan struktural, dan substantif di bidang pendidikan dan pembelajaran yang ingin dibangun.
Dimensi isi menyangkut keseluruhan substansi tugas organisasi sekolah, baik tugas primer maupun tugas sekunder. Tugas primer guru, misalnya, menyelenggarakan kegiatan pembelajaran, baik teori maupun praktek. Kegiatan sekunder adalah kegiatan yang tidak secara langsung berkaitan dengan substansi isi pembelajaran dan kegiatan praktek.
Pada konteks organisasi sekolah, dimensi isi merujuk pada material atau program kerja utama yang ditawarkan kepada khalayak atau segmen sehingga benar-benar relevan dengan kebutuhan dan tuntutan mereka, termasuk tujuan pembentukan manusia Indonesia yang seutuhnya dalam makna luas.
Untuk menggaransi relevansi pendidikan, idealnya, program itu diangkat dari realitas kebutuhan khalayak. Sementara, kebutuhan itu berbeda menurut wilayah, tingkat sosial ekonomi, keterdidikan, kultur, agama, dan sebagainya. Tugas primer organisasi sekolah menjadi inti, sedangkan tugas sekunder menjadi pelengkap.
Interaksi antara sturktur organisasi dan isi akan mendorong institusi persekolahan terus berkembang secara dinamis, baik program, tugas, kegiatan, maupun ukurannya. Interaksi antara struktur dan isi itu digerakan oleh orang-orang. Hal itu merupakan replika dari tugas-tugas keorganisasian.
3.2.3. Makna Struktur Formal Sekolah Dalam Konteks Tiga Pendekatan Organisasi
Ada beberapa makna struktur formal sekolah dalam konteks tiga pendekatan organisasi, yaitu:
a. Pendekatan struktural. Istilah struktur merujuk pada bagaimana pekerjaan keorganisasian dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasi secara formal. Secara struktural, sekolah diorganisasikan dengan struktur tertentu sehingga komunitas sekolah ada yang menduduki posisi sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, koordinator bimbingan konseling, kepala subbagian tata usaha, staf tata usaha, wali kelas, guru, organisasi siswa, dan sebagainya.
Pendekatan ini juga memandang institusi persekolahan sebagai unit struktur atau bagian dari suprastruktur yang lebih besar, dalam hal ini Depdiknas atau Dinas Diknas. Kalau efisiensi yang diutamakan maka struktur organisasi sekolah sebaiknya ditata seramping mungkin. Sebaliknya, kalau target partisipasi dan kaderisasi yang diutamakan, struktur yang gemuk dapat ditoleransi.
Organisasi yang gemuk cenderung kurang berenergi. Bersamaan dengan itu, organisasi yang gemuk banyak menguras energi material dan uang. Akan tetapi, dalam banyak kasus, penggemukan struktur organisasi harus dibayar mahal, baik secara finansial, sosial, maupun kultural. Jadi, organisasi sekolah yang gemuk sah-sah saja. Namun demikian, jangan sampai unit struktur itu diada-adakan, padahal fungsinya tidak jelas atau tumpang tindih. Apalagi, keberadaannya hanya untuk sekadar menghibur komunitas sekolah seakan-akan tengah dikader atau diberi tanggung jawab.
Dilihat dari perspektif yang lebih luas, organisasia sekolah merupakan subunit struktur dari suprastruktur yang lebih besar. Meski demikian, idealnya, supratstrutkur tidak memposisikan organisasi institusi persekolahan sebagai perpanjangan tangan atau unit birokrasi semata-mata, tetapi sebagai unit yang dalam batas-batas cukup luas dapat berkreasi menurut kaidah-kaidah MBS. Sinergi antara “suprastruktur” dan “infrastruktur” digerakkan oleh peraturan, anggaran dasar, dan visi secara simultan. Penataan struktur organisasi sekolah harus mampu menjelaskan hal-hal berikut ini:
1) Rantai komando untuk menjelaskan siapa berada pada posisi mana dan bertanggung jawab kepada siapa. Sebutan rantai komando di sini tidak identik dengan perilaku otoriter, tetapi sebatas untuk memperlancar tugas-tugas administratif semata.
2) Wewenang atau otoritas mengacu pada hak-hak yang inheren untuk memerintah, mendelegasikan atau melimpahkan kewenangan, dan mengharapkan perintah atau pendelegasian/pelimpahan wewenang itu dipatuhi.
3) Kesatuan komando merujuk pada komitmen untuk mengamankan konsep garis wewenang dengan tetap membuka peluang untuk berperilaku kreatif pada tingkat praksis.
4) Rentang kendali atau jumlah tingkat manajerial yang dimiliki oleh sebuah organisasi sekolah.
5) Fungsi merujuk pada siapa mengerjakan apa, pada situasi seperti apa, dengan sumber daya macam apa, dan untuk tujuan apa.
6) Formalisasi merujuk pada pembakuan kerja untuk masing-masing unit dengan uraian tugas tertentu.
b. Pendekatan fungsional.
Struktur organisasi sekolah yang ditata sedemikian rupa bukan untuk membentuk “kelas sosial” di lingkungan institusi persekolahan, melainkan agar masing-masing orang atau kelompok orang yang duduk pada unit struktur itu dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara dinamis, efektif, dan efisien. Idealnya, organisasi sekolah distrukturkan sesuai dengan fungsinya.
Orang-orang yang duduk pada masing-masing struktur itu harus tepercaya dan dipercaya secara fungsional, otonom dalam tugas, tetapi tetap sinergis dalam bertindak. Setiap orang harus bekerja berbasis visi dengan kriteria proses dan hasil yang jelas. Mereka yang duduk atau menerima tawaran untuk duduk pada unit struktur harus memiliki antusiasme dan komitmen untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Dilihat dari perspekti fungsional, posisi pada unit struktur bukanlah sebuah prestise, melainkan sebagai wahana menciptakan prestasi. Kepala sekolah harus menjadi kepala sekolah yang berprestasi.
Guru harus menjadi guru yang berprestasi. Pembantu kepala sekolah harus mampu menjalankan fungsinya secara efektif. Staf tata usaha harus mampu menunjukkan prestasi sebagai sistem pendukung tugas-tugas persekolahan, dan sebagainya.
c. Pendekatan struktural-fungsional. Struktur institusi persekolahan perlu ditata secara benar dan setiap orang yang berada pada struktur organisasi sekolah melakukan tugas pokok dan fungsinya secara benar. Mereka harus bekerja secara benar dan mengerjakan secara benar.
4. Perspektif Loose Coupling
Teori organisasi sering mengutamakan pengertian tentang pembagian wewenang dan ketergantungan antara anggota organisasi. Hal ini menyiratkan dua hal mendasar, yakni karakteristik setiap anggota maupun organisasi secara keseluruhan, dan pola relasional antara para anggota. Loose coupling adalah salah satu alat konseptual yang menekankan pola relasional. Dalam lembaga pendidikan (sekolah) perspektif loose coupling dapat digunakan untuk menangkap beberapa corak penting dan corak multidimensional yang dieksplorasi dan saling ketergantungan dalam organisasi sekolah.
4.1. Pengertian Loose Coupling
Coupling biasanya didefinisikan sebagai hubungan antara unsur-unsur atau variabel, sedangkan loose coupling mengacu pada karakteristik umum dari tingkatan-hubungan di mana hubungan-hubungan itu bersifat lebih longgar (bebas) daripada yang ketat.. Kekuatan utama dari loose coupling adalah fokus relasionalnya. Coupling didefinisikan sebagai hubungan antara "A" dan "B", dan bervariasi dalam kekuatan sepanjang kontinum (rangkaian kesatuan) dari yang bebas ke yang ketat.
Dengan demikian, setiap pengembangan loose coupling harus memanfaatkan fokus pada hubungannya.
Loose coupling menggabungkan pendekatan multidomain, multidimensional terhadap proses pengorganisasian. Anggota organisasi dihubungkan secara bersamaan oleh ikatan birokrasi dan budaya, oleh fungsional dan interdependensi sumber daya, dengan hubungan vertikal dan horizontal.
Sifat multidimensi coupling juga menyiratkan bahwa anggota dapat disatukan/digabungkan baik secara longgar maupun ketat pada saat yang sama. Sebagai contoh, dua pelaku dapat digabungkan secara erat (tightly coupled) karena banyak kepentingan umum, tetapi juga dapat digabungkan secara longgar (loosely coupled) karena jarang berinteraksi.
4.2. Kerangka Multidimensional Perspektif Loose Coupling Dalam Organisasi Sekolah
Dalam artikel yang berjudul "Organisasi Pendidikan Sebagai Sistem Loosely Coupled" (1976), secara analitis-deskriptif, Weick melihat adanya implikasi sistem administrasi (manajemen) yang digabungkan secara longgar. Tentu saja, sistem seperti ini membutuhkan kekuatan besar dalam lembaga pendidikan untuk memikirkan kembali peran, tujuan, dan status dari banyak anggota organisasi sekolah. Pandangan Weick ini bermanfaat untuk menata kembali perubahan yang perlu dalam kerangka otoritas lembaga pendidikan itu sendiri.
Konsep yang diusulkan oleh Weick merupakan bagian dari pencarian yang luas akan model proskriptif atau deskriptif untuk lembaga pendidikan, yaitu apa yang seharusnya sekolah lakukan dan bagaimana sekolah benar-benar bekerja. Dalam kaitan dengan hal ini, titik-titik urgen seperti kepemimpinan, sistem manajemen sekolah, budaya sekolah perlu direvisi kembali.
Weick berpandangan bahwa sekolah tidak boleh berperilaku seperti perusahaan industri atau komersial. Dalam banyak penelitian, Weick melihat adanya perbedaan penting antara apa yang disebut HSO (Human Service Organization – Organisasi Pelayanan Manusia) dan bisnis yang berpusat pada keuntungan. Salah satu perbedaannya adalah bahwa di dalam usaha utama HSO, entah itu rumah sakit atau sekolah, terjadi hubungan antara kaum profesional (dokter, perawat, guru) dengan klien (pasien atau siswa).
Ikatan hubungan ini didasarkan kualitas sumber daya yang memadai dan manajemen yang profesional.
Loose coupling adalah nama untuk hubungan operasional dalam struktur seperti itu. Teori loose coupling tidak hanya menjelaskan bagaimana organisasi pendidikan beroperasi dengan link tersebut, tetapi juga menjelaskan mengapa organisasi pendidikan dapat berfungsi secara efisien dan efektif. Weick bertanya “… apa yang menjadi kekuatan utama organisasi sekolah?” Pada berbagai tahap, sekolah telah digambarkan dan dirancang sebagai birokrasi, mesin, organisme dan bisnis. Upaya besar telah dimasukkan ke dalam meneliti cara sekolah berada dan bekerja, dan membuat organisasi sekolah sesuai dengan harapan.
Dalam penelitiannya, Weick menunjukkan bahwa orang-orang dalam organisasi pendidikan tidak bekerja melalui seperangkat prosedur yang terorganisir yang diturunkan dari pakar manajemen. Weick kemudian memilih empat karakter yang harus menjelma dalam sebuah manajemen pendidikan, yaitu kesalingtergantungan orang-orang yang bekerja secara rasional, skema mengoreksi diri, konsensus tentang tujuan dan sarana, penyebaran informasi yang efektif, dan masalah yang dapat diprediksi dengan respon yang bijaksana.
Secara umum, sistem loose coupling memiliki komponen yang berfungsi bersama-sama tetapi juga membuktikan interdependensi signifikan satu sama lain.
Dalam lembaga pendidikan, ini berarti bahwa komponen-komponen manajemen pendidikan di satu pihak harus memiliki tujuan khusus, tetapi di lain pihak semuanya dikelola secara selaras untuk melanjutkan visi utama lembaga pendidikan tersebut. Dengan demikian, loose coupling dalam hal ini lebih bersifat memberdayakan setiap komponen, namun tetap terikat dalam visi dan misi yang sama.
Kerangka multidimensi organisasi sekolah mempertahankan fokus relasional coupling dan secara formal memberi penjelasan karakteristik hubungan struktural dalam konteks coupling tersebut. Kerangka kerja ini bergantung pada empat komponen coupling, yaitu elemen, domain, dimensi, dan mekanisme.
4.2.1. Elemen Coupling
Elemen Coupling mengacu pada "sesuatu yang mungkin terikat bersama-sama", dan memiliki jangkauan yang luas: indikator kinerja dapat digabungkan dengan keputusan atau tujuan, anggota digabungkan dengan para anggota, subunit digabungkan dengan subunit- subunit, dan sistem digabungkan dengan sistem-sistem. Dalam organisasi sekolah, elemen-elemen organisasi sekolah terikat dalam visi dan misi yang sama, meski diterjemahkan secara khas menurut wewenang setiap elemen.
4.2.2. Domain Coupling
Dalam domain coupling, dua subunit dapat bertukar informasi yang berhubungan dengan tugas (domain komunikasi yang bertalian dengan tugas), atau dapat bekerja sama di jalur organisasi (domain alur kerja). Secara umum, ada hubungan coupling dalam domain: domain komunikasi yang berkaitan dengan tugas yang melibatkan informasi yang berkaitan dengan tugas; domain komunikasi yang berkaitan dengan yang bukan tugas melibatkan komunikasi yang tidak berkaitan dengan tugas; domain alur kerja yang melibatkan kegiatan yang berhubungan dengan tugas seperti produksi; domain birokrasi yang melibatkan dukungan (berkaitan dengan yang bukan produksi); domain pertukaran sumber daya yang berkaitan dengan pertukaran sumber daya; domain penstrukturan yang melibatkan perubahan-perubahan desain dan bentuk-bentuk organisasi baru; dan domain sosial yang berkaitan dengan informal, komunikasi sosial, dan sosialisasi.
Domain coupling di atas dapat ditempatkan pada suatu barisan kontinum (rangkaian kesatuan) mulai dari struktur formal ke struktur informal bergantung pada isi kegiatan yang menghubungkan elemen coupling. Struktur biasanya merujuk kepada "jumlah total cara di mana (sebuah organisasi) membagi tenaga kerjanya ke dalam tugas yang berbeda dan kemudian melaksanaan koordinasi di antara mereka".
Domain struktur formal mencakup aktivitas yang ditetapkan, secara sadar merencanakan kegiatan. Sedangkan domain informal mencakup kegiatan-kegiatan yang spontan dan tidak terencana.
Dua perbedaan tambahan antara materi/isi yang mungkin dari hubungan dapat diperkenalkan untuk melengkapi domain yang dibahas di atas: perbedaan aktual versus yang ditetapkan dan yang temporal. Loose coupling dapat diterapkan baik untuk actual coupling antara unsur-unsur serta persepsi coupling itu.
Sebagai contoh, persepsi coupling yang ketat antara dua tugas dalam proses pendidikan dapat didasarkan pada urutan logis sebenarnya dari tugas. Dugaan logis dalam domain persepsi, bagaimanapun, dapat membuat sebuah ramalan yang memenuhi diri dalam domain alur kerja yang sebenarnya.
Perbedaan temporal dalam domain coupling juga penting. Coupling adalah proses dinamis. Unsur yang digabungkan secara longgar sebelumnya (loosely coupled) dapat menjadi yang digabungkan secara ketat (tightly coupled) saat sekarang. Selanjutnya, ketika beberapa hubungan coupling dilihat dalam cakrawala waktu yang singkat, mereka (relasi) dapat muncul secara ketat (secara longgar) digabungkan, tetapi dalam jangka panjang relasi mungkin tergabung secara longgar (secara ketat).
4.2.3. Dimensi Coupling
Dimensi coupling mencirikan kualitas hubungan antara unsur-unsur coupling. Dimensi-dimensi loose coupling adalah: kekuatan, keterusterangan, konsistensi, dan ketergantungan.
a) Kekuatan (strength)
Kata kerja "to couple: menyatukan/merangkaikan" telah dimodifikasi dengan beberapa adverbia (kata keterangan) yang menggambarkan kekuatan coupling, seperti sering, intens, mungkin, dan yang sepele. Masing-masing adverbia menangkap subdimensi yang unik dari kekuatan coupling. Misalnya, dua orang bergabung secara longgar jika mereka memiliki percakapan sosial yang jarang terjadi, tetapi juga mungkin digabungkan secara erat jika pembicaraan mereka kuat dan bertahan lama.
b) Kelangsungan/Keterusterangan (Directness)
Elemen yang digabungkan secara bebas/longgar kurang langsung berkaitan satu sama lain. Para anggota organisasi tergabung secara bebas bila mereka berkomunikasi bersama melalui beberapa tingkatan hirarki daripada secara langsung. Ketidakharmonisan di antara anggota memungkinkan perlunya terbangun komunikasi yang dibantu oleh perantara, dan dengan demikian dapat melemahkan hubungan.'
c) Konsistensi
Semakin beragam reaksi dari elemen gabungan pada sebuah stimulus eksternal yang sama, semakin longgar elemen-elemen ini digabungkan. Berbeda dengan dimensi-dimensi lain dari coupling, konsistensi didasarkan pada perbandingan hubungan di seluruh domain interaksi anggota. Ketika hubungan dalam satu domain diganti dengan mudah untuk hubungan di domain lain, konsistensi di domain yang lebih rendah, dan penggabungan semakin longgar/bebas.
d) Ketergantungan (Dependence)
Elemen yang disatukan secara bebas, relatif bersifat otonom satu sama lain. Tingkat ketergantungan antara elemen yang digunakan didasarkan pada ukuran relatif dari pertukaran dan kurangnya pengganti untuk pertukaran.
Ukuran relatif pertukaran dapat diukur dengan "proporsi input total atau proporsi output total yang tercatat melalui pertukaran itu". Kurangnya sumber daya pengganti juga meningkatkan ketergantungan pada supplier sumber daya dan mengurangi fleksibilitas yang strategis.
Dimensi-dimensi coupling tersebut di atas diharapkan dapat berhubungan satu sama lain. Weick mengusulkan bahwa kekuatan, keterusterangan, konsistensi, dan ketergantungan berkorelasi positif. Hubungan yang lebih longgar antara elemen yang tergabungkan ditandai dengan kekuatan yang lebih rendah, keterusterangan lebih rendah, konsistensi rendah, dan ketergantungan lebih rendah.
Besarnya korelasi antara dimensi-dimensi ini harus dinilai secara empiris di seluruh elemen dan domain. Dengan demikian, tampaknya korelasi positif dimensi-dimensi coupling menegasi loose coupling karena ikatan yang longgar selalu mengandaikan rendahnya mutu penerapan dimensi-dimensi tersebut.
Dalam organisasi sekolah, keempat dimensi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Idealnya, anggota-anggota dalam struktur organisasi sekolah dapat diikat secara positip dengan keempat dimensi tersebut. Meski demikian, harus ada argumentasi yang lebih proporsional untuk mendudukan entahkah tight coupling adalah perspektif yang cocok untuk peningkatan mutu pendidikan, dan itu berarti mengabaikan perspektif loose coupling.
Hemat kami, coupling mesti tetap dipahami dalam kaitan dengan keterikatan antaranggota, antarelemen, antarunit, dan sebagainya. Keterikatan itu harus didasarkan pada visi, misi dan tujuan organisasi sekolah, di mana setiap anggota dan elemen berada di dalamnya. Dalam hal ini, tight coupling bisa menjadi perspektif positif untuk menyatukan anggota dan elemen organisasi.
Di lain pihak,keterikatan itu, tidak mesti mengabaikan karakteristik individu maupun organisasi. Dengan kata lain, keterikatan seperti ini mesti bersifat inklusif baik secara eksternal maupun internal. Inklusivitas internal maksudnya pengikatsatuan anggota harus tetap memberi apresiasi pada otonomitas pribadi dalam mengembangkan pribadi dan organisasi, yang tentu saja selaras dengan visi dan misi sekolah.
Sedangkan inklusivitas eksternal berkaitan dengan keterbukaan sekolah untuk berkomunikasi dengan pihak luar, yang mendukung visi dan misi sekolah. Dalam hal inilah, loose coupling bisa dimasukkan, dengan memberikan pemaknaan tentang mutu individu atau elemen yang saling terikat tersebut, yang memperhatikan karakteristik setiap individu dan elemen.
4.2.4. Mekanisme Coupling
Mekanisme Coupling menggambarkan praktek atau proses yang memungkinkan elemen berfungsi bersama-sama. Ada tiga karakteristik mekanisme coupling. Pertama, mekanisme coupling berkaitan dengan unit analisis yang lebih besar daripada hubungan coupling dyadic. Misalnya, sentralisasi, mekanisme coupling, mencirikan sistem unit kerja atau organisasi. Dimensi Coupling mencirikan hubungan dyadic, sementara mekanisme coupling menggambarkan keseluruhan pola hubungan antara satu set elemen.
Corak kedua mekanisme coupling adalah bahwa mekanisme mengandung arti prediktabilitas dengan memperkenalkan kerangka kerja di mana perilaku menjadi koheren. Jika mekanisme coupling berada di dalam wewenang, "A" memiliki beberapa jaminan bahwa "B" akan berperilaku seperti yang diharapkan. Ketiga, mekanisme coupling menghubungkan elemen-elemen coupling ke dalam kelompok yang dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa proses umum.
Mekanisme coupling struktural mewakili pengaturan formal dalam sebuah organisasi yang memungkinkan adanya fungsi. Mekanisme ini ditemukan dalam hal formal, terkait dengan tugas, yaitu domain struktural dan dapat diubah hanya melalui keputusan formal. Contoh mekanisme coupling struktural adalah: hirarki otoritas, aturan, diferensiasi dan integrasi.
Lawrence dan Lorsch mendefinisikan diferensiasi sebagai "keadaan segmentasi sistem menjadi subsistem organisasi, masing-masing yang cenderung untuk mengembangkan atribut tertentu dalam hubungannya dengan persyaratan yang diajukan oleh lingkungan eksternal yang relevan." Sebaliknya, integrasi didefinisikan sebagai "proses pencapaian kesatuan usaha di antara berbagai subsistem dalam pemenuhan tugas organisasi".
Oleh karena itu, diferensiasi mengacu pada heterogenitas posisi anggota dalam alur kerja dan pola komunikasi yang berhubungan dengan tugas. Jika anggota pada tingkat organisasi yang sama menempati posisi setara atau disubstitusikan dalam pekerjaan dan arus komunikasi, maka organisasi akan kurang dibedakan secara horizontal.
Atau, perbedaan besar antara posisi anggota mencerminkan diferensiasi horisontal yang lebih besar. Diferensiasi fungsional yang tinggi dapat dikompensasikan dengan coupling melalui nilai-nilai bersama dan perhatian yang terfokus.
Dengan menggunakan mekanisme di atas, perbedaan antara teori sistem rasional dan perspektif loose coupling dapat disorot. Di bawah kondisi turbulensi lingkungan tinggi, Lawrence dan Lorsch mendukung sistem yang menunjukkan diferensiasi tinggi-integrasi tinggi. Sebaliknya, Perrow dan Weick menilai campuran diferensiasi tinggi-integrasi rendah karena adaptasi jangka pendek kemudian dapat dikembangkan lagi untuk kemampuan adaptasi jangka yang lebih panjang.
3.1. Kesimpulan
a. Birokrasi Weberian menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi dijalakan secara profesional dan rasional. Tipe ideal birokrasi Weberian adalah konstruksi abstrak yang membantu organisasi memahami setiap gejala kehidupan organisasi yang ada secara keseluruhan. Birokrasi seperti ini amat penting untuk memberikan pemahaman tentang mengapa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu dan apa yang membedakan kondisi tersebut dengan kondisi organisasi lainnya.
b. Birokrasi Weberian dikritik karena sangat menekankan aspek rasionalitas dan mengabaikan relasi personalitas yang informal
c. Struktur formal dalam sekolah secara ideal selalu dikaitkan dengan manajemen berbasis sekolah, di mana di satu pihak tetap menekankan hirarkis yang tidak kaku, dan di lain pihak menekankan otonomitas setiap individu dan elemen dalam struktur formal sebuah sekolah.
d. Perspektif coupling dapat digunakan dalam struktur formal sekolah untuk mengikatsatukan individu dan organisasi baik secara ketat (tight coupling) yang selaras dengan visi dan misi sekolah, tetapi juga secara bebas atau longgar (loose coupling) yang memberikan apresiasi pada keberagaman karakteristik dan otonomitas individu dan elemen, yang tentu saja terarah pada visi dan misi yang sama.
3.2. Usul Saran
a. Sekolah perlu mereformasi model struktur yang sampai saat ini masih terkesan abu-abu dalam penerapan sistem desentralisasi pendidikan.
b. Sekolah perlu meninggalkan secara total model birokrasi yang politis-dominatif dalam menjalankan manajemen pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU:
Danim, Sudarwan. Visi Baru Manajemen Sekolah – Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara, 2006
Faozan, Haris, “Mengoptimalkan Key Enablers of Innovation sebagai Key Leverages Reformasi Birokrasi”, dalam Idup Suhady dan Sugiyanto (eds). Beberapa Catatan Mengemban Misi Reformasi Birokrasi dan Administrasi Negara pada Pemerintahan Baru Pasca Pemilu 2004. Jakarta: Lembaga Adminisrasi Negara, 2004
Faozan, Haris, “Bureaucratic Structure Perestroika: Memperbarui Lahan Bagi Pertumbuhan Kinerja Kelembagaan Pemerintah,” Jurnal Ilmu Administrasi- STIA-LAN Bandung, Vol 2 (4), 2005
Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah – Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002
Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi, Edisi kesepuluh. Jakarta: Indeks, 2006
INTERNET:
http://www.academicleadership.org/emprical_research/599.shtml
http://statelibrary.dcr.state.nc.us/nc/stgovt/article_vii¬xiv.HTM#IX
http://pdfcontact.com/download/6688284/
Peter Evans & James Rauch, Bureaucracy And Growth: A Cross-National Analysis of the Effects of "Weberian" State Structures on Economic Growth, dari http://sociology.berkeley.edu/faculty/evans/burperf.html
http://www.slideshare.net/G69/memaduselaraskan-konsep-birokrasi-weber-haris-faozan-2009
http://yosin.wordpress.com/2009/06/23/berikut-ini-birokrasi-pemerintahan-menurut-max-weber-dan-hegel/
http://karagus.blogspot.com/2009_08_01_archive.html
http://www.abhest.co.cc/2010/01/memahami-birokrasi_12.html
http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/24993/1/sp04th01.pdf
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !