Dalam pembahasan kali ini kami akan merangkum tiga postingan yang saling berkaitan mengenai Islam dalam Pengaruhnya terhadap Budaya Sunda , tiga pembahasan yang kami gabungkan antara lain Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda , Pengaruh Islam dalam Budaya Sunda , dan Islam dan Sunda dalam Mitos .
Tentunya alangkah baiknya jika kita mengenali budaya Indonesia , dalam bahasan ini tentunya adalah Budaya Sunda. Karena Indonesia merupakan bangsa yang Bhineka Tunggal Ika , dimana terdapat keberagaman Etnis tetapi kita tetap satu dan bersatu.
Untuk bahasan ini selamat menyimak , dan memahami hubungan antara kebudayaan Islam dan budaya Sunda dapat menjadi sangat erat..!
Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda
Oleh ENGKUS RUSWANA K.
BELAKANGAN ini agak sering muncul tulisan maupun pandangan mengenai perjumpaan Islam dengan budaya Sunda. Penulis merasa terusik untuk mengkaji ulang klaim-klaim sebagian masyarakat yang mengatakan Islam identik dengan Sunda dan Sunda identik dengan Islam.
Ada masyarakat yang mengungkapkan bahwa di masyarakat Sunda terdapat juga penganut agama Sunda Wiwitan, komunitas pengikut Madrais dan komunitas pengikut Mei Kartawinata yang masih mempertahankan ajaran leluhurnya.
Menurut pengetahuan penulis, penghayat atau kelompok masyarakat yang masih menghormati dan melaksanakan ajaran leluhur Sunda tidak hanya terdapat di Kanekes Baduy, Ciptagelar Sukabumi, Cigugur Kuningan, dan Ciparay Bandung.
Banyak sekali masyarakat yang memegang teguh ajaran leluhurnya, tapi karena pertimbangan tertentu belum berani mengungkapkan keyakinannya.
Penulis merasa perlu memberikan ulasan sehubungan dengan ada kajian yang tidak lengkap yang mengundang penafsiran negatif dan pandangan yang keliru terhadap masalah tersebut di atas. Bahkan, ada bahasan yang tidak didukung oleh kajian mendalam khususnya yang berkaitan dengan ajaran Madrais dan ajaran Mei Kartawinata.
Hal pertama, jika ada pihak yang menyimpulkan bahwa Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Padjadjaran menganut Hindu, masih patut diragukan kebenarannya sebab sampai dengan saat ini belum ada bukti sejarah yang dapat mendukung kesimpulan tersebut. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan apakah Galuh dan Pajajaran menganut Hindu-Buddha atau agama/kepercayaan asli Sunda.
Beberapa komunitas Sunda, termasuk Sunda Wiwitan, Cigugur, Ciparay dan beberapa komunitas lainnya, berkeyakinan kepercayaan yang dianut kedua kerajaan tersebut adalah agama/ kepercayaan asli Sunda.
Hal ini sejalan dengan penelitian antropolog Nanang Saptono dalam tulisan berjudul “Di Jateng Ada Candi, di jabar Kabuyutan” yang dimuat dalam Harian Kompas, 3 September 2001 yang menyatakan, “Dalam Carita Parahyangan juga menunjuk bahwa kepercayaan umum raja-raja di Galuh ialah sewabakti ring batara upati yang berorientasi kepada kepercayaan asli”.
Hal kedua adalah mengenai kepercayaan leluhur bangsa yang disebut menganut animisme dan dinamisme. Dalam hal ini, kita perlu arif dan berpandangan luas, kenapa timbul kedua istilah yang seolah-olah merendahkan derajat dan kepercayaan leluhur kita, yang pengertiannya secara harfiah adalah menyembah nenek moyang dan menyembah kebendaan.
Kiranya patut direnungkan sedangkal itukah penghayatan leluhur kita terhadap arti dan hakikat ketuhanan, kemanusiaan, dan alam. Padahal, leluhur kita tinggal di bumi nusantara yang subur makmur loh jinawi.
Sumber pangan yang disediakan alam lebih dari cukup dan tinggal ambil apalagi penduduknya masih sedikit sehingga cukup banyak waktu untuk merenung, berpikir, berdialog, dan mengkaji tentang alam dan penciptanya serta berkreasi untuk mengembangkan budayanya.
Terbukti dari hasil penelitian Nandang Rusnandar (peneliti dari Jarahnitra Jawa Barat) bahwa di tatar Sunda telah ditemukan 54 jenis huruf (wanda aksara) dalam budaya tulisan dan penelitian Ali Sastramijaya yang menyimpulkan leluhur bangsa kita sudah sejak ribuan tahun telah mengenal budaya sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan matahari (Kala Surya), perhitungnan bulan (Kala Candra), dan perhitungan bintang (Kala Sukra) dengan presisi tinggi yang notabene didasarkan atas penelitian/pengkajian alam secara seksama dan terus menerus selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun melewati berbagai generasi.
Dengan demikian, budaya tulisan tentunya dikenal jauh lebih tua lagi sebelum dikenalnya budaya penanggalan. Alasannya, untuk mencatatkan penelitian peristiwa alam, tentunya disimpan dalam bentuk tulisan.
Selain itu, telah ditemukan sejenis alat cor logam di sekitar Dago Bandung yang menurut penelitian van Bemmelen (peneliti Belanda) usianya telah mencapai 125.000 tahun. Hal itu berarti sejak zaman prasejarah orang Sunda telah memiliki keterampilan teknologi logam (alat tersebut kini tersimpan di Musium Geologi Bandung).
Dalam hal ini hendaknya diingat, sejarah nasional dibuat oleh sebagian besar sejarawan Belanda pada masa penjajahan, yang tentunya akan terkait dengan kepentingan penjajah Belanda sehingga adalah suatu keniscayaan untuk merendahkan bangsa yang dijajahnya dengan berbagai cara, termasuk penulisan sejarah.
Dengan demikian, fakta dapat diputarbalikkan dan opini dunia dapat dibangun bahwa mereka tidak menjajah, melainkan berjasa dalam membudayakan bangsa yang masih primitif dan biadab. Kenyataannya, banyak bukti-bukti sejarah yang menurut informasi dibawa dan disimpan di negeri Belanda sejak masa penjajahan.
Bukan hal yang tidak mungkin bukti-bukti sejarah yang menguatkan kebesaran bangsa kita pada masa lalu hilang atau sengaja dihilangkan (dalam hal ini penulis sependapat dengan tulisan Ari J. Adipurwawidjana yang menyimpulkan berbagai pengaruh yang datang dari luar nusantara begitu besar sehingga kebudayaan yang sebelumnya berkembang tergeser kedudukannya dari wacana dominan menjadi wacana limbahan).
Apalagi Belanda menjajah nusantara ratusan tahun dan sebelumnya Hindu, Buddha, dan Islam pernah mendominasi nusantara sehingga kita mangalami kegamangan akan jati diri bangsa yang hakiki karena memang banyak kehilangan akar sejarahnya.
Hal lain yang mungkin perlu dijadikan pertimbangan adalah perbedaan budaya barat yang lebih mengandalkan rasional dan simbol-simbol nyata yang nampak di permukaan dibandingkan dengan budaya timur khususnya nusantara/Sunda yang religius dan banyak mengandung falsafah yang tidak tampak ke permukaan (tersirat/ngandung siloka), kemungkinan tidak mampu ditangkap sejarawan masa itu.
Akibatnya, kepercayaan leluhur kita yang sebetulnya cukup arif –kita lahir dan hidup karena jasa ibu-bapak, ibu-bapak ada karena nenek-kakek dan seterusnya (dalam budaya Sunda-Jawa dikenal penamaan sampai tujuh turunan)–, demikian seterusnya dikenal sebagai leluhur atau nenek moyang yang pada akhirnya bermuara ke Tuhan YME.
Jadi wajar apabila kita menghormati leluhur yang diwujudkan dalam bentuk tata-cara adat budaya sebagai bentuk penghormatan.
Demikian pula halnya dengan kearifan leluhur kita atas kedekatannya terhadap alam dan lingkungannya. Kesadaran bahwa mereka hidup dan bermukim ditopang oleh alam lingkungannya, baik berupa batu, kayu, tanah, air, gunung, hutan, dan bermacam bahan pangan khususnya padi sebagai bahan pokok menimbulkan kesadaran akan perlunya berterima kasih dan penghormatan terhadap alam dan lingkungannya.
Hal itu diwujudkan dalam bentuk tata cara adat budaya sehingga untuk memanfaatkan apa pun yang dari alam, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat (mipit kudu amit, ngala kudu menta). Misalnya pada waktu panen, menebang pohon, bongkar batu, bangun ruma,h dan sebagainya, serta untuk menjaga daerah yang sensitif dikenal daerah terlarang (pamali), begitu pula pepatah-pepatah yang sarat dengan pesan bagaimana memperlakukan alam.
Perilaku adat budaya tersebut di ataslah yang barangkali melahirkan vonis atau sengaja didiskreditkan sebagai animisme dan dinamisme. Padahal, ini jusrtu sesunggungnya merupakan bentuk perwujudan keluhuran budi pekerti leluhur kita, yang seharusnya dilestarikan. Kalau demikian, apakah mungkin leluhur kita tidak mengenal Tuhannya?
Dalam pemahaman penulis yang juga sedang menghayati dan menggali kepercayaan asli Sunda, dipahami bahwa kasih sayang Tuhan ada yang langsung, yaitu yang melekat pada diri kita dan ada yang tidak langsung melalui orang tua dan seterusnya, ada yang lewat sesama hidup (termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan) serta yang lewat alam (tanah, air, udara, dan api) yang menjadikan diri kita dan memelihara hidup kita.
Selain itu, setiap zat di bumi alam ini punya lahir dan punya batin (misal gula, wujud gula adalah lahirnya, sedangkan manis adalah batinnya; bibit ditanam hidup dan membesar karena tanah ada batinnya).
Begitu pula pada setiap kegiatan yang berhubungan dengan proses kehidupan manusia (kelahiran, perkawinan, dan kematian) dikenal tata cara adat budaya yang sarat dengan muatan religius sebagai perwujudan keluhuran budi pekerti dan pemahaman tentang asas Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Oleh karena itu, seyogianya pendiskreditan bahwa leluhur kita menganut animisme dan dinamisme dengan gambaran sebagai masyarakat yang masih belum beradab, menurut penulis sudah waktunya diluruskan (tantangan buat ahli sejarah).
Migrasi Manusia
HAL yang sama berkaitan dengan penulisan periwayatan sejarah kebudayaan nusantara, sebagaimana yang disitir oleh Ari J. Adipurwawidjana dalam makalahnya yang mengemukakan zaman prasejarah; terjadi gelombang migrasi manusia dari daratan Asia ke kepulauan nusantara. Pada awal zaman purba ditandai dengan datangnya manusia dari Subbenua India yang memasukkan kebudayaan Hindu-Buddha yang seolah-olah bumi nusantara belum berpenghuni, belum berbudaya, dan belum beragama.
Dalam pemahaman penulis, ini juga terkait dengan kepentingan penjajahan, untuk mengeliminasi bahwa tidak ada bangsa asli karena yang mengaku pribumi pun nyatanya bangsa pendatang. Jadi dapat dijadikan alasan bahwa baik Belanda maupun penduduk nusantara sebelumnya punya hak yang sama dan tidak ada hak-hak istimewa bangsa pribumi. Tinggal bersaing saja, siapa kuat itu yang menang.
Padahal, kalau dihubungkan dengan penelitian arkeologi, justru di tanah Jawa ini telah ditemukan berbagai fosil manusia purba yang berumur 1,5-1,75 juta tahun yang dikenal dengan sebutan “Java Man” (Misteri “Java Man” oleh Bintoro Gunadi dalam HU Kompas) dan penemuan gigi manusia purba oleh Dr. Tony Djubianto di wilayah Rancah dan Tambaksari Kabupaten Ciamis yang usianya lebih tua dari yang ditemukan di Sangiran (penulis tidak tahu apakah di belahan dataran Asia yang katanya asal migran zaman purba telah ditemukan fosil yang umurnya lebih tua).
Bukti sejarah apa yang dapat memperkuat kebenaran adanya gelombang migrasi tersebut, suatu perkara yang perlu pengkajian kembali.
Oleh karena itu, tidak heran kalau semua pemahaman dari catatan-catatan sejarah seperti di atas yang ditanamkan ratusan tahun secara turun-temurun sebagai akibat penjajahan, menimbulkan bangsa kita sampai sekarang kehilangan sebagian besar jati diri bangsanya, kehilangan kepercayaan dirinya yang cenderung rendah diri di hadapan bangsa asing.
Jadi, semua hal yang datang dari luar selalu dianggap lebih tinggi derajatnya dibandingkan yang datang dan dilahirkan dari tanah airnya sendiri. Kapan akan berubah, mari kita renungkan bersama.
Penulis ingin memberi uraian, khususnya yang berkaitan dengan aliran kebatinan Perjalanan. Perlu ditegaskan bahwa ajaran yang dikembangkan Mei Kartawinata bukanlah kepercayaan baru yang dilahirkan sebagai hasil dari perjumpaan Islam dengan budaya Sunda dan bukan merupakan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Buddha, dan Islam, sebagaimana ditulis oleh Dadan Wildan (Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda) dalam Pikiran Rakyat tanggal 26 Maret 2003.
Selain itu, ini diunsuri penggalian kepercayaan asli Sunda yang sedikit demi sedikit dikumpulkan, diungkap dan dikaji kembali untuk memisahkan mana yang bersumber dari ajaran asli dan mana yang berasal dari luar, yang memang sulit untuk membedakannya karena sebagian telah terjadi percampuran dan sebagian lainnya sudah terkubur selama ratusan tahun sejak masuknya kepercayaan dari luar. Sampai sekarang pun belum seluruhnya dapat terungkapkan.
Ajaran Mei Kartawinata pada dasarnya tidak berbeda dengan ajaran Sunda Wiwitan, hanya sedikit perbedaan dalam istilah dan metode pengajaran serta sedikit berbeda dalam penerapan tata cara adat budaya.
Tentunya komunitas Kanekes tidak seutuhnya menerapkan tata cara adat budaya yang lengkap seperti pada zaman Padjadjaran (komunitas ini pada waktu Islam masuk ke Padjadjaran terpaksa mengasingkan diri ke suatu daerah yang medannya berat dan tidak ingin diketahui keberadaannya dalam rangka mempertahankan keyakinannya sehingga harus menyesuaikan diri dan terpaksa meninggalkan sebagian tata cara adat budaya sesuai dengan lingkungan alam dan misinya).
Kalaupun dalam buku Budi Daya terdapat sebagian istilah-istilah dalam bahasa Arab, semata-mata didasarkan atas kondisi dan situasi waktu itu para pengikutnya kebanyakan berasal dari kalangan Islam yang menginginkan penjelasan dari apa yang mereka ketahui dan ingin mendalami isi yang terkandung di dalamnya ditinjau dari sudut pandang ajaran/kepercayaan Sunda, dan kalaupun terdapat persinggungan/kesamaan adalah wajar adanya.
Pasalnya, ilmu Tuhan yang hakiki adalah satu dan bersifat universal, serta berlaku untuk semua umat-Nya.
Selain itu, terdapat pula buku-buku dan berbagai tulisan Mei Kartawinata yang menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda bahkan istilah bahasa Cina. Hal ini sesuai dengan kondisi waktu itu yang juga masyarakat banyak memahami bahasa Belanda, yang tentunya tidak dapat disimpulkan sebagai sinkretisme dengan ajaran Belanda.
Ungkapan bahwa Budi Daya dijadikan sebagai “kitab suci” oleh para pengikutnya adalah sungguh keliru dan menunjukkan bukti tidak mengetahui banyak tentang ajaran Mei Kartawinata. Dalam pemahaman penganut ajaran Mei Kartawinata, kitab suci adalah kumpulan tulisan Tuhan yang tidak bisa dibuat oleh manusia dan berlaku universal dan dapat dipelajari oleh semua makhluk tanpa membedakan usia, agama, bangsa/ras maupun gender, serta daripadanya kita bisa belajar.
Tidak ada seorang pun yang akan mampu menamatkan belajar “Kitab Suci Tuhan” dan tak ada seorang pun yang mampu mengukur kedalaman maupun luasnya isi “Kitab Tuhan” ini, yaitu alam semesta beserta pengisinya.
Salah satu bagian kitab suci adalah dunia besar, yaitu alam semesta tempat kita bisa belajar dan menghayati, bagaimana teraturnya alam (nyakra manggilingan). Bagaimana gunung, bukit, lembah, hutan, pepohonan, air, api, tanah, angin/udara telah menjalankan kodratnya dan telah memberikan hidup dan kehidupan seluruh makhluk.
Begitu pula tumbuh-tumbuhan dan hewan semuanya telah menjalankan kodratnya yang pada dasarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sekarang tinggal tanya apakah manusia telah melaksanakan kodratnya melaksanakan kemanusiaannya, apakah orang Sunda telah melaksanakan kodrat kesundaannya, apakah orang Jawa tidak ingkar dari kodrat kejawaannya dan sebagainya, namun tidak berarti menganut paham chauvinisme.
Begitu pula bagian kitab suci yang ada pada dunia kecil (diri kita), tidak ada seorang manusia pun yang mampu membuat diri atau bagian dari diri kita yang sangat sempurna ini. Banyak hal yang dapat dipelajari dari diri kita, bagaimana serasinya tubuh kita, bagaimana saling kerja sama, saling ketergantungan dan tolong antarbagian diri kita yang begitu harmoni, di dalam diri banyak hal yang dapat digali.
Kita juga tak akan mampu menamatkan belajar pada diri kita, bahkan sampai hayat meninggalkan raga, begitu luasnya ilmu yang terkandung di dalam diri kita. Dengan demikian, pernyataan Budi Daya dijadikan sebagai “kitab suci” adalah sama sekali tidak benar, melainkan dijadikan sebagai buku ajaran biasa sebagaimana ditulis sendiri oleh Mei Kartawinata sebagai pamendak (penemuan/pendapat).
Selain itu, banyak pemikiran-pemikiran dan penemuan Mei Kartawinata yang dituangkan dalam berbagai buku/tulisan/diagram/skema yang punya kedudukan yang sama sebagai buku/materi ajaran.
Hendaknya dipahami bahwa ajaran Mei Kartawinata banyak mengupas dan mendalami tentang aspek-aspek kemanusiaan. Dalam ajaran Mei Kartawinata yang sepengetahuan penulis juga dianut oleh Sunda Wiwitan maupun pengikut Madrais bahwa kita tidak mungkin dapat mengenal Tuhan apabila tidak mengetahui diri kita sendiri. Untuk mengenali Tuhan, kenalilah dulu diri sendiri “nyungsi diri nyuay badan angelo paesan tunggal”.
Dalam pengkajian diri dan sejarah diri, terungkap 3 unsur, yaitu lahir (wadag), batin (halus/hidup), dan aku (yang punya tekad dan menggerakkan lahir dan batin), atau dalam bahasa Sunda dikenal kuring (aku), jelema (orang) dan hirup (hidup). Ke mana dan bagaimana lahir dan batin akan digunakan tergantung sepenuhnya kepada aku (kuring), aku yang bertindak sebagai pengendali (sopir).
Itulah sebabnya timbul istilah “agama kuring” yang sebetulnya sebutan yang bersifat melecehkan dari kalangan yang tidak menyukai terhadap ajaran Mei Kartawinata, bukan timbul dan dikemukakan oleh pengikut Mei Kartawinata sendiri.
Penulis mengira kasus yang sama dialami oleh pengikut Madrais yang juga disebut orang luar lingkungannya sebagai “Agama Jawa-Sunda”. Ajaran-ajaran lainnya dari Mei Kartawinata selain sarat dengan aspek-aspek spiritual ketuhanan dan kemanusiaan, juga sarat dengan ajaran mengenai kebangsaan dan “nation building”. Ini bisa dikaji dalam buku-buku dan tulisan-tulisan yang dibuatnya.
Nama Perjalanan memang didasarkan atas pengamatannya terhadap air yang terwujud dari kesatuan tetesan-tetesan air yang tak terhingga banyaknya yang dalam rangka perjalanannya menuju sumbernya di lautan telah memberikan manfaat terlebih dahulu sepanjang jalan bagi kehidupan dan penghidupan segala umat Tuhan.
Pengikut Mei Kartawinata harus terus ingat dan mempertanyakan manfaat apa yang telah kita berikan sebagai makhluk paling sempurna untuk kesejahteraan sesama hidup ini. Bagi penulis, kemuliaan seseorang terjadi ketika manusia bersatu dan bekerja sama memberikan manfaat bagi alam semesta ini, bukan malah merusaknya.
Selain itu, penulis merasa prihatin atas penulisan sejarah yang selama ini berlaku dan dianut merupakan warisan penjajahan yang niscaya banyak mengalami distorsi yang berdampak terhadap hilangnya jati diri bangsa dan kepercayaan diri bangsa. Oleh karena itu, penulis mengimbau kepada para sejarawan, antropolog, dan arkeolog, atau siapa pun yang berkompeten untuk coba secara objektif dan dibekali dengan hati nurani dengan menjunjung rasa kebangsaan untuk mengkaji kembali dan merevisi sejarah kebudayaan nasional kita.***
Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 14 Juni 2003.
dari : http://sundaislam.wordpress.com –
Ditulis pada Sabtu, 12 Januari 2008 oleh Ki Santri
Sumber : http://tuturussangrakean.blogspot.com/2008/08/perjumpaan-islam-dengan-tradisi-sunda.html
Pengaruh Islam dalam Budaya Sunda
Oleh H. WAHYU WIBISANA
SEMINAR Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa diselenggarakan pada 31 Oktober 2000 di Jakarta. Presiden Abdurrahman Wahid pada kata sambutannya, secara selintas, mengatakan bahwa seminar ini perlu juga didengar oleh orang Sunda. Beliau pun memberi tahu para peserta seminar bahwa PB Paguyuban Pasundan sengaja diundangnya untuk tujuan itu. Ucapan presiden tersebut dapat ditafsirkan macam-macam.
Pertama, pengaruh Islam tidak hanya terdapat dalam budaya Jawa, namun juga jelas terlihat pada budaya Sunda; dan karena itu, bila pada seminar ternyata lebih banyak membicarakan partisipasi Jawa, dipandang perlu untuk melengkapinya dengan bahasan-bahasan yang berisi pengaruh Islam terhadap budaya Sunda, mengingat kedua etnis itu berada dalam satu pulau akan tetapi masing-masing mempunyai kebuyaannya sendiri.
Kedua, mungkin sebaliknya dari yang pertama adalah anggapan bahwa dengan mencermati isi makalah-makalah pada seminar itu akan makin jelas bagaimana pengaruh Islam itu terhadap budaya Sunda, karena Jawa dan Sunda itu sudah berhubungan dalam tempo yang amat panjang dan menunjukkan pula bagaimana besar pengaruh budaya Jawa terhadap budaya Sunda. Saya sendiri lebih cenderung menafsirkan seperti yang dikemukakan pada kemungkinan pertama, walaupun tidak menafikan kenyataan seperti yang dikemukakan pada kemungkinan kedua.
Pengaruh bahasa dan budaya Jawa terhadap bahasa dan budaya Sunda memang amat besar, sehingga Ayatrohaedi (198 mempunyai dugaan bahwa bahasa Jawa Kuno di Tatar Sunda dahulu banyak digunakan untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan agama (Hindu/Budha). Bahkan menurut Krom (1931), dalam aspek kultural Sunda itu mencontoh Jawa, walaupun kerajaan-kerajaan di Tatar Sunda dahulu mempunyai kedaulatan penuh. Kedua pendapat itu benar, karena disertai banyak bukti tertulis sebagai hasil penelitian diakronis.
Akan tetapi, bila kenyataannya sekarang jelas mempunyai budaya tersendiri yang berbeda dengan budaya Jawa, maka dapatlah disimpulkan bahwa ternyata etnis Sunda itu dapat mempertahankan eksistensi budayanya betapapun pengaruh dari luar amat besar dan kuat. Hal ini ada hubungannya dengan unsur-unsur budaya yang bersifat stabil dan lokal genius yang dapat ditunjukkan secara sinkronis horisontal serta akan lebih baik lagi bila didukung oleh penelitian dengan pendekatan historis vertikal.
Saya kira, bila kita bermaksud mengadakan seminar yang membahas pengaruh Islam terhadap budaya Sunda, selain memperhatikan apa-apa yang telah dikemukakan pada Seminar Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa, kita pun harus mengidentifikasi kekhasan-kekhasan yang terdapat dalam budaya Sunda dengan, antara lain, memperhatikan segala sesuatunya yang ada dan terjadi di Tatar Sunda. Dalam hal ini kita pun harus membatasi masalah yang diawali dengan pendefinisian budaya atau kebudayaan seperti yang telah dikemukakan Zoetmulder pada Historiografi Indonesia (1955:288):
Manusia, yang hidup di dalam alam serta merupakan bagiannya, sejak lahir sampai mati berusaha mengungkapkan bentuk kehidupannya. Bersama dengan sesamanya yang tergabung dalam kesatuan masyarakat yang lebih luas. Dalam proses memberi dan menerima, mereka membentuk cara hidup yang menjadi sifat masyarakat tersebut. Cara hidup demikian inilah yang kita sebut kebudayaan.
Cara hidup orang Sunda, yang telah menerima Islam sebagai agamanya, tentu saja berbeda dengan cara hidup orang Sunda dahulu yang, antara lain, mengacu kepada isi naskah Siksa kandang Karesian (1518), sebuah naskah yang (menurut berita yang sampai kepada saya) telah ditelaah oleh para mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati, untuk mengetahui adeg-adeg orang Sunda dahulu.
Cara hidup yang bersendikan ajaran atau akidah sebuah agama dapat diobservasi dan ditelusuri proses kesejarahnnya yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan seperti dikemukakan Christoper Dawson (194 yang dicuplik Zoetmulder (1955:289):
Agama adalah kunci sejarah. Kita tidak dapat memahami bentuk dalam suatu masyarakat jika kita tidak memahami agama(nya)… Dalam semua zaman, hasil karya kreatif pertama dari suatu kebudayaan muncul dari inspirasi agama dan diabadikan pada tujuan-tujuan keagamaan.
Pengaruh agama Islam terhadap budaya Jawa telah banyak ditelaah, antara lain oleh beberapa pemakalah pada Seminar di Jakarta 31 Oktober 2000 yang beberapa di antaranya sejalan dengan pendapat Dawson tersebut. Di bawah ini saya berusaha memaparkan hasil penyerapan saya terhadap beberapa makalah pada seminar tadi, akan tetapi bukan berupa ringkasan melainkan berupa catatan tentang perbedaan atau variabel dalam budaya Jawa dan Sunda dalam hal menerima pengaruh Islam.
Catatan Pertama
HASIL penelitian Clifford Geertz (1960), yang menunjukkan adanya lapisan sosial masyarakat Jawa, tampaknya masih menjadi perhatian beberapa pemakalah pada Seminar Sehari Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa. Dipertanyakan kapan munculnya istilah abangan, karena pada awal abad ke-19 istilah itu tidak ada. Istilah itu ada saat itu adalah kaum dan santri. Istilah abangan dan putihan baru muncul pada pertengahan abad ke-19 yang diumumkan oleh para pengamat sosial bangsa Belanda.
Keterangan di atas dapat dibandingkan dengan struktur sosial di Tatar Sunda. Setidaknya sampai dengan awal ke-20, di masyarakat kota ada yang disebut dengan menak (bangsawan atau priyayi menurut istilah Clifford Geertz), urang kaum (lingkungan mesjid), dan urang pasar (para pedagang atau saudagar), di samping sonah (rakyat kebanyakan). Sementara itu di setiap pesantren terdapat ajengan (kyai) dan santri, sama seperti di Jawa.
Urang kaum di tingkat ibu kota kabupaten dipimpin oleh penghulu besar atau penghulu, di tingkat kewedanaan dan kecamatan oleh naib, sedangkan di tingkat desa oleh lebe. Tampaknya urang kaum di tingkat kabupaten itu mempunyai hubungan baik dengan para ajengan, seperti Penghulu Besar Hasan Mustapa (1900) dengan Kyai Kurdi di Singaparna dan Ajengan Bangkonol di daerah Bandung.
Catatan Kedua
PERANAN kepala pemerintahan dalam kehidupan dan perkembangan agama Islam di Jawa jelas-jelas tercatat dalam sejarah, seperti peranan Sultan Agung yang beralih orientasi kepada pemuka-pemuka Islam. Pada tahun 1633 Sultan Agung berziarah ke makam Sunan Bayat di Tembayat dan pada tahun itu pula kelender Jawa disesuaikan dengan kalender tahun Hijriyah.
Catatan serupa itu ada pula di Tatar Sunda seperti peranan Sunan Gunung Djati yang telah diuraikan oleh P.S. Sulendraningrat dalam buku Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon (tanpa Tahun). Peranan dan pengaruh Sunan Gunung Djati ini terekam pula dalam beberapa cerita rakyat di wilayah Cirebon, sama seperti peranan Sultan Hasanuddin di Provinsi Banten. Agaknya peranan pangagung lainnya setelah itu belum banyak dibahas dan diteliti seperti Pangeran santri di Sumedang atau Dalem Haji (R.A.A. Wiranatakusumah V) di Bandung.
Memang, menurut sejarah yang dipercayai sampai saat ini, orang Sunda menerima Islam lebih kemudian daripada orang Jawa, yakni setelah Cirebon dan Banten mendapat pengaruh dari Demak. Setelah itu, kecuali Cirebon dan banten, di derah lainnya di Tatar Sunda tidak terdapat pangagung-pangagung yang dapat dibandingkan dengan sultan-sultan di Jawa, karena semuanya hanya setingkat bupati.
Bahkan adakalanya hubungan menak dengan urang kaum kurang akrab, walaupun nama Kanjeng Dalem selalu di sebut pada khutbah Jum’at di mesjid agung sampai akhir masa penjajahan Belanda (1942). Bila memang demikian, tokoh-tokoh berpengaruh lainnya dapat dikedepankan seperti Syeikh Qura di Karawang (abad ke-15), Arif Muhammad di Cangkuang Garut (abad ?), dsb. Sehingga peranannya dapat diungkapkan seperti Syeikh Abdul Muhyi di Tasikmalaya (abad ke-17), dan Syeikh Nawawi di Banten (abad ke-19).
Catatan Ketiga
BERBAGAI kepercayaan orang Jawa yang terungkap dalam upacara adat dikemukakan pada beberapa makalah. Hal ini sama dengan yang ada di masyarakat Sunda masa lalu seperti dikemukakan oleh Hasan Mustapa pada buku Bab Adat Oerang Priangan djeung Oerang Soenda Lian ti Eta (1913).
Demikian pula cerita wayang yang berasal dari India dan mengandung ajaran agama Hindu, berkat usaha para wali telah diberi nuansa Islami sehingga dapat diterima oleh masyarakat yang beragama Islam (Lihat K.H. Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-Orang dari Pesantren, 1977).
Agaknya, penjelasan-penjelasan dari beberapa makalah mengenai kedua hal itu yang pada dasarnya menggambarkan adanya garis kelanjutan dari zaman pra-Islam masih tampak sampai saat ini, baik di Jawa maupun di Sunda. Adapun yang harus ditelaah dan sekaligus dijadikan ancar-ancar adalah batas toleransi, bila kenyataan itu dihubungkan dengan syari’at Islam dalam budaya Sunda masa lalu dan dewasa ini.
Garis kelanjutan masa lalu tidak menunjuk pada suatu titik yang terpusat pada tokoh-tokoh raja pra-Islam yang masih hidup dalam kenangan orang Jawa, seperti Hayam Wuruk. Mungkin karena raja ini tidak ada hubungannya dengan Islam, sehingga tidak diungkapkan pada semua makalah. Lain halnya dengan orang Sunda yang selalu mengenang kebesaran Kerajaan Pajajaran dengan rajanya (menurut tuturan cerita pantun) Prabu Siliwangi.
Dalam hubungan dengan Islam, raja ini telah diceritarakyatkan menjadi dua versi, yakni versi kaleran (termasuk Cirebon) dan versi Priangan.
Pada versi kaleran, Prabu Siliwangi itu akhirnya Prabu Siliwangi itu akhirnya menganut agama Islam, karena mempersunting santri peremuan yang dididik oleh Syeikh Quro, bernama Nyi Subanglarang. Dari pernikahannya ini lahir Pangeran Walangsungsang dan Nyi Rara Santang yang kedua-duanya berhubungan dengan sejarah Cirebon (diceritakan bahwa Syarif Hidayatullah itu putera Rara Santang dari pernikahannya dengan seorang bangsawan Mesir). Versi ini menggambarkan keberterimaan Prabu Siliwangi terhadap Islam.
Berbeda dengan versi Priangan yang menggambarkan ketidak berterimaan Prabu Siliwangi terhadap Islam seperti terungkap dalam cerita, Kian Santang mengejar dan memaksa Prabu Siliwangi agar mau menganut agama Islam, Ketidak berterimaan sebagian masyarakat Sunda terhadap Islam yang dilambangkan dengan tokoh Siliwangi menurut versi ini agaknya sejalan dengan adanya umpatan pejajaran di Jakarta dan anjing galuh di Priangan (minus Ciamis).
Lepas dari kedua versi tersebut, nama Siliwangi tetap hidup dalam sanubari orang Sunda seperti tersirat pada seni sastra dan seni karawitan Sunda. Hal ini menjadi menarik bila dihubungkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa junjunan orang Sunda sampai saat ini sebenarnya ada dua, yakni Nabi Muhammad (bila mereka menempatkan diri sebagai umat Islam) dan Prabu Siliwangi (bila mereka sedang menyadari kesundaannya).
Akan lebih menarik lagi bila hal itu dihubungkan pula dengan anggapan yang menyatakan bahwa Sunda itu identik dengan Islam, karena sampai saat ini dirasakan janggal bila asa orang Sunda yang tidak beragama Islam.
Catatan Keempat
PADA beberapa makalah digambarkan bahwa keberterimaan orang Jawa terhadap agama Islam lebih meningkat manakala disertai unsur sufinya. Digambarkan bahwa budaya kejawen yang berpusat di keraton-keraton amat berkesuaian dengan Islam sufi.
Kemudian dikemukakan tokoh-tokoh tasawuf yang amat berperan dalam mengembangkan budaya Jawa, seperti Sunan Kalijaga dengan konsep pancamaya atau sangkan paran dumadi dan ilmu kesempurnaan atau insan kamil yang bermuara pada konsep ajaran munggaling kawula gusti.
Sufisme atau tasawuf seperti itu banyak mempengaruhi alam pikiran orang Jawa dan melahirkan banyak karya sastra seperti Sastra Gending (Sultan Agung), Wulangreh (Paku Buwono IV), dan Wirid Djati (Rangga Warista). Salah seorang tokoh yang juga ditonjolkan pada makalah ini Abdul Muhyi Pamijahan dengan ajaran yang disebut Martabat Alam Tujuh.
Yang menarik adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa karya-karya sastra dalam kepustakaan Islam kejawen tersebut sejalan dengan tradisi Jawa dengan unsur keIslaman. Sebutan “Islam Kejawen” yang jelas-jelas menunjuk nama agama (Islam) ternyata masuk juga ke dalam budaya Sunda. Agama Jawa Sunda yang diumumkan oleh Madrais (1925) atau Paham Perjalanan dalam Agama Kuring yang dikembangkan oleh Mei Kartawinata (1935) patut diduga sedikit banyak berbandingan dengan lahirnya Kejawen. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapat kejelasan dalam rangka melengkapi keterangan tentang pengaruh Islam (melalui Islam yang telah dijawakan) ke dalam budaya (sekali lagi: budaya) Sunda.
Catatan Kelima
AGAMA Hindu amat berpengaruh terhadap kebudayaan Jawa. Berbeda dengan di Sunda, karena naskah Siksa Kandang Karesian atau naskah-naskah Sunda Kuno lain tidak secara keseluruhan berisi ajaran Hinduisme.
Ada paparan pada sebuah makalah yang menjelaskan bahwa Hinduisme mengakar dalam budaya Jawa sehingga pada gilirannya menjadi penyangga kebudayaan priyayi kejawen. Sementara itu, Hinduisme hanya menyentuh sedikit saja pada budaya petani pedesaan, karena pihak ini amat dipengaruhi oleh budaya animisme dan dinamisme.
Kita dapat saja memperkirakan bahwa keadaan seperti itu terjadi pula di Sunda, terutama yang menyangkut budaya petani pedesaan. Adapula yang menyangkut budaya priyayi, mungkin kita dapat mengajukan hipotesis bahwa budaya priyayi Sunda bukan dibentuk langsung oleh Hinduisme, melainkan merupakan “cangkokan” dari priyayi Jawa. Diperkirakan hal ini terjadi pada masa pengaruh Mataram di Priangan yang berlangsung pada abad ke-17 dan berlanjut sampai dengan pertengahan abad ke-19.
Perhatian dan kegemaran para menak Sunda pada kesenian substil yang lazim di Jawa disebut “seni keraton”, dalam bentuk lain terdapat juga di Sunda, seperti tembang Sunda lagam Cianjuran yang dikembangkan oleh R.A.A. Kusumaningrat, Bupati Cianjur (1834-1862). Hal ini tidak berkaitan dengan keagamaan, melainkan berhubungan dengan bagian akhir pada catatan ketiga. Walaupun demikian, dapat pula dihubungkan dengan budaya Islam bila kita menerima anggapan sementara orang yang menyatakan bahwa teknik vokal tembang Sunda Cianjuran itu ada hubungannya dengan teknik vokal dalam pelantunan ayat suci al-Qur’an.
Wallahu a’lam bishshawab.***
Sumber: Makalah pada Forum Diskusi Reguler Dosen Fakultas Adab, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 01 Pebruari 2001.
Sumber : Pustaka Islam Sunda
http://sundaislam.wordpress.com
Ditulis pada Jumat, 11 Januari 2008. oleh Ki Santri
Islam dan Sunda dalam Mitos
Oleh : Jakob Sumardjo
PANDANGAN manusia Sunda masa kini terhadap hubungan antara agamanya (Islam) dan kebudayaannya (Sunda) tentulah berdasarkan pandangan dan pengetahuan yang sudah modern. Bagaimana hubungan itu seharusnya, tentulah menjadi bahan wacana yang aneka ragam. Tetapi orang sering melupakan bagaimana gagasan manusia Sunda itu dalam praksisnya. Bagaimana masyarakat Sunda pra-modern memandang dirinya dalam hubungan antara Islam dan Sunda. Gagasan semacam itu bertebaran dalam bentuk wawacan yang oleh Viviane Sukanda-Tessier dan Hasan M. Ambary telah dihimpun ringkasan isinya setebal lebih dari 2000 (dua ribu) halaman.
Untuk memahami hubungan antara Islam dan Sunda, ratusan wawacan itu dapat menjadi sumber utamanya. Kalau pikiran kolektif masyarakat Sunda di zaman Pajajaran dapat disimak dari carita pantun, pikiran kolektif masyarakat Sunda setelah memeluk agama Islam dapat disimak dari wawacannya. Wawacan-wawacan inilah yang ikut membentuk pikiran kolektif masyarakat Sunda sejak abad ke 17.
"Pantun dan wawacan itu bukankah dongengan saja Pak?" Memang kita sekarang menampakkannya sebagai dongeng-dongeng belaka, tetapi di zamannya (bahkan mungkin masa kini di perdesaan Sunda) masih merupakan mitos. Setiap masyarakat memiliki sejumlah mitos untuk mempersatukan dirinya dalam sebuah bangunan alam pikiran yang sama.
Mitologi-mitologi Islami Sunda dalam bentuk ratusan wawacan ini berperan sangat penting dalam menyatukan kesadaran sosial masyarakat Sunda pada zamannya. Dan kesadaran inilah yang memimpin sikap mereka dalam mengarungi hidup ini.
**
MASYARAKAT Sunda zaman wawacan itu memandang dirinya dalam hubungannya dengan agama Islam, dapat dilihat dari hanya dua wawacannya saja, yakni Wawacan Guru Gantangan dan Wawacan Kean Santang. Masih tersedia puluhan wawacan lain yang dapat memperkuat thesis yang akan diajukan di sini. Dalam sebuah diskusi tentang kesundaan, seorang mahasiswa menolak keras diperhitungkannya nama Kean Santang dalam membaca budaya Sunda di masa lampau. Kean Santang itu tidak dapat dibuktikan keberadaannya dalam sejarah Sunda.
Jawaban saya, mana yang lebih penting, kesadaran kolektif masyarakat Sunda atas "adanya" Kean Santang, atau bukti sejarah keberadaannya? Kalau benar ada secara faktual, tetapi tidak ada secara kesadaran, mana yang lebih penting dalam ilmu budaya? Realitas kesadaran bahwa Kean Santang itu benar-benar ada dalam alam pikiran masyarakat Sunda di zaman itu, atau jauh lebih penting dari realitas faktual yang memang "tidak ada"?.
Perlu saya tambahkan di sini, bahwa wawacan bukan untuk dibaca secara personal seperti kita sekarang membaca roman Siti Nurbaya. Wawacan itu untuk dibacakan di depan sejumlah hadirin dengan melagukannya. Inilah second literary.
Genesisnya dari dua komunitas, yakni lingkungan pesantren Sunda dan lingkungan kaum menak. Inilah sebabnya wawacan berhuruf Pegon (pesantren) dan berhuruf cacarakan Jawa (menak).
Wawacan berisi ajaran Islam dan mitos-mitos Islami diduga berasal dari komunitas santri, sedangkan wawacan berisi mitos-mitos Sunda, Jawa, dan Islam, berasal dari komunitas menak. Dua jenis wawacan ini diwarisi oleh rakyat Sunda. Dengan demikian, jelaslah bahwa wawacan Sunda menggambarkan alam kesadaran seluruh masyarakat Sunda.
Seperti halnya masyarakat Melayu, masyarakat Sunda memandang Sunda dan Islam itu identik. Sunda itu Islam, Islam itu Sunda. Sebuah ungkapan yang amat membingungkan dalam pola berpikir modern kita. Tetapi ungkapan ini berasal dari tradisi berpikir masyarakat Sunda pra-modern. Dalam masyarakat Minang identitas Islam ini dirumuskan dalam ungkapan: adat bersendi sarak (syariat), sarak bersendi Kitab Allah. Ungkapan Minang ini kemudian dipakai cendekiawan Sunda modern untuk mengoreksi ungkapan aslinya yang membingungkan itu, yakni Islam dahulu sebelum Sunda.
**
MENGAPA muncul ungkapan "Islam itu Sunda?" Nenek Moyang Sunda bukan orang bodoh yang tak tahu membedakan antara agama Islam yang dijunjung tinggi dengan adat istiadat leluhurnya. Ungkapan "Islam itu Sunda" sama sekali tidak bermaksud mereduksi Islam menjadi budaya. Ungkapan ini mirip dengan "Siliwangi itu Jawa Barat, Jawa Barat itu Siliwangi". Sunda dan Siliwangi itu identik.
Identitas Sunda sebagai Islam itu mengacu kepad Trias Politika Sunda. Di masyarakat Baduy, terdapat kesatuan tiga kampung besar yang masing-masing mempunyai peranannya sendiri. Kampung yang amat dihormati adalah Cikeusik, karena kampung ini bersifat resik yakni penentu adat seluruh kesatuan kampung.
Meskipun ia dihormati, tetapi tidak menjalankan kekuasaan kampung. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada kampung di tengah, yakni Cikertawana. Sedang kampung paling luar, Cibeo, bertanggung jawab atas keamanan tiga kampung besar dan bertugas menjalin komunikasi dengan pihak luar kampung. Jadi, Cikeusik sebagai resi, Cikertawana sebagai ratu dan Cibeo sebagai rama.
Dalam zaman Pajajaran, Pakuan menggantikan kedudukan Cikeusik, jadi raja Pajajaran itu raja-pendeta. Kekuasaan eksekutif Pajajaran di Jawa Barat tersebar di negara-negara "tengah", misalnya Sumedang, Tasikmalaya, Majalengka, dst. Sedangkan Cibeonya Pajajaran adalah kota-kota pesisir seperti Indramayu, Karawang, Tangerang, dst. Inilah muncul ungkapan Sunda bahwa Sunda itu Pajajaran dan Pajajaran itu Sunda, atau yang lebih mutakhir, Siliwangi itu Sunda dan Sunda itu Siliwangi.
Bagaimana ketika Sunda memeluk Islam? Tetap trias politika. Triloginya adalah santri (Islam), Menak, dan Rakyat mengikuti ungkapan resi, ratu, rama. Resinya menjadi ulama, ratunya menjadi kaum menak, dan rama menjadi rakyat Sunda umumnya. Dibaca secara demikian maka pola pikir masyarakat Sunda mengenai hubungan antara sistem kepercayaannya dengan sosio-budayanya masih tetap Trias Politika Sunda. Cikeusik, Pakuan-Pajajaran, dan Islam adalah otoritas rohaniah yang amat dihormati dan dipatuhi. Inilah yang menyatukan alam pikir seluruh komunitas Sunda. Sunda itu ya Cikeusik itu, Pakuan - Pajajaran itu, Islam itu sendiri.
Oleh karena itu masyarakat Sunda mentakan bahwa "Islam itu Sunda". Ungkapan ini jangan dibaca secara modern, tetapi secara tradisi berpikir masyarakat Sunda sendiri, yang artinya Islam adalah pengganti identitas Sunda yang sebelumnya dipegang oleh Pajajaran. Karena kerajaan Pajajaran tidak berkelanjutan dengan berdirinya kerajaan Islam-Sunda (kecuali kerajaan Banten dan Cirebon disebut sebagai Sunda), maka otoritas rohani Sunda diserahkan kepada kaum ulama Sunda di pesantren-pesantren.
Jadi, resi-ratu-rama menjadi Islam-menak-rakyat. Seperti dahulu Pajajaran itu sunda, maka sekarang Islam itu Sunda. Dengan demikian, ungkapan "Islam itu Sunda" harus dibaca secara sosio-historis Sunda, dan jangan dibaca secara teologis.
Permasalahannya sekarang, mengapa identitas Sunda adalah Islam? Inilah alam pikiran Sunda pra-modern, suatu realitas kesadaran yang ditanamkan lewat berbagai mitos-mitos Islami Sunda dalam wawacan.
Dalam wawacan Guru Gantangan (abad 18?), masyarakat Sunda percaya bahwa Pulau Jawa ini pada mulanya kosong. Maka raja Mesir, Sri Putih, membawa seribu orang Mesir dan seribu orang Selon bermukim di Pulau Jawa (Sunda), Penyebutan orang Mesir dalam abad 17 atau 18 dapat dipahami sebagai kekuasaan kesultanan Turki di Mesir yang jelas Islam.
Dengan demikian, masyarakat Sunda dalam abad-abad itu percaya bahwa orang Sunda itu setengah Mesir (Arab, Turki, Islam) dan setengah Selon (India). Mitos ini meneguhkan bahwa Sunda itu sejak mulanya memang sudah Islam.
Mitologi kedua berasal dari wawacan Kean Santang. Kean Santang adalah putra Siliwangi yang tak terkalahkan oleh siapa pun, sehingga ia mencari lawan yang dapat melukainya dan dengan demikian ia akan dapat melihat darahnya sendiri. Petunjuk mengatakan bahwa ia harus bertapa di Ujung Kulon. Dalam pertapaannya ia mendengar suara agar pergi ke arah barat. Perjalanan ke barat sampai di Arab. Di sana ia bertemu seorang kakek yang kemudian dikenal sebagai Baginda Ali. Kakek ini bersedia mempertemukan Kean Santang dengan siapa yang dicari Kean Santang selama ini.
Dalam perjalanan, Baginda Ali menyuruh Kean Santang mengambilkan tongkatnya yang ketinggalan. Kean Santang pergi mengambilnya, tetapi tongkat yang tertanam di pasir itu tak bisa ditariknya, meskipun telah mengeluarkan segenap tenaganya. Baginda Ali datang menyusul, dan dengan amat gampang menarik tongkat itu. Kean Santang sadar, bahwa Baginda Ali yang hanya pengikut Nabi Muhammad SAW begitu perkasanya, apalagi beliaunya sendiri. Kean Santang bertobat dan masuk Islam. Kean Santang mendapat ajaran Islam dari nabi sendiri, dan ikut mendirikan sebuah tiang dalam membangun masjid di Mekkah.
Kean Santang sebenarnya ingin tetap tinggal dekat nabi, namun ia diberi tugas untuk menyebarkan agama Islam di Sunda. Sesampainya di tanah airnya, ia membujuk ayahandanya Prabu Siliwangi agar bersedia masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi memilih moksha bersama keluarga dan pembesar-pembesarnya. Pajajaran lenyap. Tetapi Kean Santang tidak mau menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Ia menyebarkan agama Islam ke seluruh rakyat Sunda.
**
SEKALI lagi mitos ini menunjukkan keyakinan masyarakat Sunda bahwa Islam di Sunda itu berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW yakni Islam yang semurni-murninya Islam. Dan Kean Santang adalah murid dan sekaligus utusan Nabi Muhammad SAW.
Tidak mengherankan apabila rakyat hilang kenangannya terhadap kebudayaan Hindu-Budha-Sunda yang pernah berjaya sekitar seribu tahun. Nama Siliwangi itu sendiri barangkali dalam kesadaran rakyat hanya dikenal sebagai "bukan Islam", namun bukan raja Hindu-Budha.
Pengalaman saya waktu ceramah di daerah Banjaran membuktikan kenyataan itu. Ketika saya jelaskan makna pantun yang berhubungan dengan sistem kepercayaan Hindu-Budha di Sunda, salah seorang peserta membantah bahwa orang Sunda pernah memeluk agama Hindu-Budha. Orang Sunda sejak dahulu kala telah memeluk agama Islam, tidak ada agama yang lain.
Mula-mulanya saya terperanjat, tetapi kemudian saya memahami sikapnya setelah saya membaca ringkasan-ringkasan wawasan hasil kerja Ibu Viviane dan Bapak Ambary. Betapa hebatnya wawacan atas alam pikiran rakyat Sunda di perdesaan.
Dikutip sesuai dengan aslinya dari :
Pedoman Rakyat : Islam dan Sunda Dalam Mitos
KUMICIR
Sat, 14 May 2005 21:36:42 -0700 (Sabtu, 14 Mei 2005)
Sumber : http://tuturussangrakean.blogspot.com/2008/08/islam-dan-sunda-dalam-mitos.html
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !