Jam Gadang: Ikon pariwisata Sumbar Jam Gadang di Bukittinggi dibangun pada tahun 1926 dengan arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Jam Gadang ini memiliki keunikan pada penulisan angka Romawi IIII.
Inggris tidak dapat menepuk dada begitu saja sebagai negara dengan ikon jam raksasa. Indonesia juga harus unjuk gigi, terutama Sumbar, karena jika di British sana ada jam yang diberi nama Big Ben, maka di Bukittinggi juga ada Jam Gadang.
Jam yang dibangun pada 1926 ini, diarsiteki Yazin dan Sutan Gigi Ameh ini berdiri megah di pusat Bukittinggi sebagai ikon Sumbar.Ingat pameo, “belum ke Sumbar jika belum ke Bukittinggi”. Barangkali ungkapan tersebut sedikit sama dengan “belum ke Yogyakarta kalau belum ke Malioboro”.
Apabila ke Yogyakarta identik dengan Malioboro, maka ke Bukittinggi tentu sangat identik pula dengan ke Jam Gadangnya. Sepintas, mungkin tidak ada keanehan pada bangunan jam setinggi 26 meter tersebut.
Apalagi jika diperhatikan bentuknya, karena Jam Gadang hanya berwujud bulat dengan diameter 80 sentimeter, di topang basement dasar seukuran 13 x 4 meter, ibarat sebuah tugu atau monumen. Oleh karena ukuran jam yang lain dari kebiasaan ini, maka sangat cocok dengan sebutan Jam Gadang yang berarti jam besar.
Bahkan tidak ada hal yang aneh ketika melihat angka Romawi di Jam Gadang. Tapi coba lebih teliti lagi pada angka Romawi keempat. Terlihat ada sesuatu yang tampaknya menyimpang dari pakem. Mestinya, menulis angka Romawi empat dengan simbol IV. Tapi di Jam Gadang malah dibuat menjadi angka satu yang berjajar empat buah (IIII).
Penulisan yang diluar patron angka romawi tersebut hingga saat ini masih diliputi misteri. Tapi uniknya, keganjilan pada penulisan angka tersebut malah membuat Jam Gadang menjadi lebih “menantang” dan menggugah tanda tanya setiap orang yang (kebetulan) mengetahuinya dan memperhatikannya. Bahkan uniknya lagi, kadang muncul pertanyaan apakah ini sebuah patron lama dan kuno atau kesalahan serta atau atau yang
lainnya.
Dari beragam informasi ditengah masyarakat, angka empat aneh tersebut ada yang mengartikan sebagai penunjuk jumlah korban yang menjadi tumbal ketika pembangunan. Atau ada pula yang mengartikan, empat orang tukang pekerja bangunan pembuatan Jam Gadang meninggal setelah jam tersebut selesai.
Masuk akal juga, karena jam tersebut diantaranya dibuat dari bahan semen putih dicampur putih telur. Jika dikaji apabila terdapat kesalahan membuat angka IV, tentu masih ada
kemungkinan dari deretan daftar misteri. Tapi setidaknya hal ini tampaknya perlu dikesampingkan. Sebagai jam hadiah dari Ratu Belanda kepada controleur (sekretaris kota), dan dibuat ahli jam negeri Paman Sam Amerika, kemungkinan kekeliruan sangat kecil.
Tapi biarkan saja misteri tersebut dengan berbagai kerahasiaannya. Namun yang patut diketahui lagi, mesin Jam Gadang diyakini juga hanya ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh
pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal) diberi nama Brixlion.
Sekarang balik lagi ke angka Romawi empat, apakah pembuatan angka empat yang aneh itu disengaja oleh pembuatnya, juga tidak ada yang tahu. Tapi yang juga patut dicatat, bahwa Jam Gadang ini peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi ketika itu.
Ketika masih dalam masa penjajahan Belanda, bagian puncak Jam Gadang terpasang dengan megahnya patung seekor ayam jantan. Namun saat Belanda kalah dan terjadi pergantian kolonialis di Indonesia kepada Jepang, bagian atas tersebut diganti dengan bentuk klenteng.
Lebih jauh lagi ketika masa kemerdekaan, bagian atas klenteng diturunkan diganti gaya atap bagonjong rumah adat Minangkabau. Di tengah usia yang ke 81 tahun, jam yang dibangun dengan biaya 3.000 gulden (saat itu), saat ini masih berdiri kokoh sebagai ikon pariwisata Sumbar.
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !