Dalam Sejarah berdirinya Boedi Utomo terjadi banyak simpang siur , namun dari kebingungan itu Tim Gudang Materi telah memilah yang mempunyai referensi yang cukup meyakinkan. Berikut 2 Versi berdirinya Boedi Utomo ( Budi Utomo ).
Versi 1
Sejarah Berdirinya Boedi Utomo
Boedi Utomo adalah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908. Yang diperingati sebagai hari kebangkitan bangsa. Karena berdirinya Boedi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Namun 100 tahun kebangkitan bangsa tidak selamanya disambut optimisme. Satu lagi yang memandangnya secara pesimistis, pengamat sosial budaya Radar Panca Dahana. Kebangkitan nasional, kata dia, itu palsu! Radar menyampaikan pendapatnya itu dalam diskusi Kebangkitan dan Keruntuhan Bangsa di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (17/5).
“Kebangkitan nasionalis itu palsu, itu tipu daya sejarah, politik, ada beberapa faktor menyebabnya,” kata Radar. Kebangkitan bangsa di zaman Boedi Utomo, kata dia dilahirkan dengan semangat Jawa yang kuat, dan dilahirkan di kalangan priyayi sesuai lingkungan di mana Boedi Utomo dilahirkan.
Dari catatan sejarah, kita menemukan proses berdirinya Boedi Utomo sangatlah sederhana dan alamiah. Deklarasi pendirian Boedi Utomo tahun 1908 jauh dari hiruk pikuk kemewahan, dukungan, spanduk ataupun baliho.
Budi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu.
Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.
Bagian tak terpisahkan dari penetrasi sistem kolonialisme Barat yang berbasis pada merkantilisme. Penderitaan masyarakat, ketidak-adilan, kemiskinan, penindasan dan perilaku pongah dari aparat penguasa kolonial, yang mereka temui di dalam kehidupan sehari-hari, diserap ke dalam forum diskusi. Di dalam forum itu mereka membahas dan memahami akar masalah dari kemiskinan, kebodohan dan ketidak-adilan sebagai bagian tak terpisahkan dari penetrasi sistem kolonialisme Barat yang berbasis pada merkantilisme.
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata “politik” ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai “tanah air Indonesia” makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya “tanah air” (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.
Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman.
Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel “Als ik Nederlander was” (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.
Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa “nasionalisme Indonesia” tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota.
Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme “Indonesia” ada dan merupakan unsur yang paling penting.
Kelahiran Boedi Oetomo telah menjadi tonggak yang menumbuhkan semangat perjuangan, sekaligus menjadi inspirasi bagi berdirinya berbagai organisasi di seluruh pelosok tanah air, baik yang bersifat kedaerahan, politik, serikat pekerja, keagamaan, kewanitaan, maupun kepemu-daan. Pada gelombang berikutnya, muncul sejumlah organisasi seperti Sarekat islam, dan berbagai organisasi lainnya
Hal ini mewarnai awal kebangkitan nasional, dan mencapai puncaknya pada tahun 1928, dengan bersatunya berbagai kelompok organisasi—khususnya organisasi kepemudaan—untuk mewujudkan suatu gerakan kebang-saan yang sejati, melalui Sumpah Pemuda : satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa – Indonesia!
Gerakan kaum muda tahun 1908 dan tahun 1928, menandai tonggak-tonggak awal gerakan kebangkitan nasional Indonesia. Sejak itu, nasionalisme Indonesia terus berkembang, terus menjalar, dan terus berkobar di seluruh penjuru tanah air.
Dengan semangat nasionalisme itulah, kita berhasil meraih kemerdekaan yang kita cita-citakan, pada tanggal 17 Agustus 1945.
Versi 2
Lahirnya Boedi Utomo
Abad XX, panggung perpolitikan Internasional diwarnai dengan adanya pergolakan kebangkitan dunia timur yang ditandai dengan munculnya kesadaran akan kekuatannya sendiri. Pembentukan Republik Phlipina yang dipelopori DR. Jose Rizal pada tahun 1898, kemenangan Jepang atas Rusia di Tsunia (1905), Gerakan Sun Yat Sen dengan Republik Cinanya (1911), partai Kongres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi. Proses kebangkitan di berbagai belahan bumi turut pula berpengaruh terhadap kondisi pergerakan di Indonesia.
Dalam versi sejarah Indonesia, Budi Oetomo yang dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dan berdiri pada tanggal 20 Mei 1908 dianggap sebagai pelopor kebangkitan nasional yang menandai munculnya kesadaran berbangsa.
Namun penyandaran pelopor kebangkitan nasional kepada Boedi Oetomo tersebut, saat ini banyak dipertanyakan. Alasannya, Boedi Oetomo merupakan perkumpulan kaum ambtenaar, yaitu pegawai negeri yang setia kepada pemrintahan kolonial Belanda.
Ketua BO yang pertama adalah Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar yang menjadi orang kepercayaan Belanda yang menjabat daari tahun 1908 sampai tahun 1911. Penggantinya tidak jauh berbeda, yaitu Pangeran Haryo Noto Dirojo dari istana Paku Alam, Yogyakarta. Noto Dirojo adalah orang dalam keraton yang mendapatkan gaji dari Belanda, sehingga dia sangat patuh kepada induk semangnya.
Dengan adanya keterikatan yang mendalam dengan pemerintahan kolonial dan sifat keanggotaannya yang terbatas bagi kaum nigrat – aristocrat elite serta terbatas pada suku Jawa dan Madura maka agak sulit BO bergerak menjadi organisasi yang siap memperjuangkan nasib rakyat dan bangsanya. Selain bersifat chauvinis- regional, dalam Anggaran Dasarnya, BO masih menggunakan Bahasa Belanda. Bahkan tercatat bahwa Boedi Utomo merupakan gerakan fanatisme sempit yang anti Islam dan Anti Arab.
Tujuan pendirian BO terbatas pada kemashlahatan sektoral, Jawa dan Madura, serta tidak menyebutkan istilah kemerdekaan dalam platform organisasinya. Kalangan yang menolak BO sebagai memberikan alternatif bahwa Sarekat Dagang Islam (SDI) yang berdiri di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905 sebagi organisasi pelopor pergerakan dan kebangkitan nasional.
Berbeda dengan Boedi Oetomo, SDI memiliki anggota yang meliputi seluruh wilayah nusantara dan mengakomodir kepentingan umat Islam, mayoritas penduduk nusantara. Selain itu SDI juga memperjuangkan nasib rakyat dan aktif menghantarkan bangsa ke gerbang kemerdekaan.
Anggaran Dasar SDI sebagaimana tercacat dalam Ensiklopaedia Nasional Indonesia bertujuan untuk berikhtiar meningkatkan persaqudaraan diantara sesame naggota, tolong menolong di kalangan kaum muslimin, berusaha meningkatkan derajad kemakmuran dan kebebasan negeri.
Namun kelahiran SDI yang tiga tahun lebih awal dari BO, dibantah juga oleh beberapa orang. Deliar Noer, sebagai contoh, menyatakan bahwa gerakan modern Islam di Indonesia tidaklah dimulai pada tahun 1911 dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam.
Deliar Noer memperkuat argumentasinya dengan menggunakan hasil wawancaranya dengan Raden Goenawan yang menyatakan hal tersebut. Perlu diketahui bahwa Raden Gunawan sebelumnya adalah salah seorang pendiri Boedi Oetomo dan pembantu dekat DR. Soetomo sebagai mahasiswa STOVIA yang turut mendirikan Boedi Oetomo di Jakartya pada tahun 1908. Setelah keluar dari Boedi Oetomo, Raden Goenawan masuk ke dalam Syarikat Islam pada tahun 1913 dan menduduki jabatan sebagai wakil ketua dikarenakan pendidikannya yang cukup tinggi.
Bahkan di Sumatra Selatan dia juga disebut sebagai orang yang keramat yang dihormati sebagai wali Allah. Raden Goenawan tidak sempat menyelesaikan pendidikannya di STOVIA. Namun dia lulus dari OSVIA Probolinggo.
Namun kemudian baru diketahui motif Raden Gunawan sebenarnya ketika masuk ke SI, dimana dia terlibat dalam memecah belah pengurus Sarekat Islam dan terlibat korupsi dana organisasi.
Pasca dipecat dari kepengurusan SI, Raden Goenawan kembali masuk ke dalam Boedi Oetomo yang secara kentara merupakan organisasi anti Islam dan berseberangan dengan SI. Dengan demikian dapat diketahui motif sebenarnya pernyataan Raden Goenawan yang dikutip oleh Deliar Noer tentang tanggal kelahiran SDI.
Selain itu keterangan lain yang lebih kuat menyatakan bahwa SDI lahir pada tanggal 16 Oktober 1905.[10] Oleh karena sifat SDI yang kemudian berubah menjadi SI yang menasional dan memiliki visi dan missi yang jelas, maka sejumlah kalangan menyatakan bahwa SDI lebih layak ditetapkan menjadi icon organisasi pelopor pergerakan nasional dibandingkan Boedi Oetomo.
Kontributor
http://hminews.com/news/boedi-utomo-lahir-dengan-semangat-jawa-yang-kuat/
http://susiyanto.wordpress.com/2008/05/08/budi-oetomo-icon-kebangkitan-bangsa-indonesia/
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !