Mulainya Pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948 dan dicap oleh rezim Orde Baru ikut mendalangi pemberontakan G30S pada tahun 1965. Namun tuduhan dalang PKI dalam pemberontakan tahun 1965 tidak pernah terbukti secara tuntas, dan masih dipertanyakan seberapa jauh kebenaran tuduhan bahwa pemberontakan itu didalangi PKI. Sumber luar memberikan fakta lain bahwa PKI tahun 1965 tidak terlibat, melainkan didalangi oleh Soeharto (dan CIA).
Hal ini masih diperdebatkan oleh golongan liberal, mantan anggota PKI dan beberapa orang yang lolos dari pembantaian anti PKI. Latar belakang sejarah Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda.(http://www.marxist.com/Asia/earlyPKI.html) Pada Oktober 1915 ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka).
Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia. Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Indonesia, "Soeara Merdika".
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti di Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun. ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah.
Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia. Pada 1919, ISDV hanya mempunyai 25 orang Belanda di antara anggotanya, dari jumlah keseluruhan kurang dari 400 orang anggota. Pembentukan Partai Komunis Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia.
Semaun diangkat sebagai ketua partai. PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberontakan 1926 Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua.(http://www.independent-bangladesh.com/news/may/20/20052005ed.htm) Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda.
Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah. Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI.(http://www.marxists.org/indonesia/indones/pkihist.htm) Setelah kemerdekaan: bangkit kembali Setelah pemerintahan Jepang menyerah kalah kepada Tentara Sekutu pada 1945, PKI muncul kembali di panggung politik Indonesia dan ikut serta secara aktif dalam perjuangan untuk merebut kemerdekaan nasional. Banyak satuan-satuan bersenjata yang berada di bawah kontrol ataupun pengaruh PKI.
Meskipun milisi-milisi PKI memainkan peranan penting dalam perlawanan terhadap Belanda, Soekarno khawatir bahwa semakin kuatnya pengaruh PKI akhirnya akan mengancam posisinya. Lain daripada itu, perkembangan PKI dirasakan sangat mengancam kelompok-kelompok kanan dalam dunia politik Indonesia, maupun Amerika Serikat. Peristiwa Madiun 1948 Pada Februari 1948 PKI dan unsur-unsur kiri dari Partai Sosialis Indonesia membentuk sebuah front bersama, yaitu Front Demokratis Rakjat. Front ini tidak bertahan lama, namun unsur-unsur kiri PSI kemudian bergabung dengan PKI. Pada saat ini milisi-milisi Pesindo berada di bawah kontrol PKI. Pada 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah mengembara selama 12 tahun di Uni Soviet.
Politk biro PKI dibentuk kembali, dengan pemimpinnya antara lain Dipa Nusantara Aidit, M.H. Lukman dan Njoto. Setelah penandatanganan Perjanjian Renville (1948), banyak satuan-satuan bersenjata republiken yang kembali dari daerah-daerah konflik. Hal ini memberikan rasa percaya diri di kalangan kelompok sayap kanan Indonesia bahwa mereka akan mampu menandingi PKI secara militer. Satuan-satuan gerilya dan milisi yang berada di bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri.
Di Madiun, sekelompok militer yang dipengaruhi PKI yang menolak perintah perlucutan senjata tersebut dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Pembunuhan ini menimbulkan pemberontakan bersenjata. Hal ini menimbulkan alasan untuk menekan PKI. Sumber-sumber militer menyatakan bahwa PKI telah memproklamasikan pembentukan “Republik Soviet Indonesia” pada 18 September 1948 dengan Musso sebagai presidennya dan Amir Sjarifuddin sebagai perdana menterinya.
Pada saat yang sama PKI menyatakan menolak pemberontakan itu dan menyerukan agar masyarakat tetap tenang. Pemberontakan ini ditindas oleh pasukan-pasukan republik, dan PKI kembali mengalami masa penindasan. Pada 30 September Madiun berhasil dikuasai oleh pasukan-pasukan Republik dari Divisi Siliwangi. Beribu-ribu kader partai dibunuh dan 36.000 orang dipenjarakan.
Di antara mereka yang dibunuh termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober dengan alasan bahwa ia berusaha melarikan diri dari penjara. Amir Sjarifuddin, tokoh Partai Sosialis Indonesia, pun dibunuh pada peristiwa berdarah ini. Aidit dan Lukman mengungsi ke Republik Rakyat Tiongkok. Namun PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Pada 1949 partai ini mulai dibangun kembali. Bangkit kembali Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah.
Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Adit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959.
[http://archive.workersliberty.org/wlmags/wl61/indonesi.htm]
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu. Pemilu 1955 Pada pemilu 1955, PKI menempati tempat keempat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Dewan Konstituante. Perlawanan terhadap kontrol Belanda atas Papua merupakan masalah yang seringkali diangkat oleh PKI selama tahun 1950-an.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di kota-kota. Pada September tahun yang sama, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang.[http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah09.shtml] Pada 3 Desember, serikat-serikat buruh, yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional. Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pro Amerika Serikat di kalangan militer dan politik sayap kanan.
Para pemberontak, yang berbasis di Sumatra dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Pemberontakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan. Pada 1959 militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI.
Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal, dan Presiden Soekarno sendiri menyampaikan sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom, yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.
Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada Maret 1960, PKI mengecam penanganan anggaran yang tidak demokratis oleh Soekarno. Pada 8 Juli 1960, Harian Rakjat memuat sebuah artikel yang kritis terhadap pemerintah. Para pemimpin PKI ditangkap oleh militer, namun kemudian dibebaskan kembali atas perintah Soekarno. Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan, seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia. Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah.
Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Britania dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaya, lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian, kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Kebanyakan dari satuan-satuan tempur PKI aktif di wilayah perbatasan di Kalimantan.
Pada Januari 1954, PKI mulai menyita hak milik Britania kepunyaan perusahaan-perusahaan Britania di Indonesia. Dengan alasan 'keterlibatan PKI dalam G30S', partai ini dilarang oleh Pangkopkamtib Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966, setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno. Setelah itu bermula sebuah sejarah hitam bangsa Indonesia di mana ribuan orang tak bersalah -- terutama di pulau Jawa dan Bali -- dibantai secara sia-sia karena dituduh komunis. Menurut beberapa sumber antara 500.000 jiwa sampai 2 juta jiwa tewas dibunuh. Ribuan lainnya mendekam di penjara atau dibuang ke pulau Buru. Sebuah upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi yang diprakarsai oleh (mantan) presiden Gus Dur, ketika ia masih menjabat sebagai presiden diprotes beberapa partai, terutama yang berlatar belakang agama di Indonesia. Usul rekonsiliasi oleh Gus Dur telah membuka kesempatan bagi orang-orang yang masih percaya pada ideologi berhaluan kiri untuk kembali aktif dalam politik Indonesia.
Diplomasi Sebelum Pemberontakan PKI 1948.
Pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948 dilancakan ketika Republik Indonesia sedang menghadapi ancaman Belanda yang ketika itu sudah bersiaga dengan kekuatan politik dan militernya untuk menduduki daerah Republik Indonesia yang masih tersisa di Jawa dan Sumatera.
Divisi-divisi Angkatan Darat Belanda dengan dibantu kekuatan udara dan lautnya telah digelar di dalam posisi siap siaga di sepanjang garis status-quo RI – Belanda. Kesatuan dan persatuan bangsa yang sangat diperlukan untuk menghadapi ancaman kembalinya penjajah ternyata mendapatkan ”tusukan sangkur” (stab in the back) oleh Partai Komunis Indonesia dari belakang.
Seperti diketahui, sampai pertengahan 1947 Belanda masih menempuh strategi diplomasi didalam usahanya menduduki kembali Indonesia. Pendekatan politik tersebut di tahun itu menelorkan Persetujuan Linggarjati, namun bersamaan dengan itu Belanda melakukan pembangunan kekuatan militernya yang akan dipergunakan apabila perundingan tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Persetujuan Linggarjati memang gagal dilaksanakan, kedua pihak saling tunjuk tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Belanda segera saja menempuh opsi militer untuk memaksakan kemauannya atas persoalannya dengan Indonesia. Aksi militer yang disebutnya sebagai Aksi Polisionil dilancarkan pada tanggal 21 Juli 1947. Tiga Divisi Belanda menyerang posisi-posisi Republik Indonesia dengan keunggulan militer dan mobilitas yang tinggi baik di darat maupun di laut dan udara.
Menerapkan ”Speerpunten Strategie”, stategi ujung tombak. Belanda berhasil menembus pertahanan TNI, di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah maupun di daerah Sumatera. Gerakan ofensif bersandi: ”Operatie Product” dengan cepatnya merebut dan menguasai wilayah yang luas, terutama daerah-daerah Republik Indonesia yang mempunyai arti ekonomis yang penting di Jawa dan Sumatera. Pasukan-pasukan TNI terutama di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur bertahan secara ”Liniair Konvensional” tidak mempunyai daya untuk menahan gerak serangan musuh yang berdaya gerak tinggi. TNI yang langka persenjataan dan peralatan ini menghindarkan diri dari upaya penghancuran oleh musuh dan mengundurkan diri secara naluriah ke daerah-daerah yang telah dipersiapkan sebagai pangkalan-pangkalan perlawanan, (Wehrkreise) yakni daerah asal kesatuan.
Di situ meraka melakukan konsolidasi menggelar diri di dalam posisi perang gerilya. Agresi Belanda dihentikan setelah Perserikatan Bangsa Bangsa turun tangan. Dewan Keamanan pada tanggal 4 Agustus 1947 menyerukan penghentian tembak menembak (Cease Fire), namun tak ayal salah satu Batalyon penyerang depannya, yakni Batalyon Inf-V (Anjing Nica)/Brigade W/Divisi B Belanda telah berhasil mencapai kota Gombong hanya selemparan batu dari Ibu Kota Republik Indonesia Yogyakarta.
Posisi ini dipakai Belanda secara sepihak untuk menoreh garis Status Quo yang baru. Garis SQ yang baru ini, pada 23 Agustus 1947 yang memisahkan daerah pendudukan Belanda dengan wilayah RI yang semakin sempit terutama di pulau Jawa dinamakan garis ”Van Mook”. Dalam pada itu walaupun telah dipatok dengan garis Van Mook ini, perlawanan gerilya TNI di dalam skala dan area yang lebih luas terus berlanjut. Ini ditopang oleh ”Wehrkreise-Wehrkreise” yang dibentuk sebagai pangkal perlawanan terpadu antara pemerintah RI tingkat kecamatan/desa, rakyat dan tentara. Perang gerilya TNI ini berhasil membuntukan gerak ofensif Belanda.
Januari 1948, perjuangan mempertahanan kemerdekaan Republik Indonesia memasuki tahun ketiga, merupakan tahun yang terberat di dalam perjuangan mempertahankan Republik Proklamasi. Atas upaya Komisi Tiga Negara (KTN), Republik Indonesia dan Belanda dipertemukan kembali di meja perundingan, di suatu tempat yang netral, ialah di atas kapal US Navy Ship ”Renville”. Perundingan menghasilkan Persetujuan Renville. Tetapi kembali, Republik Indonesia harus menelan kekalahan, karena salah satu butir penting persetujuan itu adalah pengakuan secara de-facto garis demarkasi Van Mook. Pengakuan resmi de-facto batas wilayah Republik Indonesia – Belanda menimbulkan konsekwensi, pasukan-pasukan TNI yang masih bertahan di daerah-daerah yang telah didudukinya, harus dipindahkan dari daerah Belanda ke daerah Republik Indonesia. Mentaati keputusan pemerintah ini, pasukan TNI, antara lain Divisi Siliwangi di Jawa Barat, (yang sebenarnya belum dikalahkan oleh Divisi C ”7 December”- Belanda) berkekuatan kurang lebih 35.000. orang, harus pindah ke wilayah Republik Indonesia yang semakin sempit di Jawa Tengah. Kedatangan pasukan-pasukan Hijrah dari Jawa Barat dan Jawa Timur dan mengalirnya ribuan pengungsi ke wilayah RI menambah beban yang sangat berat, apalagi Belanda melakukan blokade laut yang sangat ketat.
Kekalahan lain bagi Republik Indonesia adalah bahwa sesuai dengan persetujuan Rencille, di daerah-daerah yang diduduki Belanda disepakati untuk diselenggarakan plebisit, agar penduduk dapat memilih secara bebas, ingin kembali menjadi daerah Republik atau menjadi bahagian dari Negara Indonesia Serikat (sesuai dengan Persetujuan Linggarjati). Plebisit ternyata tidak pernah diadakan oleh Belanda. Persetujuan Renville ternyata tidak menghasilkan penyelesaian adil atas permasalahan Republik Indonesia dan Belanda. Terjadilah satu perkembangan keadaan damai yang semu, ”State Uneasy Peace” antara Republik Indonesia dan Belanda.
Di wilayah Republik Indonesia juga semakin dicemaskan oleh perkembangan politik dalam negeri. Setelah persetujuan Renville ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1948 itu, terjadi krisis kabinet ”Sayap Kiri” Amir Syarifudin. Masyumi dan PNI menarik para menterinya dengan menyatakan : ”Menolak Persetujuan Renville” dan menganggap bahwa Kabinet Amir Syarifudin tidak mampu lagi meneruskan tugasnya”. Kekuatan sayap kiri mengadakan demonstrasi besar-besaran membela perdana menterinya. Untuk mengatasi kegawatan politik itu, Presiden Soekarno pada tanggal 23 Januari 1948, membubarkan Kabinet Amir Syarifudin. Wakil Presiden Mohammad Hatta ditugaskan untuk membentuk kabinet baru.
Perdana Menteri Hatta tidak berhasil membentuk kabinet koalisi yang menyertakan kekuatan sayap kiri, karena tuntutan-tuntutan politik sayap kiri terlalu besar. Sayap kiri kemudian menjadi kekuatan oposisi. Pada Bulan Februari 1948, sayap kiri membubarkan diri, dan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Amir Syarifudin dipilih menjadi ketuanya. Seperti halnya sayap kiri dahulu, kaum komunis mendominasi FDR ini. Untuk lebih mengarahkan garis perjuangannya yang lebih agresif dan revolusioner. FDR menetapkan sikap antara lain : ”Menuntut dibatalkannya persetujuan Renville, perundingan-perundinagn dihentikan sampai Belanda menarik diri secara keseluruhan dari Indonesia, membubarkan Kabinet Presidentiil Hatta dan dibentuknya Kabinet Parlementer dimana diikutsertakan wakil-wakil dari FDR untuk menduduki posisi-posisi penting”. Dibayangi ancaman serangan Belanda dan menghadapi politik di dalam negeri yang berat di tahun 1948 itu, Angkatan Perang RI (dan pegawai negeri) melakukan Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa).
Kebijakan yang digariskan oleh Kabinet Hatta adalah menyusun suatu tentara yang lebih efisien dan berada dibawah satu komando, dan menjadikannya alat negara yang tangguh dan kebal terhadap agitasi politik dari luar. Hatta ingin memotong garis politik kelompok FDR. Rekonstruksi Angkatan Perang ini berhasil memperkecil jumlah Divisi TNI, dari tujuh menjadi empat yang mempunyai mutu dan daya tempur yang lebih baik. Dengan ReRa ini pula, maka TNI – Masyarakat yang dibangun oleh Amir Syarifudin ketika ia masih menjabat Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri, dibubarkan. Ini merupakan pukulan yang berat bagi FDR. TNI – Masyarakat ini sebenarnya merupakan tandingan bagi TNI yang semula hanya merupakan suatu Biro Perjuangan di Kementerian Pertahanan.
Biro ini dan TNI – Masyarakatnya didominasi oleh perwira-perwira yang berhaluan komunis. Kesatuan-kesatuan bersenjata yang dipengaruhinya dan sempat dilengkapi dengan persenjataan yang terbaik ini diharapkan menjadi andalan bagi kekuatan politik sayap kiri itu. Setelah dibubarkan pada tanggal 29 Mei 1948, kesatuan eks TNI – Masyarakat dilebur kedalam Divisi-Divisi TNI, pada Kesatuan Reserve Umum (KRU), sebagai kekuatan cadangan strategis RI. Struktur ini sebelum ReRa belum pernah ada di TNI dan berada langsung di bawah komando Panglima Besar. Divisi Siliwangi tidak digelar di gari-gari depan menghadapi Belanda, tetapi dimasukkan di bawah struktur Kesatuan Reserve Umum.
Rekonstruksi juga diadakan dengan peran strategis TNI untuk menghadapi agresi militer Belanda. Strateginya telah diubah, tidak lagi menggunakan konsep perang yang lama. Ketidakmampuan TNI menahan serangan Belanda yang serba unggul dengan cara konvensional merupakan pengalaman yang amat pahit. Dengan konsep perang yang baru, serangan musuh tidak akan lagi dihadapi langsung secara mati-matian (at all cost). Sudah diperhitungkan bahwa keunggulan taktik dan teknik militer Belanda lebih menentukan. Perlawanan awal TNI dilakukan sebagai penghambat guna memberi peluang induk kekuatan TNI dan unsur-unsur pemerintah melakukan persiapan di daerah perlawanan – wehrkreise untuk melancarkan perang wilayah. Akan digelar perang gerilya semesta diseluruh pulau Jawa dan di wilayah yang luas di Sumatera untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Divisi Siliwangi seperti juga pasukan –pasukan hijrah lainnya ditugaskan untuk melakukan aksi ”Wingate”, bergerak melancarkan infiltrasi jarak jauh kembali ke daerah juang asalnya, untuk berperang gerilya bersama dengan rakyat.
Pada tanggal 1 Agustus 1948 seorang tokoh komunis Indonesia Muso pulang dari Moskow. Dia datang sebagai “sekretaris” dari Suripno, utusan Republik Indonesia dari Praha, Chekoslovakia. Di dalam pertemuan yang diadakan dengan Presiden Soekarno, pada tanggal 13 Agustus 1948, ketika kepadanya diminta untuk membantu memperkuat negara dan melancarkan revolusi, Muso menjawab dengan singkat: (didalam bahasa Belanda ”Ik kom hier om de orde te scheppen.”) – ”Saya datang kesini untuk menertibkan keadaan”. Kemudian ternyata, menertibkan keadaan dilakukannya untuk kepentingan FDR/PKI. Maksud kedatangannya kembali ke Indonesia tidak dapat diketahui perintah-perintah, instruksi-instruksi atau kekuasaan apa yang dibawa dari Moskow. Namun kemudian terungkap bahwa kedatangannya membawa ”garis komunis internasional ortodoks”, ialah garis keras Zhadanov. Bagi gerakan komunis di Indonesia, kedatangan Muso kembali mempunyai arti politis yang amat penting.
Di tahun 1947, gerakan komunis internasional (Komintern) kembali menempuh garis keras. Garis lunak Dimitrov yang dilakoni sejak 1935 yaitu bekerja sama dengan kapitalis untuk melawan fasisme sudah menjadi basi. Komintern diubah namanya menjadi Kominform (Komunis Reformasi). Angin perubahan dari Moskow ini rupanya yang membawa Muso ke Indonesia. Ia ingin merombak organisasi yang dinilainya kurang revolusioner dan radikal. Di dalam konferensi PKI yang diadakan 26 – 27 Agustus 1948, ia mengungkapkan garis Kominform yang telah berubah seraya mengajukan rencana-rencana baru yang dituangkannya di dalam thesisnya : ”Jalan Baru Untuk Republik Indonesia” Reformasi sosial yang dianjurkan tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dicanangkan oleh FDR. Platform baru dari Muso adalah : ”Harusnya perjuangan anti imperialis Indonesia bersatu dengan Soviet Unie yang mempelopori perjuangan melawan blok imperialis pimpinan Amerika Serikat”. Ia juga mendesak agar PKI sebagai Partai Buruh yang terbesar memegang pimpinan di dalam revolusi nasional. Pada tanggal 31 Agustus 1948 Muso – PKI berhasil membuat perubahan yang drastis. FDR dibubarkan, lalu Partai Buruh dan Partai Sosialis berfusi ke dalam PKI. Polit Biro yang baru disusun, dimana Muso menjadi salah satu sekretaris jenderalnya. PKI yang semula berjumlah 3.000. orang, menjadi partai besar dengan keanggotaannya menjadi 30.000. orang.
Organisasi-organisasi masa PKI kemudian merencanakan mengadakan kongres koreksi dan merancang trace baru, trace garis keras. Tanggal 13 September pecah peristiwa Solo, yakni ”tawuran” antara pasukan TNI/Kesatuan Reserve Umum dengan pasukan TNI dari Komando Pertempuran Panembahan Senopati yang telah diinfiltrasi oleh FDR/PKI. Di dalam rencana FDR/PKI yang tertuang di dalam dokumen ”Menginjak Perjuangan Militer Baru”, kota Solo hendak dijadikannya sebagai daerah ”Wild West”, untuk menyesatkan perhatian atas rencana militer besar yang sebenarnya. Tetapi provokasi PKI di Solo ini dapat diatasi oleh pasukan-pasukan yang setia kepada pemerintah. Seminggu kemudian, 18 September 1948 pagi hari, Soemarsono selaku Gubernur Militer (PKI) dan atas nama pemerintah Front Nasional setempat, menyatakan PKI tidak terikat lagi kepada Republik Indonesia pimpinan Soekarno – Hatta, memaklumkan pemerintah Front Nasional. Kekuatan militer yang dipergunakan PKI untuk mempertahankan proklamasinya adalah kesatuan-kesatuan Pesindo Brigade XXIX pimpinan Kolonel Dachlan. Mereka bersenjata lengkap, tangguh, berpengalaman tempur.
Dari Madiun PKI menghunus pedang, menabuh genderang perang menentang Republik Indonesia dari Yogyakarta. Pada tanggal 19 September jam 22.00. malam, Presiden Soekarno berpidato keras antara lain : ..............”Kemarin pagi Muso telah mengadakan coup, dan mendirikan di sana suatu pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Muso. Perampasan kekuasaan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh pemerintahan RI. Ternyata dengan ini, peristiwa Solo dan Madiun itu tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan adalah suatu rantai tindakan untuk merobohkan pemerintahan Republik Indonesia” ..............”Bantulah pemerintah, bantulah alat-alat pemerintah dengan sepenuh tenaga, untuk memberantas semua bentuk pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang syah di daerah yang bersangkutan. Rebut kembali Madiun, Madiun harus segera di tangan kita kembali”............. Pada tanggal 20 September 1948 diadakanlah sidang Dewan Siasat Militer yang dipimpin oleh PM/Menteri Pertahanan Hatta. Ia memperhitungkan, ”apabila tidak diadakan tindakan cepat untuk menumpas pemberontakan PKI ini, Belanda akan melakukan intervensi.
Angkatan Perang harus melakukan gerakan operasi-operasi penumpasan secepatnya untuk merebut Madiun kembali, yang akan berarti pokok kemenangan kita”. Kolonel A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Operasi MBAP menyanggupi untuk merebut kembali Madiun dalam waktu dua minggu. Tantangan lain yang masih harus dihadapi Republik Indonesia pada September 1948 itu adalah ancaman agresi militer Belanda yang semakin nyata. Perundingan-perundingan diplomatik yang diadakan sesuai ”Renville” tidak berjalan lancar. Letnan Jenderal Spoor Panglima Tentara Belanda yang meragukan penyelesaian sengketa Indonesia – Belanda melalui perundingan, sejak bulan Februari telah merencanakan operasi militernya dan menyiagakan kekuatan tempurnya yang sewaktu-waktu dapat digerakan untuk menuntaskan masalah secara militer ”once and for all”.
Rencana strategi ujung tombak (speerpunten-strategie) yang dinilainya berhasil memenangkan agresi militernya yang pertama disiapkan lagi, kali ini diberi sandi : ”Operatie Kraai”. Kekacauan yang terjadi di wilayah RI, adanya pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948 itu dinilainya sebagai suatu ”Strategic opportunity”, suatu peluang strategis yang menguntungkan bagi Belanda untuk melancarkan suatu : ”full-fledged military operation”, operasi militer besar sambil memadamkan pemberontakan komunis sekalian menamatkan riwayat RI.
Apabila di Yogyakarta tanggal 20 September diadakan sidang Dewan Siasat Militer dibawah pimpinan PM Hatta untuk secepat mungkin menumpas pemberontakan PKI/Muso maka tanggal yang sama di Jakarta diadakan perundingan para pemimpin politik dan militer Belanda, dibawah pimpinan Wakil Wali Negara Abdulkadir Widjojoatmodjo. Usul Jenderal Spoor untuk menggunakan kesempatan ini guna mempercepat agresi militer, disetujui secara bulat. Diputuskan oleh sidang agar Abdulkadir minta izin kepada Pemerintah Pusat Belanda, agar diberi kuasa untuk segera bertindak, melancarkan ”Operasi Kraai”.
Ternyata Belanda urung melancarkan operasi militernya. Kegagalan ini bukan disebabkan karena Kabinet Belanda tidak merestui, melainkan karena kalah adu cepat dengan gerakan operasi TNI. Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta menyiarkan Brigade II Siliwangi/Kesatuan Reserve Umum, dipimpin Letnan Kolonel Sadikin tanggal 30 September 1948 jam 16.00 petang telah membebaskan Madiun. Ini berarti kurang dari dua mingu dari rencana operasi yang bergerak 21 September 1948. Tidak selang lama di Madiun bergabung pula Brigade S pimpinan Letkol Surahmat dari KPDT, (Komando Tempur Jawa Timur) yang bergerak dari arah timur. Operasi militer selanjutnya membebaskan kabupaten-kabupaten yang dikuasai PKI, yaitu Ponorogo, Magetan, Pacitan (masih wilayah karesidenan Madiun). Pada akhir bulan Nofember 1948, seluruh operasi penumpasan pemberontakan PKI termasuk daerah-daerah sebelah utara Surakarta yaitu Purwodadi, Cepu, Blora, Pati, Kudus dan lain-lain dinyatakan selesai.
Gerakan makar PKI dipadamkan dalam tempo 65 hari. TNI melaksanakan konsolidasi, mempersiapkan diri kembali untuk menghadapi tugas pokok terpenting, menghadapi agresi Belanda yang berada diambang pintu. Reorganisasi dan rekonstruksi diteruskan. Kesatuan Reserve Umum dibubarkan, tiga Brigade Siliwangi yang semula berada di bawah komando taktisnya, dikembalikan ke komando Divisi Siliwangi. Semua Divisi di Jawa, yakni Divisi I/Jawa Timur, Divisi II/Jawa Tengah bagian timur, Divisi III/Jawa Tengah bagian barat, dan ivisi IV/Jawa Barat, termasuk Banten berada dibawah Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dengan panglimanya (PTTD, Panglima Tentara dan Teritorium Djawa) Kolonel A,H. Nasution, sedangkan Divisi-Divisi di Sumatera berada dibawah Markas Besar Komando Sumatera (MBKS) dengan panglimanya, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera (PTTS) Kolonel Hidayat Martaatmadja.
Tercatat dalam sejarah, bahwa TNI tidak punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi dan mempersiapkan diri menghadapi tugas pokok selanjutnya, ialah menghadapi agresi militer Belanda. Tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi militernya, kali ini serangan kilat ditujukan langsung ke Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Dalam waktu yang singkat Belanda juga menduduki kota-kota penting yang masih tersisa di wilayah Republik Indonesia. Belanda berhasil menawan pimpinan-pimpinan politik RI, tetapi tidak berhasil menangkap pimpinan TNI.
TNI tetap utuh dan tidak bisa dihancurkan, karena pasukan-pasukan TNI begitu terjadi serangan Belanda, segera menyebar di daerah-daerah pengunduran yang luas (sesuai dengan rencana strategi pertahanan yang telah ditetapkan di dalam Perintah Siasat No.1, Panglima Besar Angkatan Perang). Belanda memaksa TNI melakukan perlawanan gerilya, suatu cara peperangan yang sangat sesuai bagi TNI. Apabila Belanda melancarkan strategi perangnya untuk menghancurkan, dengan tujuan untuk meniadakan/memusnahkan Republik Indonesia, yang didalam istilah Carl Von Clausewitz (Niederwerfungsstrategie), maka ia dihadapi oleh Republik Indonesia dan TNI-nya dengan peperangan gerilya/perang rakyat, dan apabila perlu berjangka waktu lama sepanjang masa, yang menurut teori Hans Delbruck disebut sebagai ”Ermattungskrieg”. TNI berhasil untuk menghindarkan diri dari upaya penghancuran mesin perang Belanda, dan berhasil pula menggelar diri di dalam posisi gerilya di seluruh pulau Jawa, dari Banten sampai Banyuwangi. Republik Indonesia berhasil untuk menghadapi dua ancaman sekaligus, dengan perjuangan yang sangat berat, kesatu adalah tusukan pemberontakan PKI dari belakang, dan menghadapi agresi Belanda dengan lebih efektif pada tahun 1948.
Peristiwa sebelum pemberontakan PKI 1948
Pemberontakan 1926
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI.
KONSPIRASI POLITIK KAUM KOLONIALIS IMPERIALIS MELIKUIDASI RI oleh LPR-KROB, LPKP 65
PERISTIWA MADIUN 1948, Pakorba
Pada tanggal 29 Januari 1948 Kabinet Hatta dibentuk dengan programnya:Melaksanakan hasil persetujuan Renville. Mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat (berserikat juga dengan Belanda) Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang RI (RERA) Pembangunan.Pemerintahan Hatta inilah yang dinilai oleh kaum kiri sebagai pemerintahan yang paling tunduk dan akan menyerahkan kedaulatan RI kepada Belanda, sehingga timbul ketidakpuasan yang luas terutama karena ada rencana dari Hatta untuk merasionalisasi TNI kemudian membentuk tentara federal bekerjasama dengan Belanda.- Mulai bulan Februari 1948 Kolonel A.H. Nasution bersama Divisi Siliwangi hijrah dari Jawa Barat menuju Yogyakarta sebagai pelaksanaan dari perjanjian Renville kemudian ditempatkan tersebar di wilayah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur khususnya di daerah yang kekuatan kaum kirinya cukup kuat seperti di Solo dan Madiun yang dimaksudkan untuk persiapan membersihkan kaum kiri tersebut.
Pasukan Siliwangi tersebut segera menjadi pasukan elite pemerintah Hatta dengan kelengkapan tempur yang lebih baik sehingga timbul iri hati pada pasukan di luar Divisi Siliwangi.- Pada bulan April 1948 terjadi demonstrasi terutama dari pelajar di Jawa Timur menentang Rasionalisasi dan Rekonstruksi.- Pada bulan Mei 1948 di Solo tentara Divisi Panembahan Senopati melakukan demonstrasi menentang RERA.- Pada tanggal 2 Juli 1948 komandan Divisi Panembahan Senopati Kolonel Sutarto dibunuh oleh tembakan senjata api orang tak dikenal, kemudian diikuti dengan penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa orang kiri antara lain Slamet Widjaya dan Pardio serta beberapa perwira dari Divisi Panembahan Senopati a.l. Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Suradi, Kapten Supardi dan Kapten Mudjono diduga kuat dilakukan oleh Divisi Siliwangi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan Hatta, walaupun kemudian pembunuh Kolonel Sutarto ditangkap tetapi pemerintah tidak mengadilinya bahkan oleh Jaksa Agung ketika itu malahan dibebaskan dengan alasan tidak dapat dituntut secara hukum (yuridisch staatsrechtelijk).- Penculikan dan pembunuhan ini terus berlanjut terhadap orang-orang kiri maupun anggota Divisi Panembahan Senopati sehingga menimbulkan keresahan dan suasana saling curiga-mencurigai dan ketegangan tinggi.
Pada tanggal 21 Juli 1948 diadakan pertemuan rahasia di Sarangan Jawa Timur antara Amerika Serikat yang diwakili oleh Gerard Hopkins (penasihat urusan politik luar negeri) dan Merle Cochran (Wakil AS di Komisi Jasa-Jasa Baik PBB) dengan 5 orang Indonesia yaitu: Wakil Presiden Moh. Hatta, Natsir, Sukiman, R.S. Sukamto (Kapolri) dan Mohammad Rum yang menghasilkan rencana kompromi berupa likuidasi bidang ekonomi, politik luar negeri, UUD 45 dan juga Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) di bidang Angkatan Perang dengan menyingkirkan orang-orang (pasukan) yang dicap sebagai golongan kiri/merah, dan ini terkenal dengan Red Drive Proposal atau usulan pembasmian kaum kiri.- Pada tanggal 13 September 1948 terjadilah pertempuran antara Divisi Panembahan Senopati dibantu ALRI melawan Divisi Siliwangi yang diperkuat pasukan-pasukan lain yang didatangkan ke Solo oleh pemerintah Hatta.- Pada tanggal 15 September 1948 dilakukan gencatan senjata yang disaksikan juga oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, petinggi-petinggi militer RI dan juga Residen Sudiro. Divisi Panembahan Senopati mentaati gencatan sejata namun lawan terus melakukan aksi-aksi yang agresif dan destruktif.- Sementara itu sebagian anggota Politbiro CC PKI yang tinggal di Yogyakarta memutuskan untuk berusaha keras agar pertempuran di Solo dilokalisasi dan mengutus Suripno untuk menyampaikan hal tersebut kepada Muso, Amir Syarifudin dan lain-lain yang sedang keliling Jawa.
Rombongan Muso menyetujui putusan tersebut. Jadi dalam hal ini kebijaksanaan PKI sesuai atau sejalan dan menunjang kebijakan Panglima Besar Jenderal Soedirman.- Sementara itu penculikan-penculikan dan pembunuhan terhadap orang-orang dan personil militer golongan kiri semakin mengganas dengan puncaknya pada tanggal 16 September 1948 markas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Jalan Singosaren Solo diserbu dan diduduki oleh kaki tangan Hatta (Siliwangi) sehingga pertempuran Solo semakin menghebat.
Aksi pembersihan orang-orang kiri ini tidak hanya terjadi di Solo tetapi meluas ke Madiun dan daerah lainnya dan hasil RERA ini TNI yang tadinya berkekuatan 400.000 hanya tinggal 57.000. Sementara itu ancaman Belanda masih di depan mata terbukti kemudian dengan Agresi Militer Belanda ke II.
Oleh pemerintah Hatta didatangkanlah ke Madiun pasukan-pasukan Siliwangi yang langsung menduduki beberapa pabrik gula, mengadakan latihan-latihan militer serta menindas para buruh pabrik gula dengan membunuh seorang anggota Serikat Buruh Gula bernama Wiro Sudarmo serta melakukan pemukulan-pemukulan dan intimidasi terhadap para buruh. Penempatan pasukan ini tidak dilaporkan kepada komandan Teritorial Militer setempat sehingga menimbulkan ketegangan dan kemudian kesatuan militer setempat yaitu Brigade 29 atas persetujuan Komandan Teritorial Militer setempat bergerak melucuti pasukan Siliwangi.- Dalam keadaan panas, kacau dan tak terkendali itu, karena Residen Madiun tidak ada di tempat dan Walikota sakit, maka pada tanggal 19 September 1948 Front Demokrasi Rakyat (FDR) mengambil prakarsa untuk mengangkat Wakil Walikota Madiun Supardi sebagai pejabat residen sementara dan pengangkatan ini telah disetujui baik oleh pembesar-pembesar sipil maupun militer dan dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta serta dimintakan petunjuk lebih lanjut. Peristiwa inilah yang mengawali apa yang disebut sebagai “Peristiwa Madiun”.
Pada tanggal 19 September 1948 malam hari pemerintah Hatta menuduh telah terjadi “Pemberontakan PKI” sehingga dikerahkanlah kekuatan bersenjata oleh Hatta untuk menumpas dan menimbulkan konflik horisontal dengan korban ribuan orang terbunuh, baik golongan kiri, tentara maupun rakyat golongan lain.- Pada tanggal 14 Desember 1948 sebelas orang pemimpin dan anggota PKI dibunuh di Dukuh Ngalihan Kelurahan Halung Kabupaten Karanganyar Karesidenan Surakarta pada jam 23.30 yaitu: 1. Amir Syarifudin, 2. Suripno, 3. Maruto Darusman, 4. Sarjono, 5. Dokosuyono, 6. Oei Gee Hwat, 7. Haryono, 8. Katamhadi, 9. Sukarno, 10. Ronomarsono, 11. D. Mangku. Sementara itu lebih kurang 36.000 aktivis revolusioner lainnya ditangkap dimasukkan dalam penjara dan sebagian dibunuh tanpa proses hukum a.l. di penjara Magelang 31 anggota dan simpatisan PKI, di Kediri berpuluh-puluh orang termasuk Dr. Rustam, anggota Fraksi PKI dan BP KNIP, di Pati antara lain Dr. Wiroreno dan banyak lagi yang lainnya.
Berdasarkan fakta pada saat Amir Syarifudin menjadi Perdana Menteri dan memimpin pemerintahan, karena dikhianati dalam Perjanjian Renville maka secara kesatria dan demokratis menyerahkan kembali mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno, sehingga sangat naif menuduhnya bersama golongan kiri melakukan pemberontakan dan membentuk pemerintahan Soviet-Madiun.- Amir Syarifudin bekas Perdana Menteri Republik Indonesia yang juga berada di kota itu (Madiun) telah membantah segala sesuatu yang disiarkan dari Yogyakarta pada masa itu. Penjelasannya melalui radio, “Undang-Undang Dasar kami adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, bendera kami adalah Merah Putih dan lagu kebangsaan tidak lain dari Indonesia Raya”, seperti disiarkan pada tanggal 20 September 1948 oleh Aneta, kantor berita Belanda di Indonesia.- Bahwa kolaborasi antara pemerintah Hatta dengan pihak kolonialis Belanda maupun imperialis Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya telah berhasil memecah belah persatuan dan kesatuan serta membelokkan jalannya revolusi Indonesia.
Pada tanggal 19 Desember 1948 itu pula Belanda menyerbu dan menduduki Yogyakarta dengan perlengkapan perang bantuan Amerika, hal itu terjadi setelah politik Red Drive Proposal sukses dilaksanakan oleh pemerintah Hatta demi tercapainnya persetujuan Roem-Royen yang merugikan RI yang dilanjukan dengan terselenggaranya Konferensi Meja Bunda (KMB) yang dimulai pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949, dan kemudian lahirlah Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan konstitusi RIS-nya dan hasil yang sangat merugikan Indonesia a.l. Irian Barat masih di tangan Belanda dan hutang Hindia Belanda sebesar US$1,13 milliar menjadi tanggungan RI (hutang ini antara lain adalah biaya untuk memerangi RI), juga terjadi penurunan pangkat dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) bila menjadi APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).
Pada tahun 1954, meskipun sudah kadaluwarsa, Aidit dihadapkan pada pengadilan di Jakarta mengenai Peristiwa Madiun. Dalam hal ini PKI dituduh mengadakan kudeta. Dasarnya adalah pidato Hatta yang menyatakan entah benar entah tidak bahwa PKI mendirikan negara Soviet di Madiun dengan mengangkat wakil walikota Supardi jadi Residen sementara untuk mengisi kekosongan.
Ini dianggap melanggar KUHP pasal 310 dan pasal 311. Dalam persidangan Aidit, diminta agar Moh. Hatta tampil sebagai saksi. Jaksa menyatakan keberatan atas pembuktian yang akan diajukan oleh Aidit, maka jaksa harus mencabut tuduhan pasal-pasal tersebut di atas. Pada akhirnya keberatan jaksa dan tuduhan terhadap Aidit melanggar pasal 310 dan pasal 311 KUHP dicabut. Karenanya Aidit tak dapat dituntut dan bebas tanpa syarat.Kesimpulan dari peristiwa Madiun : Pihak imperialis kolonialis pimpinan Amerika Serikat dalam menerapkan politik pembersihan kaum kiri (Red Drive Proposal) di Indonesia sebagai bagian makro politiknya untuk membendung komunisme, telah mempengaruhi pemerintah Hatta agar mau membersihkan orang-orang kiri (komunisme) dari pemerintahan, terutama dari Angkatan Perang sebagai salah satu syarat mutlak pengakuan negara Republik Indonesia oleh dunia internasional (pihak barat).
Pemerintah Hatta menerima dan melaksanakan tawaran tersebut antara lain dengan membuat program Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) di lingkungan angkatan perang yang kemudian menimbulkan gelombang penolakan yang luas. Untuk meredam penolakan tersebut dilakukan upaya-upaya yang sistematis, antara lain dengan melakukan teror berupa pembunuhan, penculikan, penahanan, dan intimidasi lainnya terutama kepada kaum kiri, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Solo. Peristiwa Madiun sama sekali bukanlah pemberontakan PKI apalagi fitnah bahwa PKI telah mendirikan Negara Soviet Madiun, tetapi merupakan rekayasa jahat pemerintah Hatta guna mendapatkan momen (kondisi dan situasi) yang tepat untuk dapat digunakan sebagai dalih (dasar) untuk menyingkirkan (membasmi) golongan kiri dari pemerintahan maupun angkatan perang, yang kemudian mendapat perlawanan dari rakyat yang konsekuen anti kolonialis/imperialis.
Peristiwa pemberontakan PKI 1948
Pada Februari 1948 PKI dan unsur-unsur kiri dari Partai Sosialis Indonesia membentuk sebuah front bersama, yaitu Front Demokratis Rakjat. Front ini tidak bertahan lama, namun unsur-unsur kiri Psi kemudian bergabung dengan PKI. Pada saat ini milisi-milisi Pesindo berada di bawah kontrol PKI.
Pada 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah mengembara selama 12 tahun di Uni Soviet. Politbiro PKI dibentuk kembali, dengan pemimpinnya antara lain Dipa Nusantara Aidit, M.H. Lukman dan Njoto.
Setelah penandatanganan Perjanjian Renville (1948), banyak satuan-satuan bersenjata republiken yang kembali dari daerah-daerah konflik. Hal ini memberikan rasa percaya diri di kalangan kelompok sayap kanan Indonesia bahwa mereka akan mampu menandingi PKI secara militer. Satuan-satuan gerilya dan milisi yang berada di bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri. Di Madiun, sekelompok militer yang dipengaruhi PKI yang menolak perintah perlucutan senjata tersebut dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Pembunuhan ini menimbulkan pemberontakan bersenjata.
Hal ini menimbulkan alasan untuk menekan PKI. Sumber-sumber militer menyatakan bahwa PKI telah memproklamasikan pembentukan “Republik Soviet Indonesia” pada 18 September 1948 dengan Musso sebagai presidennya dan Amir Sjarifuddin sebagai perdana menterinya. Pada saat yang sama PKI menyatakan menolak pemberontakan itu dan menyerukan agar masyarakat tetap tenang. Pemberontakan ini ditindas oleh pasukan-pasukan republik, dan PKI kembali mengalami masa penindasan. Pada 30 September Madiun berhasil dikuasai oleh pasukan-pasukan Republik dari Divisi Siliwangi. Beribu-ribu kader partai dibunuh dan 36.000 orang dipenjarakan. Di antara mereka yang dibunuh termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober dengan alasan bahwa ia berusaha melarikan diri dari penjara. Amir Sjarifuddin, tokoh Partai Sosialis Indonesia, pun dibunuh pada peristiwa berdarah ini. Aidit dan Lukman mengungsi ke Republik Rakyat Tiongkok. Namun PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Pada 1949 partai ini mulai dibangun kembali.
Peristiwa di balik Pemberontakan PKI.
Tak dapat dipungkiri, musuh utama PKI adalah umat Islam, terutama para kyainya. Kyai dianggap sebagai musuh karena memiliki ribuan pengikut (jamaah) yang setia.
Salah satu unsur umat Islam yang juga paling dibenci PKI adalah Masyumi. Hal ini diungkapkan oleh KH Roqib, salah seorang korban kebiadaban PKI Madiun 1948 yang masih hidup. Kini KH Roqib adalah imam besar Masjid Jami’ Baitussalam Magetan.
Sebagai salah seorang kyai yang juga tokoh Masyumi, Roqib pun menjadi sasaran yang harus dilenyapkan. Dia diculik PKI sekitar pukul 03.00 dini hari pada tanggal 18 September 1948, tak lama setelah PKI merebut kota Madiun. Sebanyak 12 orang anggota PKI berpakaian hitam dengan ikat kepala merah menciduk Roqib di rumah kediamannya di kampung Kauman, Magetan. Dini hari itu juga dia dibawa ke Desa Waringin Agung dan disekap di sebuah rumah warga.
Di sebuah dusun bernama Dadapan yang termasuk dalam wilayah Desa Bangsri Roqib diseret oleh beberapa orang ke sebuah lubang di tengah ladang. Ketika akan disembelih di depan lubang, tiba-tiba Rokib mengingat pelajaran pencak silat yang diperolehnya. Seketika itu dia menghentakkan kakinya dan meloncat lari ke kebun singkong.
Begitu lolos, Rokib bersembunyi diantara rerimbunan semak belukar hingga siang hari. Naas, siang itu pula dia ditemukan kembali oleh anggota PKI yang mengejarnya. Rokib pun tertangkap dan diikat lagi, lalu disiksa sepanjang jalan dari Desa Bangsri hingga pabrik gula Gorang-gareng.
Di pabrik gula Gorang-gareng, Rokib disekap dalam sebuah loji (rumah-rumah besar untuk asrama karyawan). Di dalam loji terdapat banyak kamar dengan berbagai ukuran.
“Ketika saya datang ke loji itu, kamar-kamarnya sudah penuh dengan tawanan. Satu kamar ukuran 3 x 4 meter diisi kurang lebih 40-45 orang. Bersama 17 orang lainnya, saya dimasukkan ke dalam salah satu kamar yang terdapat di ujung loji,” tutur Rokib.
PKI kemudian menembaki loji tempat Rokib dan tawanan lainnya disekap lebih dari satu jam lamanya. Tubuh-tubuh yang terkena peluru langsung terkapar di lantai bersimbah darah. PKI tidak mempedulikan teriakan histeris para korban yang terkena peluru. Mereka terus saja melakukan tembakan. Diantara belasan orang yang ada di dalam loji, hanya Rokib dan Salis, serta seorang tentara bernama Kafrawi, yang selamat.
Menurut guru ngaji ini, setiap habis menembak, pistol yang digunakan PKI itu tidak bisa menembak lagi, tapi harus dikokang dulu. “Saya bisa selamat dari tembakan karena memperhitungkan jeda waktu antara tiap tembakan sambil bersembunyi di bawah jendela. Kalau tanpa pertolongan Allah, tidak mungkin saya selamat,” kata Rokib getir.
Beberapa saat kemudian tentara Siliwangi datang menjebol pintu loji dengan linggis. Suasana sudah mulai sepi karena PKI telah melarikan diri, takut akan kedatangan pasukan Siliwangi. “Ruangan tempat saya disekap itu benar-benar banjir darah. Ketika roboh dijebol dan jatuh ke lantai, pintu itu mengapung di atas genangan darah. Padahal, ketebalannya sekitar 4 cm. Darah yang membanjiri ruangan mencapai mata kaki,” tutur Rokib.
Selain KH Roqib, terdapat beberapa ulama dan pimpinan pesantren di sekitar Magetan dan Madiun yang jadi korban kebiadaban PKI. Diantaranya adalah KH Soelaiman Zuhdi Affandi (Pimpinan Pesantren Ath-Thohirin, Mojopurno), KH Imam Mursjid (Pimpinan Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran), KH Imam Shofwan (Pimpinan Pesantren Thoriqussu’ada, Rejosari Madiun), serta beberapa kyai lainnya.
Pesantren Ath-Thohirin yang diasuh oleh KH Soelaiman Zuhdi Affandi terletak di Desa Selopuro, Magetan. Pesantren yang mengajarkan ilmu thariqat ini sejak zaman penjahan Belanda maupun Jepang, telah menjadi pusat gerakan perlawanan. Di pesantren inilah para generasi muda disiapkan dan dilatih perang oleh Soelaiman. Soelaiman gugur menjadi korban keganasan PKI pada pemberontakan tahun 1948, mayatnya ditemukan di sumur tua Desa Soco.
Menurut R Bustomi Jauhari, cucu KH Soelaiman Zuhdi Affandi yang kini menjadi pimpinan Pesantren Ath-Thohirin, KH Soelaiman tertangkap pada waktu itu karena santrinya sendiri yang menjadi mata-mata PKI.. Kemana pun sang kiai pergi, PKI pasti tahu. “Keluarga besar kami sangat berduka atas kematian kakek. Dari seluruh keluarga kami ada sebelas orang yang dibunuh PKI. Dan kebanyakan mereka adalah kiai,” ujar Bustomi.
Penangkapan KH Soelaiman Affandi terjadi dua hari setelah PKI mengkudeta pemerintahan yang sah, tepatnya pada tanggal 20 September 1948. Ketika itu Soelaiman sedang bertandang ke Desa Kebonagung kemudian diculik.
Setelah ditahan di penjara Magetan selama empat hari, KH Soelaiman beserta tawanan lainnnya, diangkut dengan gerbong kereta lori ke loji Pabrik Gula Rejosari di Gorang-gareng. Dari Gorang-gareng, para tawanan ini kembali diangkut dengan lori menuju Desa Soco dan dihabisi di sana.
Salah seorang menantu KH Soelaiman Affandi bernama Surono yang juga dibawa lori ke Desa Soco termasuk orang yang mengetahui bagaimana kejamnya PKI dalam menyiksa dan membunuh Kiai Soelaiman di sumur tua desa Soco.
Menurut Surono, sebagaimana dituturkan Bustomi, PKI berulang kali menembak Kiai Soelaiman, namun tidak mempan. Begitu pula ketika dibacok pedang, Kiai Soelaiman hanya diam saja, lecet pun tidak. Setelah putus asa, algojo PKI akhirnya membawa Soelaiman ke bibir sumur lalu menendang punggungnya dari belakang. Tubuh Soelaiman yang tinggi besar itu terjerembab di atas lubang sumur yang tidak seberapa lebar.
Anggota PKI kemudian memasukkan tubuh Kyai Soelaiman secara paksa ke dalam sumur. Begitu menimpa dasar sumur, Kiai Soelaiman berteriak lantang menyebut asma Allah, “laa ilaaha illallah, kafir laknatullah,” secara berulang-ulang dengan nada keras. “Teriakan itu membuat PKI kian kalap dan melempari Soelaiman dengan batu,” tutur Surono.
Surono yang akan dibunuh namun ditunda terus karena dianggap paling muda, akhirnya tercecer di barisan belakang. Setelah kelelahan mengeksekusi puluhan orang dalam sumur tua itu, algojo PKI menyerahkan Surono kepada salah seorang anggota PKI yang lain.
Tak dinyana, ternyata anggota PKI yang akan membunuh Surono itu adalah temannya semasa sekolah dulu. Oleh temannya, Surono dibawa ke tempat gelap lalu dilepaskan. Setelah bebas, Surono kembali ke Mojopurno dan melaporkan kejadian yang dia alami kepada keluarga besar KH Soelaiman Affandi.
Salah satu ulama yang juga pimpinan pesantren yang menjadi musuh utama PKI pada waktu itu adalah KH Imam Mursjid, pimpinan Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Takeran, Magetan. Sebagai pesantren yang berwibawa di kawasan Magetan, tak heran jika PKI, segera mengincar dan menculik pimpinannya bersamaan dengan dideklarasikannya Republik Soviet Indonesia di Madiun.
Selain sebagai pimpinan pesantren, KH Imam Mursjid juga dikenal sebagai imam Thariqah Syatariyah. Selain itu PSM juga menggembleng para santri dengan latihan kanuragan dan spiritual.
Pada 18 September 1948, tepatnya seusai shalat Jumat, KH Imam Mursjid didatangi tokoh-tokoh PKI. Salah seorang tokoh PKI itu bernama Suhud yang mengajak Kiai Mursjid keluar dari mushola kecil di sisi rumah seorang warga pesantren bernama Kamil. Imam Mursjid akan diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia. Kepergian KH Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja merisaukan warga pesantren. Menurut mereka, Kiai Imam Mursjid tidak akan menurut begitu saja diajak berunding oleh PKI.
Di depan pendapa pesantren, KH Imam Mursjid dinaikkan ke atas mobil. Mobil itu pun melaju meninggalkan PSM diiringi kecemasan para santri dan warga pesantren yang lain. Kepergian KH Mursjid yang begitu mudah itu bukannya tanpa alasan. PSM telah dikepung oleh ratusan tentara PKI. Bisa jadi Kiai Mursjid tidak mau mengorbankan santrinya dan warga pesantren sehingga memilih mau ‘berunding’ dengan PKI.
Ternyata, kepergian Kiai Mursjid itu adalah untuk selama-lamanya, ia tidak pernah kembali lagi ke pesantrennya. Begitu terjadi pembongkaran lubang-lubang pembantaian PKI di sumur Desa Soco maupun di beberapa tempat lainnya, mayat Kiai Mursjid tidak ditemukan.
Dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri pun, nama Kiai Mursjid tidak tercantum sebagai korban yang telah dibunuh. Tak heran, jika santri dan warga PSM masih percaya bahwa KH Imam Mursjid masih hidup hingga saat ini, namun entah berada dimana.
Ulama atau pimpinan pesantren yang menjadi korban keganasan PKI di Madiun adalah KH Imam Shofwan, pimpinan Pondok Pesantren Thoriqussu’ada, Desa Selopuro, Kecamatan Kebonsari. Salah seorang putra KH Imam Shofwan bernama KH Muthi’ Shofwan yang kini mengasuh Pesantren Thoriqussu’ada mengungkapkan, ayahnya ditangkap PKI bersama dengan dua orang kakaknya, yakni KH Zubeir dan KH Bawani.
Penangkapan itu terjadi sehari setelah kepulangan Muthi’ Shofwan dari rumah kosnya di Madiun. Sebagai murid salah satu SMP di Madiun, Muthi’ tiap minggu pulang ke Selopuro, biasanya tiap hari Kamis malam Jumat. “Ketika tiba di rumah pada waktu itu, ayah saya (KH Imam Shofwan) beserta dua kakak saya telah ditangkap oleh PKI. Ibu saya bilang bahwa ayahmu pergi dibawa orang naik dokar,” tutur KH Muthi’ mengingat kejadian itu.
Beberapa hari kemudian dia mendengar berita bahwa ayah dan dua kakaknya itu ditahan di desa Cigrok (sekarang Kenongo Mulyo). “Mas Zubeir dan rombongannya sekitar delapanbelas orang, pada malam Jumat itu, telah dibunuh oleh PKI dan dimasukkan ke dalam sebuah sumur. Karena Mas Zubeir agak sulit dibunuh, maka PKI dengan paksa menceburkannya ke dalam sumur dan menimbunnya dengan batu,” ujar Muthi’.
Pada malam yang sama, ayahnya dan Kiai Bawani serta beberapa tawanan lainnya dibawa ke Takeran. Esoknya, para tawanan ini dipindah lagi ke Pabrik Gula Gorang-gareng lalu dibawa kembali ke Desa Cigrok. Di sebuah sumur tua yang tidak terpakai lagi, KH Imam Shofwan yang saudara kandung KH Soelaiman Affandi itu (pengasuh pesantren Ath-Thohirin, Mojopurno, Magetan) dan Kiai Bawani dibunuh dan dimasukkan ke dalamnya.
Rupanya, ketika dimasukkan ke dalam sumur, KH Imam Shofwan dan Kiai Bawani masih hidup. KH Imam Shofwan bahkan sempat mengumandangkan adzan yang diikuti oleh puteranya. Melihat korbannya masih belum mati di dalam sumur, algojo-algojo PKI tidak peduli. Mereka melempari korban dengan batu lantas menimbunnya dengan jerami dan tanah.
Pada tahun 1963 jenazah para korban kebiadaban PKI yang terkubur di sumur tua Desa Cigrok digali, lalu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan, Magetan. Jadi sejak tahun 1948 hingga 1963, jenazah para korban PKI masih tertimbun dalam sumur itu.
Menghabisi ulama dan umat Islam memang keinginan kuat PKI, karena ulama dianggap sebagai penghalang berkembangnya ideologi mereka. Komunis sangat anti pada Islam, oleh karena itu jangan dibiarkan bangkit lagi.
Penutup
Akhir Konflik
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
Demikian lah akhir dari perjalanan G30SPKI sebuah pergerakan dalam masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.
0 comments:
Post a Comment
Tim Gudang Materi mengharapkan komentar anda sebagai kritik dan saran untuk kami .. Hubungi kami jika anda mengalami kesulitan !