Latar Belakang
Siapakah Kapten Andi Aziz?. Nama lengkapnya adalah Andi Abdoel Aziz, ia terlahir dari pasangan Andi Djuanna Daeng Maliungan dan Becce Pesse. Anak tertua dari 11 bersaudara. Ia menyandang gelar pemberontak akibat perjuangannya untuk mempertahankan existensi Negara Indonesia Timur. Ia mengambil alih kekuasaan militer di Makassar pada 5 April 1950 ketika umurnya baru 24 tahun. Ia adalah korban politik Belanda divide et impera, di pengadilan militer ia mengakui menyesal bahwa ia buta politik. Sejak umur 10 tahun, Andi Aziz sudah dikirim oleh orang tuanya ke negeri Belanda untuk sekolah dan menyelesaikan sekolah lanjutannya disana.
Tahun 1939-1940 pecah Perang Dunia ke 2. Belanda kena getahnya akibat serangan oleh Jerman. Andi Aziz bersama dengan rekan rekan sekolahnya turut ikut berjuang bergerak di bawah tanah melawan Jerman. Pada saat itu kedudukan Andi Aiziz cukup terdesak sehingga ia memutuskan untuk hijrah ke Inggris. Karena Inggris adalah sekutu Belanda maka hal ini sangat mempermudah ruang geraknya. Disana ia di didik oleh Inggris di akademi militer. Ia adalah kawan sebangku Jendral Moshe Dayan mantan Menteri Pertahanan Israel dan juga Raja Hussein dari Yordania. Ia tamat pendidikan para-militer payung pada tahun 1943 dengan pangkat Letnan muda dan bertugas di Inggris.
Pada akhir tahun 1943 ia meminta kepada Inggris untuk diterjunkan di Belanda dan membantu melawan Jerman. Niat sebetulnya adalah untuk mengunjungi Ayah angkatnya yang berada Belanda waktu itu, yang mana adalah juga seorang pejabat tinggi Belanda di Pare Pare, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1944 ia kembali ke Inggris setelah sempat membantu Belanda melawan Jerman. Sebagai tentara Inggris ia di kirim ke Calcutta, India yang mana adalah salah satu Negara jajahan Inggris. Disana ia mengikuti latihan perang di dalam hutan, setelah 3 bulan mengikuti latihan perang gerilya ia kemudian dikirim oleh Inggris ke Singapura pada tahun 1945 untuk melawan Jepang. Belum sempat melawan Jepang ternyata Negara matahari terbit itu sudah bertekuk lutut pada 15 Agustus 1945. Selama di Singapura itulah ia mendengar nama Soekarno dan Hatta yang mana keduanya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Nama Indonesia belum pernah di dengar oleh Andi Aziz sebelumnya. Sejak saat itulah timbul rasa kerinduannya untuk kembali ke tanah air Sulawesi Selatan.
Kepada komandannya di Singapura ia mengajukan permohonan pengunduran dirinya dari dinas militer Inggris. Tetapi keinginannya tersebut ditolak oleh komandannya dan ia diharuskan untuk menghadap langsung kepada petinggi petinggi angkatan perang Inggris di London mengenai pengunduran dirinya. Di Singapura ia sempat dipertemukan dengan Panglima Belanda oleh sahabat sahabatnya tentara Belanda. Kerinduan akan kampong halamannya membuat ia berdusta dan mengaku kepada Panglima Belanda di Singapura bahwa ia telah keluar dari angkatan perang Inggris. Ia mengajukan keinginannya untuk bergabung di militer Belanda, maklumlah karena sistem kemiliteran pada waktu itu masih kurang ketat terlebih karena keadaan perang maka Belanda tidak mengecek ke absahan pengakuannya dan ia diterima kembali aktif di angkatan perang Belanda atau KNIL. Tetapi setelah ia di terjunkan di Plaju, Sumatera Selatan ia melarikan diri dan masuk kembali ke Singapura secara diam diam untuk menumpang kapal laut menuju ke Makassar. Pada tahun 1946 ia tiba di Makassar dan menyamar sebagai terntara Inggris. Sebetulnya NICA sedang mencari cari keberadaan Andi Aziz yang desersi tersebut untuk di adilkan di pengadilan militer. Tetapi kembali mengingat keadaan yang simpang siur dan kacau maka NICA tidak berhasil membawa Andi Aziz untuk di adili. Pada tahun yang sama ia diterima bekerja di kepolisian atas dasar pendidikan militer dan pengalaman perang gerilyanya yang bagus.
Ketika Negara Indonesia Timur di bentuk ia di angkat sebagai adjudan Presiden Sukawati dan pangkatnya di kembalikan menjadi Letnan Dua KNIL. Pada tahun 1947 ia dikirim ke Bandung untuk menjadi instruktur pendidikan militer disana dan kembali ke Makassar pada tahun 1948. Sekembalinya di Makassar ia di angkat menjadi Komandan Divisi 7 Desember, anak buahnya adalah asli orang Belanda. Menjelang penyerahan kedaulatan pada tahun 1949 ia dipercayai untuk membentuk satu kompi pasukan KNIL dan memilih langsung anak buahnya yang mana berasal dari Toraja, Sunda dan Ambon. Kompi inilah yang kemudian di resmikan oleh Panglima Teritorial Indonesia Timur, Letnan Kolonel Akhmad Junus Mokoginta dan dilebur menjadi bagian dari APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Pada tanggal 5 April 1950 kompi ini jugalah yang diandalkan Andi Aziz untuk melakukan pemberontakan.
Sebetulnya pemberontakan Kapten Andi Aziz adalah dikarenakan hasutan Dr. Soumokil Menteri Kehakiman Indonesia Timur. Tokoh ini jugalah yang memprakarsai adanya pemberontakan Republik Maluku Selatan. Kapten Andi Aziz mempunyai pertimbangan lain. Ia khawatir akan tindakan membabi buta dari Dr. Soumokil yang dapat mengakibatkan pertumpahan darah diantara saudara sebangsa. Atas dasar pertimbangan untuk menghindari pertumpahan darah tersebutlah ia bersedia memimpin pemberontakan. Ia merasa sanggup memimpin anak buahnya tanpa harus merenggut korban jiwa. Ternyata memang pemberontakan yang di pimpin olehnya berjalan sesuai dengan lancar dan tanpa merenggut korban jiwa. Hanya dalam waktu kurang lebih 30 menit semua perwira Tentara Nasional Indonesia dapat ia tahan dan Makassar dikuasainya.
Atas tindakannya tersebut Presiden Soekarno memberikan ultimatum kepada Andi Aziz untuk menyerahkan diri dalam tempo 24 jam, kemudian diperpanjang lagi menjadi 3 x 24 jam. Panggilan tersebut tidak dipenuhinya karena waktu itu Andi Aziz menganggap keadaan atau situasi di kota Makassar masih belum stabil karena masih ada pergerakan disana sini di dalam kota Makassar. Setelah ia merasa Makassar telah aman maka semua tawanannya termasuk Letnan Kolonel Akhmad Junus Mokoginta dilepaskannya.
Pada akhir tahun 1950 ia di undang kembali oleh Presiden Soekarno untuk datang menghadap di Jakarta. Ia ditemani oleh seorang pamannya yaitu Almarhum Andi Patoppoi, lalu seorang Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timur yaitu Anak Agung Gde Agung serta seorang wakil dari Komisi Tiga Negara. Ternyata undangan tersebut hanyalah jebakan Presiden Soekarno, sesampainya ia di pelabuhan udara kemayoran ia langsung ditangkap oleh Polisi Militer untuk di bawa ke pengadilan. Ia kemudian di tahan dan di adili di pengadilan Wirogunan Yogyakarta. Oleh pengadilan ia di jatuhi hukuman penjara 14 tahun, tetapi hanya delapan tahun saja yang ia jalani. Tahun 1958 ia di bebaskan tetapi tidak pernah kembali ke Sulawesi Selatan sampai masa orde baru. Sekitar tahun 1970-an ia kembali ke Sulawesi Selatan sebanyak 4 kali dan terakhir pada tahun 1983. Setelah keluar dari tahanan ia terjun ke dunia bisnis dan bergabung bersama Soedarpo Sastrosatomo di perusahaan pelayaran Samudra Indonesia hingga akhir khayatnya. Andi Abdoel Aziz meninggal pada 30 Januari 1984 di Rumah Sakit Husada Jakarta akibat serangan jantung dengan umur 61 tahun. Ia meninggalkan seorang Istri dan tidak ada anak kandung. Jenasahnya diterbangkan dan dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan di desa Tuwung kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Turut hadir sewaktu melayat di rumah duka yaitu mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta Istri, Mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan perwira perwira TNI lainnya.
Sebelum meninggalnya, ia pernah beberapa kali ia diminta aktif kembali ke dinas militer TNI oleh Presiden Soekarno dan diminta untuk membentuk pasukan pengaman Presiden yaitu Cakrabirawa. Tetapi atas nasehat orang tua dan juga saudara saudaranya maka ia menolak ajakan Presiden Soekarno tersebut. Pihak keluarga merasa bahwa Andi Aziz adalah seoarang buta politik yang sudah cukup merasakan akibatnya. Pihak keluarga tidak menginginkan hal tersebut terjadi untuk kedua kalinya. Beryuskur karena Andi Aziz menolak ajakan tersebut, ternyata pasukan Cakrabirawa ini jugalah yang di kemudian harinya terlibat membantu pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
Kapten Andi Aziz adalah seorang pemberontak yang tidak pernah membunuh dan menyakiti orang. Ia adalah korban kambing hitamnya Belanda karena kebutaannya mengenai dunia politik. Ia adalah seorang militer sejati yang mencoba untuk mempertahankan Negara Indonesia Timur yang menurutnya adalah telah melalui kesepakatan dengan Republik Indonesia Serikat. Dalam kesehariannya Andi Aziz cukup dipandang oleh masyarakat suku Bugis Makassar yang bermukim di Tanjung Priok, Jakarta dimana ia dulu menetap. Disana ia diakui sebagai salah satu sesepuh suku Bugis Makassar yang mana selalui dimintai nasehat nasehat, dan pikiran pikirannya untuk kelangsungan kerukunan suku Bugis Makassar. Ia juga seorang yang murah hati dan suka meonolong, pernah suatu waktu pada tahun 1983, ia menampung 71 warga Palang Merah Indonesia yang kesasar ke Jakarta dari Cibubur.
PERMASALAHAN
Beberapa hari setelah pelantikannya sebagai perwira TNI, Andi Azis beserta pasukannya menyerang perumahan perwira TNI di staf kwartier dan asrama CPM di Verlegde Klapperlaan (jl Walter Mongisidi). Alibi pemberontakan adalah akan mendaratnya pasukan TNI, Batalyon Worang, pada April 1950 ke Sulawesi Selatan. Berita akan terjadinya pendaratan itu mendapat tentangan dari Andi Azis. Andi Azis menyatakan: “buat apa didatangkan pasukan APRIS dari Jawa, toh pasukan ex KNIL di Makassar-pun telah pasukan APRIS dan sanggup mengamankan NIT.
Usai Penyerahan Kedaulatan (Souvereniteit Overdracht) pada tanggal 27 Desember 1949, dalam negeri Republik Indonesia Serikat mulai bergelora. Serpihan ledakan bom waktu peninggalan Belanda mulai menunjukkan akibatnya. Pada umumnya serpihan tersebut mengisyaratkan tiga hal. Pertama, ketakutan antek tentara Belanda yang tergabung dalam KNIL, yang bertanya-tanya akan bagaimana nasib mereka setelah penyerahan kedaulatan tersebut. Kedua, terperangkapnya para pimpinan tentara yang jumlahnya cukup banyak dalam penentuan sikap dan ideologi mereka. Utamanya para pimpinan militer didikan dan binaan Belanda.
Terakhir, masih banyaknya terjadi dualisme kepemimpinan dalam kelompok ketentaraan Indonesia antara kelompok APRIS dengan kelompok pejoang gerilya. Walaupun sejak bulan Juni 1947 Pemerintah RI telah mengeluarkan kebijaksanaan bahwa segenap badan kelaskaran baik yang tergabung dalam biro perjuangan maupun yang lepas berada dalam satu wadah dan satu komando yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketiga hal tersebut semakin mengental pada daerah yang masih kuat pengaruh “Belandanya”. Salah satu daerah dimaksud adalah wilayah Sulawesi Selatan. Tiga peristiwa di tahun 50 yang terjadi dikota Makassar dan wilayah Sulawesi Selatan memperlihatkan kekentalan tersebut. Peristiwa pertama terjadi pada tanggal 5 April 1950 yang terkenal sebagai peristiwa Andi Azis.
Peristiwa kedua yang terjadi pada tanggal 15 Mei 1950 dan ketiga yang terjadi pada tanggal 5 Agustus 1950. Dalam ketiga peristiwa tersebut yang menjadi penyebabnya selalu permasalahan mengenai kegamangan tentara KNIL akan nasib mereka. Sedangkan 2 peristiwa terahir menjadi tolak ukur dari kegamangan tersebut. Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam pertemuan pers mengatakan bahwa tidak heran dengan terjadinya peristiwa paling ahir pada tanggal 5 Agustus 1950 (Sin Po 8/8/50). Rentetan ketiga peristiwa di Makassar tersebut agaknya selalu bermula dari upaya-upaya para anggota KNIL (kemudian dilebur dalam KL) untuk mengacaukan kehidupan rakyat di Makassar sekaligus berupaya untuk memancing tentara APRIS memulai serangan kepada mereka. Tidak kalah ikut menentukan suasana panas dikota Makassar adalah persoalan tuntutan masyarakat untuk segera menuju negara kesatuan.
Tentu saja gerakan rakyat ini tidak saja terjadi di Indonesia Timur, tapi juga di Jawa Timur, Pasundan, Sumatera Timur dan berbagai daerah lainnya. Pemerintah RIS dalam hal ini atau setidaknya banyak fihak dalam kabinet dan Parlemen sangat memberi angin menuju Negara Kesatuan.Rencana kedatangan tentara APRIS ke Makassar nampaknya terlalu dibesar-besarkan semata-mata karena rasa takut akan menguntungkan fihak pemerintah pusat (RIS). Oleh karena itu bukan tidak mungkin pemberontakan Andi Aziz adalah rekayasa politik fihak KNIL akibat provokasi tokoh-tokoh anti RIS dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur. Andi Aziz sendiri diyakini banyak fihak adalah seorang anggota militer dengan pribadi yang baik.
Namun dalam sekala kesatuan militer KNIL di Sulawesi Selatan dirinya lebih condong sebagai boneka. Tampak bahwa Kolonel Schotborg dan jakasa agung NIT Sumokil adalah pengendali utama kekuatan KNIL dikota Makassar. Dari hasil pemeriksaan Aziz dalam sidang militer yang digelar tiga tahun kemudian (1953), saksi mantan Presiden NIT Sukawati dan Let.Kol Mokoginta tidak banyak meringankan terdakwa yang pada ahirnya dihukum penjara selama 14 tahun. Dalam persidangan tersebut terdakwa mengaku bersalah, tidak akan naik appel tapi merencanakan minta grasi kepada Presiden. Ketika sedang berlangsungnya pemberontakan Andi Aziz di Makassar, untuk mengantisipasinya Pemerintah RIS di Jakarta telah membentuk pasukan gabungan Expedisi Indonesia Timur. Pasukan ini terdiri dari batalyon ADRIS dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur didukung oleh AURIS, ALRIS dan Kepolisian. Sebagai pimpinan Komando ditunjuk Kolonel A.E Kawilarang Panglima TT Sumatera Utara.
Ketika pasukan besar ini sedang dipersiapkan keberangkatannya, telah lebih dahulu diberangkatkan batalyon Worang yang tiba di Sulawesi Selatan pada tanggal 11 April 1950. Meskipun Worang tidak dapat langsung mendarat di Makassar tapi di Jeneponto yang letaknya 100 km keselatan, rakyat menyambutnya dengan sukacita. Sebuah foto yang disiarkan majalah Merdeka terbitan 13 Mei 1950 menggambarkan hal tersebut. Terlihat 3 orang anggota tentara APRIS yang berjalan menuju kerumunan massa dimana dilatar belakang tampak spanduk bertuliskan “ SELAMAT DATANG TENTARA KITA”. Pertempuran besar memang tidak terjadi antara pasukan APRIS Worang dengan KNIL di Makassar bahkan Andi Aziz ahirnya mau menyerah guna memenuhi panggilan Pemerintah Pusat di Jakarta meskipun telah melampaui batas waktu 4 X 24 Jam untuk mendapat pengampunan.
Menyerahnya Andi Azis kemungkinan besar karena kekuatan pendukung dibelakangnya sudah tidak ada lagi yaitu Sumokil yang sudah terbang ke Ambon via Menado dan Kolonel Schotborg yang siap dimutasi untuk pulang ke Belanda. Setelah Andi Aziz menyerah, banyak tentara dari bekas infantri KNIL yang tidak tahu lagi siapa pemimpin mereka dan bagaimana nasib mereka selanjutnya. Sementara untuk bergabung dengan APRIS belum ada ketentuan karena belum ada peraturan resmi yang akan membubarkan KNIL (KNIL bubar tgl 27 Juli 1950). Tak heran mereka kemudian memprovokasi rakyat dan kemudian memulai serangan terhadap pos-pos tentara APRIS. Menjelang pertempuran yang terjadi antara pasukan KNIL dengan pasukan APRIS pada tanggal 15 Mei 1950 bermula ketika banyak anggota KNIL menurunkan bendera merah putih disekitar kampemen tempat anggota KNIL berdiam.
Peristiwa penurunan bendera Sang Saka merah Putih itu terjadi bersamaan degan tibanya Presiden RIS Soekarno dikota Makasasar yang memulai lawatannya ke Sulawesi. Setelah Merah Putih diturunkan berlanjut dengan coretan tembok rumah rakyat dan spanduk disekitar kampemen KNIL berisi tulisan yang memojokkan Negara Republik Indonesia Serikat. Peristiwa ini juga kemudian berkaitan dengan ditembaknya seorang Perwira APRIS oleh tentara KNIL. Peristiwa diatas memicu ketegangan yang memunculkan ketidak sabaran anggota APRIS terhadap tindakan dan ulah provokasi KNIL. Rakyat yang diprovokasi tidak sabar menunggu komando untuk menyerang KNIL. Pasukan pejoang gerilya dibawah batalyon Lipang Bajeng dan Harimau Indonesia telah mempersiapkan diri untuk hal tersebut. Sementara tentara KNIL sudah semakin mengeras upayanya untuk menghancurkan kekuatan APRIS untuk menguasai Makassar. Maka pada tanggal 15 Mei 1950 terjadilah pertempuran besar dikota Makassar. Pasukan KNIL menyerbu barak-barak APRIS, membakar rumah rakyat, menghancurkan rumah dan toko-toko didaerah pecinaan. Sekitar Makassar penuh dengan api, bau anyir darah dan berbagai desing senjata. Serangan KNIL ini memang sudah diwaspadai APRIS.
Tentara APRIS kemudian membalas serangan dan bersamaan dengan itu pasukan pejoang gerilya dari Batalyon Lipang Bajeng dan Harimau Indonesia telah turun dari dua kota pangkalan mereka di Polobangkeng dan Pallangga yang terletak disekitar kota Makassar. Seketika suasana medan laga telah berubah. Pasukan APRIS bersama dua batalyon pejoang tersebut dan rakyat Makassar menyerang balik tentara KNIL. Dalam keadaan demikian inilah Kolonel AH Nasution selaku Kepala Staf ADRIS bersama dengan Kolonel Pereira selaku Wakil Kepala Staf KNIL tiba di Makassar. Kedua pucuk pimpinan tentara ini kemudian meninjau keadaan dan berunding. Pada tgl 18 Mei 1950 wakil dari APRIS yaitu Overste Sentot Iskandardinata dan Kapten Leo Lopolisa berunding dengan wakil dari KNIL yaitu Kolonel Scotborg, Overste Musch dan Overste Theyman yang disaksikan oleh Kolonel AH Nasution serta Kolonel AJA Pereira.
Perundingan menghasilkan dua keputusan penting yaitu dibuatnya garis demarkasi serta tidak diperbolehkannya kedua tentara APRIS dan KNIL untuk mendekati dalam jarak 50 meter. Untuk sementara keadaan dapat diamankan. Perundingan pertama ini detailnya menghasilkan persetujuan untuk melokalisir tentara KNIL ditiga tempat . Namun rupanya persetujuan dimaksud tidak ditaati. Antara menerangkannya sebagai berikut : “Tetapi persetujuan tinggal persetujuan. Maka pada hari selasa pertempuran mulai lagi berjalan dengan sengit. Pertempuran yang paling sengit terjadi diempat tempat. Yaitu tangsi KNIL di Mariso, sekitar tangsi KNIL Matoangin, Boomstraat, sekitar Stafkwartier KNIL di Hogepad. Pertempuran sudah berjalan tiga hari tiga malam lamanya tetapi belum juga berhenti” (Kempen 1953:302). Pada ahir Juli 1950 pasukan KNIL dibubarkan. Muncul permasalahan baru. Mau dikemanakan para prajurit ex KNIL tersebut. Sebagian memang dilebur kedalam KL, sebagian lagi menunggu untuk diterima sebagai anggota APRIS. Namun masa penantian ini secara psikologis amat merisaukan para anggota tentara KNIL.
Pertama mereka dianggap rakyat sebagai kaki tangan Kolonial Belanda, sementara disisi lain bekas majikannya tidak mengindahkan nasib mereka. Tmbullah usaha provokasi baru yang antara lain dilukiskan sebagai berikut : “Sesudah anggota KNIL di Makassar memperoleh kedudukan sementara sebagai anggota KL pada tanggal 26 Juli 1950 keadaan tidak bertambah baik, sebaliknya mereka terus menerus menimbulkan kesulitan-kesulitan. Mereka antara lain menentang dengan kekerasan usaha pimpinan tentara Belanda untuk menyerahkan alat tentaranya kepada tentara Belanda. Mereka sering menganiaya penduduk. Bendera-bendera kebangsaan (maksudnya Merah Putih) disekitar kampemen mereka turunkan dan akhir-akhir ini mereka dengan kejam membunuh perwira Indonesia yang bereda dekat kampemen ketika sedang mengunjungi keluarganya” (Antara 12/8/1950). Berbagai tindakan provokasi yang dilakukan para eks KNIL ternyata tidak mendapat tanggapan emosinal oleh APRIS. Sehingga terkesan APRIS terlalu sabar. Kesan sabar ini tertimpakan pada pucuk pimpinan APRIS Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur Kolonel AE Kawilarang.
Pada saat itu Antara menulis : “Kemaren jam 17.00 Kawilarang telah mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil partai dan organisasi di Makassar. Dikatakannya bahwa ia mengerti akan kekecewaan rakyat terhadap tindakan APRIS yang oleh rakyat dianggap terlalu sabar dalam menghadapi segala percobaan (masudnya dari fihak KNIL) tetapi dikatakannya seterusnya bahwa dalam hal ini orang harus ingat bahwa APRIS adalah bagian resmi dari Pemerintah sedangkan KNIL dipandang sebagai tentara tamu selama mereka belum diorganisir dan semua itu terikat dalam perjanjian KMB yang harus dihormati. Kami cukup kuat dan pasti dapat menyelesaikan segala sesuatu dengan senjata tetapi dengan demikian keadaan akan bertambah kacau dan nama negara kita dimata dunia akan surut. (Antara 3/6/1950).
Dua hal yang antagonis antara provokasi yang dilakukan tentara KNIL dan kesabaran pucuk pimpinan APRIS tersebut menimbulkan dilema dalam menetapkan kebijaksanaan yang akan diambil APRIS selanjutnya. Apalagi kemudian rakyat Makassar semakin mempertajam sikap mereka terhadap tentara KNIL dengan melakukan pemboikotan seluruh kegiatan perdagangan dari dan ke markas-markas KNIL. Suasana tegang ini ibarat bisul yang akan meletus sewaktu-waktu.
Agar APRIS tidak keliru mengambil langkah dalam mengantisipasi ketegangan yang semakin tinggi pada tgl 5 Agustus 1950, APRIS setuju untuk mengadakan perundingan dengan wakil militer Belanda di Indonesia. Pertemuan yang diikuti oleh tiga wakil tentara Belanda dan dihadiri pula oleh wakil dari UNCI, menyepakati sikap untuk mengendurkan ketegangan melalui APRIS yang berjanji akan mengadakan pendekatan kepada rakyat agar menghentikan boikot kepada tentara KNIL. Belum upaya mengendurkan itu dilakukan oleh APRIS, hari itu pula pada pukul 17.20 selang 80 menit dari usainya persetujuan tersebut tentara eks KNIL melakukan serangan sitematis keseluruh barak dan asrama tentara APRIS.
Tindakan yang kelewat batas tersebut dan menghianati persetujuan, pantang ditolak oleh segenap pasukan APRIS, pejoang gerilya yang tergabung dalam Divisi Hasanudin serta rakyat Makassar. Dalam tempo sekejap memang tentara eks KNIL dapat menguasai medan pertempuran, namun keadaan cepat berubah beberapa jam kemudian. Pasukan APRIS yang didukung oleh kekuatan Udara dan Laut menghantam terus menerus barak-barak eks tentara KNIL. Belum lagi serangan-serangan dari pasukan Divisi Hasanudin dan rakyat. Tidak sampai 3 X 24 jam pasukan eks KNIL sudah terkepung dibarak-barak mereka. Ahirnya pada tanggal 8 Agustus 1950 bertempat dilapangan terbang Mandai diadakan persetujuan antara Kolonel AE Kawilarang yang mewakili APRIS dan Mayor Jenderal Scheffelaar sebagai wakil Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Merka sepakat agar seluruh anggota pasukan KL meninggalkan Makassar dan menyerahkan seluruh perlengkapannya kepada APRIS. Bagi mereka yang menolak akan dikeluarkan dari KL.
Pada pukul 16.00 tanggal 8 Agustus dengan muka tertunduk malu dimulailah pasukan KL meninggalkan Makassar diiringi cemooh segenap rakyat. Dan untuk pertama kalinya sejak penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, pasukan APRIS pantas bertepuk dada karena telah memenangkan perang dan mengusir pasukan KL tampa syarat.
Merah Putih telah tegak berdiri menggantikan Merah Putih Biru untuk selama lamanya. Kemenangan ini tidak lepas dari dukungan seluruh rakyat termasuk para pejoang gerilya yang telah bahu membahu berjuang dengan pasukan APRIS.
Sebuah fenomena monumental yang mencatat dengan tinta emas dalam buku sejarah Nasional kebesaran TNI. Walau bagaimanapun TENTARA KITA pernah jaya dan akan tetap jaya untuk selama-lamanya. Hal ini antara lain disebabkan karena pucuk pimpinannya sangat cermat dan memiliki kewaspadaan serta kedalaman berfikir dalam mengatur strategi.
Kesimpulan
Demikian lah , runtut permasalahan mengenai Pemberontakan Andi Aziz Qahhar Mudzakkar , yang hingga saat ini menjadi kontroversial akibat pembangkangannya terhadap pemerintah. Tetapi , kali ini kita dapat melihat dengan jelas apa yang menjadi penyebab hal tersebut terjadi. Seperti pepatah mengatakan " Seseorang yang menanam mangga akan berbuah mangga" sama halnya dengan kasus kali ini, seorang Andi Aziz Qahhar Mudzakkar menjadi beringas terhadap pemerintah dikarenakan sikap pemerintah yang arogan.
Terima kasih telah mengunjung blog http://gudangmateri.blogspot.com , semoga dapat menjadi referensi yang bermanfaat untuk anda.
Baca Selengkapnya ..
Siapakah Kapten Andi Aziz?. Nama lengkapnya adalah Andi Abdoel Aziz, ia terlahir dari pasangan Andi Djuanna Daeng Maliungan dan Becce Pesse. Anak tertua dari 11 bersaudara. Ia menyandang gelar pemberontak akibat perjuangannya untuk mempertahankan existensi Negara Indonesia Timur. Ia mengambil alih kekuasaan militer di Makassar pada 5 April 1950 ketika umurnya baru 24 tahun. Ia adalah korban politik Belanda divide et impera, di pengadilan militer ia mengakui menyesal bahwa ia buta politik. Sejak umur 10 tahun, Andi Aziz sudah dikirim oleh orang tuanya ke negeri Belanda untuk sekolah dan menyelesaikan sekolah lanjutannya disana.
Tahun 1939-1940 pecah Perang Dunia ke 2. Belanda kena getahnya akibat serangan oleh Jerman. Andi Aziz bersama dengan rekan rekan sekolahnya turut ikut berjuang bergerak di bawah tanah melawan Jerman. Pada saat itu kedudukan Andi Aiziz cukup terdesak sehingga ia memutuskan untuk hijrah ke Inggris. Karena Inggris adalah sekutu Belanda maka hal ini sangat mempermudah ruang geraknya. Disana ia di didik oleh Inggris di akademi militer. Ia adalah kawan sebangku Jendral Moshe Dayan mantan Menteri Pertahanan Israel dan juga Raja Hussein dari Yordania. Ia tamat pendidikan para-militer payung pada tahun 1943 dengan pangkat Letnan muda dan bertugas di Inggris.
Pada akhir tahun 1943 ia meminta kepada Inggris untuk diterjunkan di Belanda dan membantu melawan Jerman. Niat sebetulnya adalah untuk mengunjungi Ayah angkatnya yang berada Belanda waktu itu, yang mana adalah juga seorang pejabat tinggi Belanda di Pare Pare, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1944 ia kembali ke Inggris setelah sempat membantu Belanda melawan Jerman. Sebagai tentara Inggris ia di kirim ke Calcutta, India yang mana adalah salah satu Negara jajahan Inggris. Disana ia mengikuti latihan perang di dalam hutan, setelah 3 bulan mengikuti latihan perang gerilya ia kemudian dikirim oleh Inggris ke Singapura pada tahun 1945 untuk melawan Jepang. Belum sempat melawan Jepang ternyata Negara matahari terbit itu sudah bertekuk lutut pada 15 Agustus 1945. Selama di Singapura itulah ia mendengar nama Soekarno dan Hatta yang mana keduanya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Nama Indonesia belum pernah di dengar oleh Andi Aziz sebelumnya. Sejak saat itulah timbul rasa kerinduannya untuk kembali ke tanah air Sulawesi Selatan.
Kepada komandannya di Singapura ia mengajukan permohonan pengunduran dirinya dari dinas militer Inggris. Tetapi keinginannya tersebut ditolak oleh komandannya dan ia diharuskan untuk menghadap langsung kepada petinggi petinggi angkatan perang Inggris di London mengenai pengunduran dirinya. Di Singapura ia sempat dipertemukan dengan Panglima Belanda oleh sahabat sahabatnya tentara Belanda. Kerinduan akan kampong halamannya membuat ia berdusta dan mengaku kepada Panglima Belanda di Singapura bahwa ia telah keluar dari angkatan perang Inggris. Ia mengajukan keinginannya untuk bergabung di militer Belanda, maklumlah karena sistem kemiliteran pada waktu itu masih kurang ketat terlebih karena keadaan perang maka Belanda tidak mengecek ke absahan pengakuannya dan ia diterima kembali aktif di angkatan perang Belanda atau KNIL. Tetapi setelah ia di terjunkan di Plaju, Sumatera Selatan ia melarikan diri dan masuk kembali ke Singapura secara diam diam untuk menumpang kapal laut menuju ke Makassar. Pada tahun 1946 ia tiba di Makassar dan menyamar sebagai terntara Inggris. Sebetulnya NICA sedang mencari cari keberadaan Andi Aziz yang desersi tersebut untuk di adilkan di pengadilan militer. Tetapi kembali mengingat keadaan yang simpang siur dan kacau maka NICA tidak berhasil membawa Andi Aziz untuk di adili. Pada tahun yang sama ia diterima bekerja di kepolisian atas dasar pendidikan militer dan pengalaman perang gerilyanya yang bagus.
Ketika Negara Indonesia Timur di bentuk ia di angkat sebagai adjudan Presiden Sukawati dan pangkatnya di kembalikan menjadi Letnan Dua KNIL. Pada tahun 1947 ia dikirim ke Bandung untuk menjadi instruktur pendidikan militer disana dan kembali ke Makassar pada tahun 1948. Sekembalinya di Makassar ia di angkat menjadi Komandan Divisi 7 Desember, anak buahnya adalah asli orang Belanda. Menjelang penyerahan kedaulatan pada tahun 1949 ia dipercayai untuk membentuk satu kompi pasukan KNIL dan memilih langsung anak buahnya yang mana berasal dari Toraja, Sunda dan Ambon. Kompi inilah yang kemudian di resmikan oleh Panglima Teritorial Indonesia Timur, Letnan Kolonel Akhmad Junus Mokoginta dan dilebur menjadi bagian dari APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Pada tanggal 5 April 1950 kompi ini jugalah yang diandalkan Andi Aziz untuk melakukan pemberontakan.
Sebetulnya pemberontakan Kapten Andi Aziz adalah dikarenakan hasutan Dr. Soumokil Menteri Kehakiman Indonesia Timur. Tokoh ini jugalah yang memprakarsai adanya pemberontakan Republik Maluku Selatan. Kapten Andi Aziz mempunyai pertimbangan lain. Ia khawatir akan tindakan membabi buta dari Dr. Soumokil yang dapat mengakibatkan pertumpahan darah diantara saudara sebangsa. Atas dasar pertimbangan untuk menghindari pertumpahan darah tersebutlah ia bersedia memimpin pemberontakan. Ia merasa sanggup memimpin anak buahnya tanpa harus merenggut korban jiwa. Ternyata memang pemberontakan yang di pimpin olehnya berjalan sesuai dengan lancar dan tanpa merenggut korban jiwa. Hanya dalam waktu kurang lebih 30 menit semua perwira Tentara Nasional Indonesia dapat ia tahan dan Makassar dikuasainya.
Atas tindakannya tersebut Presiden Soekarno memberikan ultimatum kepada Andi Aziz untuk menyerahkan diri dalam tempo 24 jam, kemudian diperpanjang lagi menjadi 3 x 24 jam. Panggilan tersebut tidak dipenuhinya karena waktu itu Andi Aziz menganggap keadaan atau situasi di kota Makassar masih belum stabil karena masih ada pergerakan disana sini di dalam kota Makassar. Setelah ia merasa Makassar telah aman maka semua tawanannya termasuk Letnan Kolonel Akhmad Junus Mokoginta dilepaskannya.
Pada akhir tahun 1950 ia di undang kembali oleh Presiden Soekarno untuk datang menghadap di Jakarta. Ia ditemani oleh seorang pamannya yaitu Almarhum Andi Patoppoi, lalu seorang Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timur yaitu Anak Agung Gde Agung serta seorang wakil dari Komisi Tiga Negara. Ternyata undangan tersebut hanyalah jebakan Presiden Soekarno, sesampainya ia di pelabuhan udara kemayoran ia langsung ditangkap oleh Polisi Militer untuk di bawa ke pengadilan. Ia kemudian di tahan dan di adili di pengadilan Wirogunan Yogyakarta. Oleh pengadilan ia di jatuhi hukuman penjara 14 tahun, tetapi hanya delapan tahun saja yang ia jalani. Tahun 1958 ia di bebaskan tetapi tidak pernah kembali ke Sulawesi Selatan sampai masa orde baru. Sekitar tahun 1970-an ia kembali ke Sulawesi Selatan sebanyak 4 kali dan terakhir pada tahun 1983. Setelah keluar dari tahanan ia terjun ke dunia bisnis dan bergabung bersama Soedarpo Sastrosatomo di perusahaan pelayaran Samudra Indonesia hingga akhir khayatnya. Andi Abdoel Aziz meninggal pada 30 Januari 1984 di Rumah Sakit Husada Jakarta akibat serangan jantung dengan umur 61 tahun. Ia meninggalkan seorang Istri dan tidak ada anak kandung. Jenasahnya diterbangkan dan dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan di desa Tuwung kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Turut hadir sewaktu melayat di rumah duka yaitu mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta Istri, Mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan perwira perwira TNI lainnya.
Sebelum meninggalnya, ia pernah beberapa kali ia diminta aktif kembali ke dinas militer TNI oleh Presiden Soekarno dan diminta untuk membentuk pasukan pengaman Presiden yaitu Cakrabirawa. Tetapi atas nasehat orang tua dan juga saudara saudaranya maka ia menolak ajakan Presiden Soekarno tersebut. Pihak keluarga merasa bahwa Andi Aziz adalah seoarang buta politik yang sudah cukup merasakan akibatnya. Pihak keluarga tidak menginginkan hal tersebut terjadi untuk kedua kalinya. Beryuskur karena Andi Aziz menolak ajakan tersebut, ternyata pasukan Cakrabirawa ini jugalah yang di kemudian harinya terlibat membantu pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
Kapten Andi Aziz adalah seorang pemberontak yang tidak pernah membunuh dan menyakiti orang. Ia adalah korban kambing hitamnya Belanda karena kebutaannya mengenai dunia politik. Ia adalah seorang militer sejati yang mencoba untuk mempertahankan Negara Indonesia Timur yang menurutnya adalah telah melalui kesepakatan dengan Republik Indonesia Serikat. Dalam kesehariannya Andi Aziz cukup dipandang oleh masyarakat suku Bugis Makassar yang bermukim di Tanjung Priok, Jakarta dimana ia dulu menetap. Disana ia diakui sebagai salah satu sesepuh suku Bugis Makassar yang mana selalui dimintai nasehat nasehat, dan pikiran pikirannya untuk kelangsungan kerukunan suku Bugis Makassar. Ia juga seorang yang murah hati dan suka meonolong, pernah suatu waktu pada tahun 1983, ia menampung 71 warga Palang Merah Indonesia yang kesasar ke Jakarta dari Cibubur.
PERMASALAHAN
Beberapa hari setelah pelantikannya sebagai perwira TNI, Andi Azis beserta pasukannya menyerang perumahan perwira TNI di staf kwartier dan asrama CPM di Verlegde Klapperlaan (jl Walter Mongisidi). Alibi pemberontakan adalah akan mendaratnya pasukan TNI, Batalyon Worang, pada April 1950 ke Sulawesi Selatan. Berita akan terjadinya pendaratan itu mendapat tentangan dari Andi Azis. Andi Azis menyatakan: “buat apa didatangkan pasukan APRIS dari Jawa, toh pasukan ex KNIL di Makassar-pun telah pasukan APRIS dan sanggup mengamankan NIT.
Usai Penyerahan Kedaulatan (Souvereniteit Overdracht) pada tanggal 27 Desember 1949, dalam negeri Republik Indonesia Serikat mulai bergelora. Serpihan ledakan bom waktu peninggalan Belanda mulai menunjukkan akibatnya. Pada umumnya serpihan tersebut mengisyaratkan tiga hal. Pertama, ketakutan antek tentara Belanda yang tergabung dalam KNIL, yang bertanya-tanya akan bagaimana nasib mereka setelah penyerahan kedaulatan tersebut. Kedua, terperangkapnya para pimpinan tentara yang jumlahnya cukup banyak dalam penentuan sikap dan ideologi mereka. Utamanya para pimpinan militer didikan dan binaan Belanda.
Terakhir, masih banyaknya terjadi dualisme kepemimpinan dalam kelompok ketentaraan Indonesia antara kelompok APRIS dengan kelompok pejoang gerilya. Walaupun sejak bulan Juni 1947 Pemerintah RI telah mengeluarkan kebijaksanaan bahwa segenap badan kelaskaran baik yang tergabung dalam biro perjuangan maupun yang lepas berada dalam satu wadah dan satu komando yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketiga hal tersebut semakin mengental pada daerah yang masih kuat pengaruh “Belandanya”. Salah satu daerah dimaksud adalah wilayah Sulawesi Selatan. Tiga peristiwa di tahun 50 yang terjadi dikota Makassar dan wilayah Sulawesi Selatan memperlihatkan kekentalan tersebut. Peristiwa pertama terjadi pada tanggal 5 April 1950 yang terkenal sebagai peristiwa Andi Azis.
Peristiwa kedua yang terjadi pada tanggal 15 Mei 1950 dan ketiga yang terjadi pada tanggal 5 Agustus 1950. Dalam ketiga peristiwa tersebut yang menjadi penyebabnya selalu permasalahan mengenai kegamangan tentara KNIL akan nasib mereka. Sedangkan 2 peristiwa terahir menjadi tolak ukur dari kegamangan tersebut. Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam pertemuan pers mengatakan bahwa tidak heran dengan terjadinya peristiwa paling ahir pada tanggal 5 Agustus 1950 (Sin Po 8/8/50). Rentetan ketiga peristiwa di Makassar tersebut agaknya selalu bermula dari upaya-upaya para anggota KNIL (kemudian dilebur dalam KL) untuk mengacaukan kehidupan rakyat di Makassar sekaligus berupaya untuk memancing tentara APRIS memulai serangan kepada mereka. Tidak kalah ikut menentukan suasana panas dikota Makassar adalah persoalan tuntutan masyarakat untuk segera menuju negara kesatuan.
Tentu saja gerakan rakyat ini tidak saja terjadi di Indonesia Timur, tapi juga di Jawa Timur, Pasundan, Sumatera Timur dan berbagai daerah lainnya. Pemerintah RIS dalam hal ini atau setidaknya banyak fihak dalam kabinet dan Parlemen sangat memberi angin menuju Negara Kesatuan.Rencana kedatangan tentara APRIS ke Makassar nampaknya terlalu dibesar-besarkan semata-mata karena rasa takut akan menguntungkan fihak pemerintah pusat (RIS). Oleh karena itu bukan tidak mungkin pemberontakan Andi Aziz adalah rekayasa politik fihak KNIL akibat provokasi tokoh-tokoh anti RIS dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur. Andi Aziz sendiri diyakini banyak fihak adalah seorang anggota militer dengan pribadi yang baik.
Namun dalam sekala kesatuan militer KNIL di Sulawesi Selatan dirinya lebih condong sebagai boneka. Tampak bahwa Kolonel Schotborg dan jakasa agung NIT Sumokil adalah pengendali utama kekuatan KNIL dikota Makassar. Dari hasil pemeriksaan Aziz dalam sidang militer yang digelar tiga tahun kemudian (1953), saksi mantan Presiden NIT Sukawati dan Let.Kol Mokoginta tidak banyak meringankan terdakwa yang pada ahirnya dihukum penjara selama 14 tahun. Dalam persidangan tersebut terdakwa mengaku bersalah, tidak akan naik appel tapi merencanakan minta grasi kepada Presiden. Ketika sedang berlangsungnya pemberontakan Andi Aziz di Makassar, untuk mengantisipasinya Pemerintah RIS di Jakarta telah membentuk pasukan gabungan Expedisi Indonesia Timur. Pasukan ini terdiri dari batalyon ADRIS dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur didukung oleh AURIS, ALRIS dan Kepolisian. Sebagai pimpinan Komando ditunjuk Kolonel A.E Kawilarang Panglima TT Sumatera Utara.
Ketika pasukan besar ini sedang dipersiapkan keberangkatannya, telah lebih dahulu diberangkatkan batalyon Worang yang tiba di Sulawesi Selatan pada tanggal 11 April 1950. Meskipun Worang tidak dapat langsung mendarat di Makassar tapi di Jeneponto yang letaknya 100 km keselatan, rakyat menyambutnya dengan sukacita. Sebuah foto yang disiarkan majalah Merdeka terbitan 13 Mei 1950 menggambarkan hal tersebut. Terlihat 3 orang anggota tentara APRIS yang berjalan menuju kerumunan massa dimana dilatar belakang tampak spanduk bertuliskan “ SELAMAT DATANG TENTARA KITA”. Pertempuran besar memang tidak terjadi antara pasukan APRIS Worang dengan KNIL di Makassar bahkan Andi Aziz ahirnya mau menyerah guna memenuhi panggilan Pemerintah Pusat di Jakarta meskipun telah melampaui batas waktu 4 X 24 Jam untuk mendapat pengampunan.
Menyerahnya Andi Azis kemungkinan besar karena kekuatan pendukung dibelakangnya sudah tidak ada lagi yaitu Sumokil yang sudah terbang ke Ambon via Menado dan Kolonel Schotborg yang siap dimutasi untuk pulang ke Belanda. Setelah Andi Aziz menyerah, banyak tentara dari bekas infantri KNIL yang tidak tahu lagi siapa pemimpin mereka dan bagaimana nasib mereka selanjutnya. Sementara untuk bergabung dengan APRIS belum ada ketentuan karena belum ada peraturan resmi yang akan membubarkan KNIL (KNIL bubar tgl 27 Juli 1950). Tak heran mereka kemudian memprovokasi rakyat dan kemudian memulai serangan terhadap pos-pos tentara APRIS. Menjelang pertempuran yang terjadi antara pasukan KNIL dengan pasukan APRIS pada tanggal 15 Mei 1950 bermula ketika banyak anggota KNIL menurunkan bendera merah putih disekitar kampemen tempat anggota KNIL berdiam.
Peristiwa penurunan bendera Sang Saka merah Putih itu terjadi bersamaan degan tibanya Presiden RIS Soekarno dikota Makasasar yang memulai lawatannya ke Sulawesi. Setelah Merah Putih diturunkan berlanjut dengan coretan tembok rumah rakyat dan spanduk disekitar kampemen KNIL berisi tulisan yang memojokkan Negara Republik Indonesia Serikat. Peristiwa ini juga kemudian berkaitan dengan ditembaknya seorang Perwira APRIS oleh tentara KNIL. Peristiwa diatas memicu ketegangan yang memunculkan ketidak sabaran anggota APRIS terhadap tindakan dan ulah provokasi KNIL. Rakyat yang diprovokasi tidak sabar menunggu komando untuk menyerang KNIL. Pasukan pejoang gerilya dibawah batalyon Lipang Bajeng dan Harimau Indonesia telah mempersiapkan diri untuk hal tersebut. Sementara tentara KNIL sudah semakin mengeras upayanya untuk menghancurkan kekuatan APRIS untuk menguasai Makassar. Maka pada tanggal 15 Mei 1950 terjadilah pertempuran besar dikota Makassar. Pasukan KNIL menyerbu barak-barak APRIS, membakar rumah rakyat, menghancurkan rumah dan toko-toko didaerah pecinaan. Sekitar Makassar penuh dengan api, bau anyir darah dan berbagai desing senjata. Serangan KNIL ini memang sudah diwaspadai APRIS.
Tentara APRIS kemudian membalas serangan dan bersamaan dengan itu pasukan pejoang gerilya dari Batalyon Lipang Bajeng dan Harimau Indonesia telah turun dari dua kota pangkalan mereka di Polobangkeng dan Pallangga yang terletak disekitar kota Makassar. Seketika suasana medan laga telah berubah. Pasukan APRIS bersama dua batalyon pejoang tersebut dan rakyat Makassar menyerang balik tentara KNIL. Dalam keadaan demikian inilah Kolonel AH Nasution selaku Kepala Staf ADRIS bersama dengan Kolonel Pereira selaku Wakil Kepala Staf KNIL tiba di Makassar. Kedua pucuk pimpinan tentara ini kemudian meninjau keadaan dan berunding. Pada tgl 18 Mei 1950 wakil dari APRIS yaitu Overste Sentot Iskandardinata dan Kapten Leo Lopolisa berunding dengan wakil dari KNIL yaitu Kolonel Scotborg, Overste Musch dan Overste Theyman yang disaksikan oleh Kolonel AH Nasution serta Kolonel AJA Pereira.
Perundingan menghasilkan dua keputusan penting yaitu dibuatnya garis demarkasi serta tidak diperbolehkannya kedua tentara APRIS dan KNIL untuk mendekati dalam jarak 50 meter. Untuk sementara keadaan dapat diamankan. Perundingan pertama ini detailnya menghasilkan persetujuan untuk melokalisir tentara KNIL ditiga tempat . Namun rupanya persetujuan dimaksud tidak ditaati. Antara menerangkannya sebagai berikut : “Tetapi persetujuan tinggal persetujuan. Maka pada hari selasa pertempuran mulai lagi berjalan dengan sengit. Pertempuran yang paling sengit terjadi diempat tempat. Yaitu tangsi KNIL di Mariso, sekitar tangsi KNIL Matoangin, Boomstraat, sekitar Stafkwartier KNIL di Hogepad. Pertempuran sudah berjalan tiga hari tiga malam lamanya tetapi belum juga berhenti” (Kempen 1953:302). Pada ahir Juli 1950 pasukan KNIL dibubarkan. Muncul permasalahan baru. Mau dikemanakan para prajurit ex KNIL tersebut. Sebagian memang dilebur kedalam KL, sebagian lagi menunggu untuk diterima sebagai anggota APRIS. Namun masa penantian ini secara psikologis amat merisaukan para anggota tentara KNIL.
Pertama mereka dianggap rakyat sebagai kaki tangan Kolonial Belanda, sementara disisi lain bekas majikannya tidak mengindahkan nasib mereka. Tmbullah usaha provokasi baru yang antara lain dilukiskan sebagai berikut : “Sesudah anggota KNIL di Makassar memperoleh kedudukan sementara sebagai anggota KL pada tanggal 26 Juli 1950 keadaan tidak bertambah baik, sebaliknya mereka terus menerus menimbulkan kesulitan-kesulitan. Mereka antara lain menentang dengan kekerasan usaha pimpinan tentara Belanda untuk menyerahkan alat tentaranya kepada tentara Belanda. Mereka sering menganiaya penduduk. Bendera-bendera kebangsaan (maksudnya Merah Putih) disekitar kampemen mereka turunkan dan akhir-akhir ini mereka dengan kejam membunuh perwira Indonesia yang bereda dekat kampemen ketika sedang mengunjungi keluarganya” (Antara 12/8/1950). Berbagai tindakan provokasi yang dilakukan para eks KNIL ternyata tidak mendapat tanggapan emosinal oleh APRIS. Sehingga terkesan APRIS terlalu sabar. Kesan sabar ini tertimpakan pada pucuk pimpinan APRIS Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur Kolonel AE Kawilarang.
Pada saat itu Antara menulis : “Kemaren jam 17.00 Kawilarang telah mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil partai dan organisasi di Makassar. Dikatakannya bahwa ia mengerti akan kekecewaan rakyat terhadap tindakan APRIS yang oleh rakyat dianggap terlalu sabar dalam menghadapi segala percobaan (masudnya dari fihak KNIL) tetapi dikatakannya seterusnya bahwa dalam hal ini orang harus ingat bahwa APRIS adalah bagian resmi dari Pemerintah sedangkan KNIL dipandang sebagai tentara tamu selama mereka belum diorganisir dan semua itu terikat dalam perjanjian KMB yang harus dihormati. Kami cukup kuat dan pasti dapat menyelesaikan segala sesuatu dengan senjata tetapi dengan demikian keadaan akan bertambah kacau dan nama negara kita dimata dunia akan surut. (Antara 3/6/1950).
Dua hal yang antagonis antara provokasi yang dilakukan tentara KNIL dan kesabaran pucuk pimpinan APRIS tersebut menimbulkan dilema dalam menetapkan kebijaksanaan yang akan diambil APRIS selanjutnya. Apalagi kemudian rakyat Makassar semakin mempertajam sikap mereka terhadap tentara KNIL dengan melakukan pemboikotan seluruh kegiatan perdagangan dari dan ke markas-markas KNIL. Suasana tegang ini ibarat bisul yang akan meletus sewaktu-waktu.
Agar APRIS tidak keliru mengambil langkah dalam mengantisipasi ketegangan yang semakin tinggi pada tgl 5 Agustus 1950, APRIS setuju untuk mengadakan perundingan dengan wakil militer Belanda di Indonesia. Pertemuan yang diikuti oleh tiga wakil tentara Belanda dan dihadiri pula oleh wakil dari UNCI, menyepakati sikap untuk mengendurkan ketegangan melalui APRIS yang berjanji akan mengadakan pendekatan kepada rakyat agar menghentikan boikot kepada tentara KNIL. Belum upaya mengendurkan itu dilakukan oleh APRIS, hari itu pula pada pukul 17.20 selang 80 menit dari usainya persetujuan tersebut tentara eks KNIL melakukan serangan sitematis keseluruh barak dan asrama tentara APRIS.
Tindakan yang kelewat batas tersebut dan menghianati persetujuan, pantang ditolak oleh segenap pasukan APRIS, pejoang gerilya yang tergabung dalam Divisi Hasanudin serta rakyat Makassar. Dalam tempo sekejap memang tentara eks KNIL dapat menguasai medan pertempuran, namun keadaan cepat berubah beberapa jam kemudian. Pasukan APRIS yang didukung oleh kekuatan Udara dan Laut menghantam terus menerus barak-barak eks tentara KNIL. Belum lagi serangan-serangan dari pasukan Divisi Hasanudin dan rakyat. Tidak sampai 3 X 24 jam pasukan eks KNIL sudah terkepung dibarak-barak mereka. Ahirnya pada tanggal 8 Agustus 1950 bertempat dilapangan terbang Mandai diadakan persetujuan antara Kolonel AE Kawilarang yang mewakili APRIS dan Mayor Jenderal Scheffelaar sebagai wakil Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Merka sepakat agar seluruh anggota pasukan KL meninggalkan Makassar dan menyerahkan seluruh perlengkapannya kepada APRIS. Bagi mereka yang menolak akan dikeluarkan dari KL.
Pada pukul 16.00 tanggal 8 Agustus dengan muka tertunduk malu dimulailah pasukan KL meninggalkan Makassar diiringi cemooh segenap rakyat. Dan untuk pertama kalinya sejak penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, pasukan APRIS pantas bertepuk dada karena telah memenangkan perang dan mengusir pasukan KL tampa syarat.
Merah Putih telah tegak berdiri menggantikan Merah Putih Biru untuk selama lamanya. Kemenangan ini tidak lepas dari dukungan seluruh rakyat termasuk para pejoang gerilya yang telah bahu membahu berjuang dengan pasukan APRIS.
Sebuah fenomena monumental yang mencatat dengan tinta emas dalam buku sejarah Nasional kebesaran TNI. Walau bagaimanapun TENTARA KITA pernah jaya dan akan tetap jaya untuk selama-lamanya. Hal ini antara lain disebabkan karena pucuk pimpinannya sangat cermat dan memiliki kewaspadaan serta kedalaman berfikir dalam mengatur strategi.
Kesimpulan
Demikian lah , runtut permasalahan mengenai Pemberontakan Andi Aziz Qahhar Mudzakkar , yang hingga saat ini menjadi kontroversial akibat pembangkangannya terhadap pemerintah. Tetapi , kali ini kita dapat melihat dengan jelas apa yang menjadi penyebab hal tersebut terjadi. Seperti pepatah mengatakan " Seseorang yang menanam mangga akan berbuah mangga" sama halnya dengan kasus kali ini, seorang Andi Aziz Qahhar Mudzakkar menjadi beringas terhadap pemerintah dikarenakan sikap pemerintah yang arogan.
Terima kasih telah mengunjung blog http://gudangmateri.blogspot.com , semoga dapat menjadi referensi yang bermanfaat untuk anda.